Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menikah
Tama menghampiri Leyla dengan wajah serius, seolah ada sesuatu yang sangat penting yang ingin disampaikannya. "Leyla, aku tahu Freya kuat, tapi ada kalanya dia butuh seseorang di sisinya, terutama saat aku tidak bisa selalu ada untuknya," katanya dengan nada lembut namun tegas.
Leyla terkejut mendengar permintaan itu, tetapi dia memahami kekhawatiran Tama. "Kamu bisa tenang, Tama. Aku akan selalu ada untuk Freya. Dia sahabatku, dan aku nggak akan membiarkan dia merasa sendirian," jawab Leyla, meyakinkan Tama.
Tama tersenyum tipis, merasa sedikit lega. "Terima kasih, Leyla. Aku benar-benar berharap kamu bisa menjaga dia, terutama di saat-saat sulit," ujar Tama sebelum beranjak pergi, meninggalkan Leyla dengan perasaan haru dan tanggung jawab yang lebih besar untuk sahabatnya.
Tama menatap Freya yang masih terbaring dengan tenang, matanya terpejam, seolah berada dalam kedamaian yang tak terjangkau. Di dalam hatinya, keputusannya telah mantap. Ia telah membuat perjanjian dengan Tuhan Freya, berjanji untuk membawa Freya kembali ke dunia ini, meskipun harus melalui jalan yang berat.
Leyla, yang duduk di sampingnya, menatap Tama dengan penuh rasa syukur. "Terima kasih, Tama," ucapnya dengan suara pelan tapi penuh ketulusan. "Kamu benar-benar mau melakukan ini untuk Freya."
Tama hanya mengangguk, matanya masih terfokus pada Freya. Hatinya dipenuhi harapan dan keyakinan bahwa dia akan berhasil mengembalikan Freya, tak peduli seberapa sulit perjanjiannya dengan Tuhan itu.
***
Keesokan harinya, Freya perlahan membuka matanya. Cahaya ruangan terasa menyilaukan, membuatnya harus menyesuaikan penglihatannya. Dia mencoba melihat sekeliling, merasa sedikit bingung dan lemah. Tatapannya jatuh pada sosok Leyla yang sedang duduk di samping tempat tidurnya.
Begitu melihat Freya sadar, Leyla langsung terkejut dan tersenyum lebar. "Freya, kamu sudah bangun!" serunya dengan nada lega. Tanpa menunggu lebih lama, Leyla segera beranjak dan memanggil dokter, memberitahukan bahwa Freya akhirnya sudah sadarkan diri.
Freya masih berusaha memahami apa yang terjadi, tubuhnya terasa lemah, tapi dia bisa merasakan kehangatan dan rasa syukur dari Leyla. Sebuah perasaan damai menyelimuti dirinya.
Setelah beberapa saat tersadar, Freya mulai mengumpulkan kekuatannya untuk berbicara. "Leyla … Tama di mana?" tanyanya pelan, matanya menatap sahabatnya dengan kebingungan. Dia ingin tahu di mana Tama berada, mengingat kehadirannya dalam pikirannya.
Leyla terdiam sejenak, tidak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi, dia tahu Freya pantas mengetahui yang sebenarnya, tetapi di sisi lain, Freya masih terlalu lemah. Tidak ingin membuatnya semakin khawatir, Leyla tersenyum lembut dan mengalihkan pembicaraan. "Sekarang yang paling penting adalah kamu istirahat dan pulih dulu, Freya. Kamu baru saja bangun, jadi jangan memikirkan hal lain dulu, ya."
Meskipun Freya sedikit kecewa karena pertanyaannya tidak dijawab, dia merasa terlalu lemah untuk mendesak lebih jauh. Dia hanya mengangguk perlahan, mencoba menerima penjelasan Leyla, meskipun hatinya tetap mencari Tama.
Empat hari setelah Freya sadar, tubuhnya sudah terasa jauh lebih baik. Meski belum sepenuhnya pulih, keinginan terbesarnya adalah bertemu dengan Tama. Setiap kali dia membahasnya, Leyla selalu mengalihkan, bahkan melarang Freya untuk menghubungi Tama dengan alasan ponselnya yang hancur dalam kecelakaan. Rasa penasaran Freya semakin besar, dan dia tak bisa menahan keinginannya lebih lama.
Hari itu, saat Freya diperbolehkan pulang, Leyla pergi untuk mengurus administrasi. Freya sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam koper, namun pikirannya tetap tertuju pada Tama. Sebuah ide tiba-tiba muncul dalam benaknya. Dia melihat tas Leyla yang tertinggal di sudut ruangan. Dengan cepat, Freya mendekati tas tersebut, merasakan rasa bersalah menyelusup di hatinya, tapi tekadnya sudah bulat.
"Dia pasti meninggalkan ponselnya," ucap Freya pelan.
Dia membuka tas itu dan menemukan ponsel milik Leyla. Tangan Freya sedikit gemetar saat dia membuka ponsel itu, berharap menemukan sesuatu yang bisa menghubungkannya kembali dengan Tama.
"Siapa ini, kenapa tidak Leyla simpan nomornya ..." gumam Freya saat membuka kotak pesan.
Saat Leyla kembali ke kamar dan melihat Freya memegang ponselnya, wajahnya langsung berubah tegang. Tanpa berpikir panjang, dia berteriak, “Freya, apa yang kamu lakukan?!” dengan panik. Leyla segera merampas ponsel dari tangan Freya, matanya memancarkan kecemasan yang jelas. Freya hanya menatap sahabatnya dengan tatapan datar, tanpa ekspresi.
"Apa maksudnya ini, Leyla?" tanya Freya dengan suara datar, tetapi tajam, sambil menunjukkan layar ponsel yang baru saja dilihatnya. "Pesan ini … tentang Tama … menikah hari ini?"
Leyla terdiam, tidak mampu menjawab seketika. Wajahnya tampak bingung dan bersalah, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat. Namun, Freya tahu bahwa apa pun yang Leyla katakan sekarang, semuanya sudah terlambat. Hati Freya mulai hancur, tapi dia tetap menatap Leyla, menunggu penjelasan yang sahabatnya itu mungkin tidak siap untuk memberikan.
Freya berdiri tegak, meskipun tubuhnya masih terasa lemah, tekadnya tak tergoyahkan. "Aku akan menemui Tama di rumahnya, Leyla," ucapnya tegas. Matanya penuh dengan kepastian, tidak ada keraguan sedikit pun.
Leyla, yang masih dilanda kecemasan, langsung bergerak mendekati Freya, mencoba menghentikannya. "Freya, tolong! Kamu belum sepenuhnya pulih, dan ini bukan ide yang baik. Tama ... dia mungkin sudah membuat keputusan lain," ucapnya dengan suara penuh permohonan, tangannya memegang lengan Freya dengan erat.
Namun, Freya tetap bersikeras. "Aku harus mendengar penjelasannya langsung darinya, Leyla. Aku tidak bisa hanya duduk di sini dan tidak melakukan apa-apa. Ini hidupku, ini hatiku. Aku berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Leyla mencoba menahan Freya dengan segala cara, tapi Freya perlahan menarik tangannya dari genggaman Leyla, matanya menatap tajam dan penuh determinasi. "Aku harus pergi," ucap Freya sekali lagi, dengan nada yang tak bisa ditawar. Leyla akhirnya hanya bisa terdiam, hatinya penuh kekhawatiran tapi dia tahu dia tak bisa lagi menghentikan sahabatnya.
Freya tiba di depan rumah Tama, dan jantungnya berdegup kencang saat melihat keramaian yang tak biasa di sana. Hatinya semakin berat seiring langkah kakinya yang mendekat. Suasana yang seharusnya terasa hangat dan penuh kebahagiaan, baginya justru dipenuhi dengan perasaan asing dan hampa.
Dengan tekad yang tersisa, Freya melangkah masuk ke dalam rumah. Di antara orang-orang yang berkumpul, pandangannya tertuju pada satu sosok yaitu Tama. Dia berdiri di depan penghulu, dan saat Freya melangkah semakin dekat, dia mendengar suara Tama yang tegas mengucapkan ijab kabul.
Kata-kata itu seakan menjadi palu yang menghantam jantung Freya. Langkahnya terhenti seketika. Dunia di sekitarnya terasa memudar, dan yang tersisa hanya kenyataan pahit yang baru saja terjadi di hadapannya. Tama telah menikah.
Freya berdiri di sana, tubuhnya terasa ringan namun penuh beban, seperti sedang terjebak dalam mimpi buruk yang tidak pernah ia duga akan terjadi.
"Tama ... tidak ..." lirih Freya.