Bagi seorang anak baik buruknya orang tua, mereka adalah dunianya. Mereka tumpuan hidup mereka. Sumber kasih sayang dan cinta. Akan, tetapi sengaja atau tidak, terkadang banyak orang tua yang tidak mampu berlaku adil kepada putra-putri mereka. Seperti halnya Allisya. Si bungsu yang kerap kali merasa tersisih. Anak yang selalu merasa dirinya diabaikan, dan anak yang selalu merasa tidak mendapatkan kasih sayang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Pagi ini, Mira sudah merasa baikan, rasa perih di punggungnya sudah kian samar terasa. Ia memutuskan untuk ke sekolah saja, karena dirinya pasti sudah banyak ketinggalan pelajaran, sebab tak sekolah kemarin. Setelah ia meroster buku bawaannya sesuai pelajaran hari ini, ia pun bergegas ke kamar mandi. Biasanya ia meroster pelajaran sepulang sekolah atau pada malam harinya, namun karena kemarin ia belum begitu baikan makanya ia meroster di pagi hari.
Setelah mandi ia memakai seragam sekolah kotak kotak miliknya. Di mana seragam sekolah miliknya berbeda dengan seragam sekolah milik sekolah negeri pada umumnya, karena ia bersekolah di sekolah unggulan. Setelah selesai berkemas, ia pun menuju dapur untuk sarapan pagi. Agar di sekolah dirinya tak begitu merasa lapar.
Sedang Lia, masih sibuk membantu ibunya memasak lauk pauk, karena di sekolahnya memang tak seketat sekolah Mira, di sekolah Lia meski datang terlambat tak akan di hukum, karena sekolahnya adalah sekolah swasta yang baru berkembang jdi masih butuh siswa. Makanya sekolah yang membujuk siswanya, yang penting datang ke sekolah dan datanya terdaftar di dapodik saja, pihak sekolah sudah bersyukur.
Pagi ini, Lia hanya sarapan dengan nasi putih dan segelas air putih, namun apapun itu ia tak mengeluh, sebab ia juga paham keadaan ekonomi keluarganya. Setelah makan, ia pun meraih tasnya dan pergi menuju ibunya.
Meski hatinya segan pada ibunya, namun ia tak ada pilihan.
"Bu, Mira minta ongkos Bu...." Mira menengadahkan tangannya kepada Wati, manik matanya menatap Wati penuh harap, berharap kali ini ia mendapatkan uang jajan meski hanya dua ribu rupiah.
Wati mendengus kesal,
"Minta saja ke bapakmu, ibu nggak ada uang" ucap Wati
Mira menarik kembali tangannya, dan pergi ke ruang tengah tempat ayahnya menonton tv. Di sana ayahnya tengah meneguk segelas kopi, duduk dengan satu kaki di lipat dan satu kaki di tekuk, seraya menghisap rokok, dan kedua mata menatap fokus acara di televisi.
"Yah, kata ibu minta ongkos...." Kali ini Mira menengadahkan tangannya kepada Rudi.
Rudi menggigit bibir luarnya dengan giginya yang rata, menandakan dirinya sedang marah.
"Ongkos apanya? bapak nggak pegang uang, ibumu yang pegang uang semua" ucap Rudi kesal, menatap Mira sekilas lalu kembali fokus menatap layar kaca.
"Tapi pak..." Mira memelankan nada suaranya, kedua tangannya memilih milin ujung jilbabnya.
"Tapi apa..? Kan sudah bapak bilang, bapak nggak ada uang, nggak usah sekolah, nyusahin aja" ucap Rudi.
Mira hanya menunduk takut, meski ia tak pernah di pukul oleh Rudi. Tetapi ia pernah melihat ibunya di pukul oleh Rudi. Jadi, dirinya merasa trauma dengan kejadian itu. Ia takut jika ayahnya ini marah, nanti bisa bisa main tangan terhadap dirinya.
Mira bingung harus apa, ia kembali ke dapur dan meminta uang kepada Wati.
"Bu, kata bapak ia nggak ada uang Bu" lapornya
Lia yang mendengar itu, hanya menunduk saja. 'andai saja kakak ada uang dek' batinnya."
"Terus kalau bapakmu nggak ada uang, ibu bisa apa? Tahankanlah"
"Tapi, Mira harus sekolah Bu, kalau enggak Mira bakal banyak ketinggalan pelajaran, kemarin saja Mira sudah ketinggalan pelajaran Bu" ucap Mira khawatir.
"Pelajaran nggak ngasih kamu duit, kamu kerja baru dapat duit" ucap Wati.
"Tapi Bu...." Ucap Mira
"Bu, kasih saja, nanti kalau Mira nggak masuk sekolah, bisa bisa gurunya mengeluarkan surat panggilan untuk orang tua Bu, jadi ibu lagi yang repot" ucap Lia, berbohong, padahal surat panggilan orang tua di keluarkan oleh pihak sekolah jika 3 hari berturut turu tidak hadir ke sekolah tanpa keterangan. Bukan yang baru sehari tidak sekolah, apalagi ada suratnya.
"Hehh, dasar anak durhaka, butuh uangku juga ternyata" ucap Wati, kemudian merogoh kantongnya dan memberikan uang senilai lima ribu rupiah kepada Mira, itu artinya hari ini Mira tak ada uang jajan, karena uang senilai lima ribu rupiah hanya cukup untuk ongkos pulang pergi dirinya saja dari rumah ke sekolah, dan dari sekolah menuju rumah.
"Makasih Bu" ucap Mira, meski hatinya kecewa menerima uang senilai lima ribu rupiah dari Wati, karena ia yakin kalau kakaknya Lia pasti diberi uang lebih oleh Wati.
"Mmmm" ucap Wati, tanpa peduli.
"Salam Bu" ucap Mira mengangkat tangannya hendak mengalami Wati.
"Nggak usah, ibu nggak perlu salam mu, lagian kamu nggak liat ibu lagi ngapain ini" ucap Wati yang tengah menyiangi sayur bayam.
Mira pun berangkat tanpa menyalami ibunya, dan hanya menyalami ayahnya.
Namun, sbelum berangkat kesekolah, ia merasa ada sesuatu yang menetes dari kelaminnya. Dengan segera ia masuk ke kamar dan memeriksanya, ternyata hari ini ia sedang mengalami menstruasi. Ia mulai khawatir, karena dirinya sama sekali tak punya pembalut, dan tak punya uang untuk membeli pembalut. Ia pun mencari di kamar itu mana tahu ada pembalut milik Lia, bekas juga tidak apa apa yang penting masih bisa di pakai. Namun, lelah mencari ia tak menemukan apa apa. Meminta uang kepada Wati, itu tidak mungkin, untuk ongkos saja Wati susah memberinya.
Ia pun berinisiatif untuk memotong kain yang tak terpakai lagi, lalu menjadikannya pembalut. Meski dirinya merasa tak nyaman, karena bokongnya jadi terasa tebal, tetapi ia harus tahan, yang penting tidak tembus dan bisa tetap pergi ke sekolah.
*****
Bel masuk berbunyi, Mira dan anak anak lainnya langsung berbaris di depan kelas masing masing. Kemudian masuk ke dalam kelas, secara teratur.
"Selamat pagi anak anak....,"
"Pagi Bu"
"Kita ada pr kan, silahkan di kumpul kedepan. Bagi yang tidak mengerjakan silahkan maju ke depan"
Semua anak anak maju ke depan, termasuk Mira. Hanya saja Mira maju ke depan bukan untuk mengumpulkan tugasnya, tapi untuk memenuhi permintaan guru bahwa yang tidak mengerjakan tugas agar maju ke depan.
"Siapa namamu" tanya Bu Desi, Mira adalah murid paling pendiam di kelas ini, sampai sampai guru pun lupa namanya, bahkan mungkin tak tahu namanya.
"Mira Bu"
"Kenapa kamu tidak mengerjakan pR Mira?"
"Saya tidak tahu kalau ada pr Bu, karena kemarin, Mira nggak masuk sekolah Bu, karena Mira sakit"
"Ohhh, sakit apa Mira, apa tidak bisa bertanya keteman temanmu bahwa ada pr?"
"Saya sakit demam Bu, di kampung saya yang sekolah di sini hanya saya aja Bu. Saya juga tak punya hp buat nanya teman teman Bu"
"Akhhh, kepalamu tak panas, jangan jangan kamu berbohong lagi" ucap guru menaruh tangannya di kening Mira, yang suhunya terasa biasa aja.
"Bukan berbohong Bu, tapi Mira sudah sembuh bu"
"Ya sudah, silahkan duduk, lain kali di tanya teman temannya mana tahu ada pr, kalau nggak ada hp sendiri, hp orang tua kan ada" gerutu Bu Desi.
"Baik Bu, maaf ya Bu"
"Iya, sudah duduk sana"
Mira pun kembali ke kursinya. Ia terpaksa berbohong, tak mungkin ia jujur kepada gurunya bahwa ia baru saja di pukuli ibunya, makanya ia tak berangkat ke sekolah kemarin.
Selama jam pelajaran berlangsung, Mira terus gelisah, ia tak bisa duduk dengan nyaman. Ia takut jika ia tembus, dan darahnya menembus ke roknya, ia pasti malu sekali. Di dalam hati ia selalu berdoa agar tak tembus, dan tidak di suruh ke depan mengerjakan soal oleh Bu guru. Takut saja jika pas dirinya maju ke depan, tahu tahunya rok ya sudah tembus.