Calista Izora, seorang mahasiswi, terjerumus ke dalam malam yang kelam saat dia diajak teman-temannya ke klub malam. Dalam keadaan mabuk, keputusan buruk membuatnya terbangun di hotel bersama Kenneth, seorang pria asing. Ketika kabar kehamilan Calista muncul, dunia mereka terbalik.
Orang tua Calista, terutama papa Artama, sangat marah dan kecewa, sedangkan Kenneth berusaha menunjukkan tanggung jawab. Di tengah ketegangan keluarga, Calista merasa hancur dan bersalah, namun dukungan keluarga Kenneth dan kakak-kakaknya memberi harapan baru.
Dengan rencana pernikahan yang mendesak dan tanggung jawab baru sebagai calon ibu, Calista berjuang untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Dalam perjalanan ini, Calista belajar bahwa setiap kesalahan bisa menjadi langkah menuju pertumbuhan dan harapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ngidam
Calista sudah pulang dari rumah sakit sejak dua hari yang lalu setelah menjalani perawatan karena kondisinya yang kelelahan selama awal kehamilan. Kini, tubuhnya terasa lebih baik, tetapi pikirannya tak berhenti bergolak. Malam ini, pukul setengah dua pagi, dan seperti beberapa malam sebelumnya, Calista masih belum bisa memejamkan mata. Dia memandangi Kenneth, suaminya, yang terlelap di sebelahnya. Nafas Kenneth yang teratur dan wajah damainya seolah menjadi pelipur lara di tengah malam yang terasa begitu sunyi.
Ruangan kamar mereka gelap, hanya diterangi oleh sedikit cahaya dari televisi yang menyala tanpa suara. Televisi itu sengaja dinyalakan Calista sebagai teman di kala malam sepi seperti ini, apalagi handphonenya telah disita Kenneth untuk memastikan bahwa Calista beristirahat lebih baik tanpa distraksi teknologi. Tapi malam itu, meski suasana terlihat tenang, ada sesuatu yang tak biasa mengganggu pikiran Calista. Sebuah keinginan kuat muncul dalam benaknya, dan ia tahu itu tidak akan hilang begitu saja.
Awalnya, Calista berusaha menahan diri. Dia menatap wajah Kenneth yang tampak sangat lelah setelah seharian bekerja dan merawatnya. "Apa aku tega membangunkannya hanya untuk ini?" pikirnya. Namun, dorongan dari dalam dirinya semakin kuat. Ada rasa mendesak yang membuatnya tak nyaman jika tidak segera dipenuhi. Setelah beberapa menit menimbang-nimbang, Calista akhirnya memutuskan untuk membangunkan Kenneth.
"Ken... Kenneth," bisik Calista lembut, jari-jarinya menyentuh pipi Kenneth dengan lembut. Kenneth bergeming, namun tidak segera terjaga.
Calista semakin mendesak. Dia mulai memencet-mencet pipi Kenneth dengan lebih kuat, berharap suaminya segera terbangun.
"Ken..." ujarnya sedikit lebih keras.
Perlahan, Kenneth membuka matanya, masih setengah sadar. "Hmm?" gumamnya, mencoba memfokuskan pandangannya ke arah Calista. "Ada apa, Cal?" suaranya terdengar serak, mengantuk berat.
"Aku gak bisa tidur," jawab Calista pelan. Dia kemudian meletakkan kepalanya di dada Kenneth, mencari kenyamanan dalam kehangatan suaminya.
Kenneth mengusap kepala Calista dengan lembut, masih berusaha mengumpulkan kesadarannya. "Kenapa belum tidur? Kamu gak capek?" tanya Kenneth, mencoba untuk memahami apa yang mengganggu istrinya di tengah malam seperti ini.
Calista mengangkat kepalanya dan menatap Kenneth dengan ekspresi ragu. "Aku... aku pengin burger sama kue red velvet," ujarnya dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan.
Kenneth sejenak tertegun. Matanya langsung terbuka lebar, sepenuhnya terbangun. "Hah? Burger sama kue red velvet? Ini kan udah tengah malam, Cal... mana ada yang jual kue red velvet jam segini?" katanya dengan nada sedikit kaget.
Calista memajukan bibirnya, merajuk seperti anak kecil. "Tapi aku pengen dua-duanya! Aku ngidam nih," balasnya dengan suara memelas, sambil menggenggam tangan Kenneth dengan erat.
Kenneth mengusap wajahnya, mencoba mengumpulkan tenaga. "Cal, ini udah hampir jam dua pagi. Kalau burger sih mungkin masih bisa dicari, tapi kue red velvet? Pasti gak ada yang buka," jawabnya, berharap Calista bisa memahami situasinya.
Tapi Calista tetap bersikeras. "Pokoknya aku mau dua-duanya, Ken. Sekarang. Please," pintanya sambil memeluk Kenneth dengan erat, seolah tidak ingin membiarkannya tidur lagi sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan.
Kenneth menghela napas panjang. Dia tahu Calista tidak akan menyerah begitu saja, terutama saat sedang mengidam. "Oke deh, aku coba pesen burger lewat ojol, gimana?" tawarnya, berharap ini bisa menjadi solusi tanpa harus meninggalkan rumah.
Calista langsung menggeleng. "Gak mau ojol! Aku pengen kamu sendiri yang beliin," jawabnya tegas, sambil menatap Kenneth dengan mata penuh harapan.
Kenneth tak kuasa menolak permintaan Calista. Dia tahu ini adalah bagian dari tanggung jawabnya sebagai suami, apalagi dengan Calista yang sedang hamil anak pertama mereka. "Baiklah, aku keluar sekarang," katanya menyerah. "Tapi jangan kecewa kalau aku gak nemu kuenya ya, Cal."
Calista mengangguk dengan wajah puas. "Iya, iya. Tapi aku yakin kamu bisa nemuin kue itu," balasnya optimis.
Kenneth pun bangkit dari tempat tidur, mencuci wajahnya di kamar mandi agar lebih segar. Setelah mengenakan jaket, dia berpamitan pada Calista yang masih bersandar di tempat tidur, menatapnya penuh harap. Kenneth kemudian keluar dari kamar, mengambil kunci mobil, dan bergegas menuju jalanan yang masih lengang di tengah malam.
Perjalanan mencari burger tak terlalu sulit. Sebuah restoran cepat saji dengan layanan drive-thru masih buka, dan Kenneth memesan tujuh burger seperti yang diminta Calista. Dia mengira mungkin ini akan memuaskan keinginan Calista sementara.
Namun, tantangan sebenarnya muncul saat Kenneth harus mencari kue red velvet. Dia tahu ini akan lebih sulit. Hampir semua toko kue dan cafe sudah tutup di jam-jam seperti ini. Kenneth mulai berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, berharap menemukan cafe yang mungkin masih buka. Setelah mencoba beberapa tempat, hasilnya nihil. Tak satupun toko yang menjual kue red velvet.
Sementara itu, di rumah, Calista mulai gelisah. Waktu terasa berjalan begitu lambat saat menunggu Kenneth. Ia terus mengganti channel di televisi, tetapi tak ada satupun acara yang menarik perhatiannya. Perutnya mulai lapar, dan keinginannya untuk makan burger dan kue semakin besar. Calista mulai khawatir Kenneth tak akan kembali dengan kue yang ia idam-idamkan.
Akhirnya, setelah berkeliling cukup lama, Kenneth memutuskan untuk pulang hanya dengan membawa burger. Ia merasa sedikit bersalah karena gagal menemukan kue red velvet yang diinginkan Calista. Sesampainya di rumah, Kenneth membuka pintu kamar dengan hati-hati. Calista, yang mendengar suaminya datang, langsung menoleh penuh harap.
"Bagaimana, Ken? Dapet kuenya?" tanya Calista sambil menatap Kenneth dengan ekspresi antusias.
Kenneth duduk di tepi tempat tidur, menyerahkan kantong berisi burger kepada Calista. "Aku udah coba keliling, tapi gak ada yang jual kue red velvet, Cal. Semua toko tutup," jawabnya dengan suara pelan, khawatir membuat Calista kecewa.
Calista menghela napas panjang, wajahnya sedikit cemberut, tetapi ia tak bisa memungkiri bahwa Kenneth sudah berusaha. "Ya sudah deh, tapi burgernya ada kan?" tanya Calista sambil membuka kantong yang diberikan Kenneth.
Kenneth mengangguk. "Iya, aku beli tujuh burger, sesuai permintaan kamu," ujarnya sambil tersenyum kecil.
Calista mulai membuka salah satu burger dan memakannya dengan lahap. Meski keinginannya untuk kue red velvet tak terpenuhi, setidaknya burger-burger ini bisa mengobati rasa laparnya. Setelah menghabiskan satu burger, Calista menatap Kenneth dengan penuh kasih.
"Ken, makasih ya. Kamu udah usaha buat aku dan bayi kita," ujarnya lembut.
Kenneth tersenyum hangat, lalu membelai rambut Calista. "Sama-sama, Cal. Aku bakal lakuin apapun buat kamu dan bayi kita," jawabnya tulus.
Setelah itu, mereka berdua duduk bersama di tempat tidur, menikmati burger-burger tersebut dalam keheningan malam. Meski tak mendapat kue red velvet, malam itu Calista merasa bahagia karena mengetahui betapa besar cinta dan perhatian Kenneth untuknya.