Saat sedang menata hati karena pengkhianatan Harsa Mahendra -- kekasihnya dengan Citra -- adik tirinya. Dara Larasati dihadapi dengan kenyataan kalau Bunda akan menikah dengan Papa Harsa, artinya mereka akan menjadi saudara dan mengingat perselingkuhan Harsa dan Citra setiap bertemu dengan mereka. Kini, Dara harus berurusan dengan Pandu Aji, putra kedua keluarga Mahendra.
Perjuangan Dara karena bukan hanya kehidupannya yang direnggut oleh Citra, bahkan cintanya pun harus rela ia lepas. Namun, untuk yang satu ini ia tidak akan menyerah.
“Cinta tak harus kamu.” Dara Larasati
“Pernyataan itu hanya untuk Harsa. Bagiku cinta itu ya … kamu.” Pandu Aji Mahendra.
=====
Follow Ig : dtyas_dtyas
Saran : jangan menempuk bab untuk baca y 😘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CTHK 20 ~ Pandu - Dara (2) Apa Mungkin ....
Baru saja mobil keluar melalui gerbang belakang, yang biasa digunakan oleh para pegawai hotel. Dara sudah menguap karena lelah dan mengantuk, mungkin akan tiba di kediaman Mahendra mungkin hampir tengah malam. Pandu tidak habis pikir, kalau gadis itu pulang sendiri dengan mengendarai mobilnya dalam keadaan lelah seperti kali ini.
“Hei.”
“Hm.” Dara sudah memposisikan kepalanya bahkan memejamkan mata.
"Kalau pulang sendiri, kamu mengemudi sambil mengantuk begitu?”
“Tergantung Om,” jawab Dara kembali menguap sambil menutup mulutnya. “Kalau sudah ngantuk berat, biasanya saya tidur di hotel. Ada kamar untuk karyawan istirahat atau minum kopi dulu lalu pulang ke kosan. Jaraknya tidak terlalu jauh, dibandingkan pulang ke rumah Bunda atau ke istana kalian.”
Pandu menoleh lalu berdecak dan kembali fokus pada kemudi. Pikirannya kembali menelisik, apakah Dara sudah makan malam atau belum. Apalagi ia menyaksikan kalau gadis itu menikmati snack dan soda.
“Sudah makan?” tanya Pandu singkat, berusaha agar tidak berkesan peduli dan terlalu ingin tahu. Padahal sangat penasaran dengan kondisi Dara.
“Sudah, wafer coklat dan cola.”
Rasanya ingin sekali Pandu berteriak menjelaskan kalau itu bukan makan, tapi meracuni tubuhnya. Kalau ia terus melaju, sampai rumah Dara tidak mungkin ke dapur untuk makan apalagi terlihat sudah sangat lelah. Melihat jam di dashboard, sudah lewat jam sebelas malam. restoran apa yang masih buka di jam segini.
Tidak jauh, ada plang restoran cepat saji dua puluh empat jam. Pandu berbelok dan memilih layanan drive thru.
“Dara, kamu ingin pesan juga?”
Dara membuka matanya dan menatap sekeliling dan heran dengan keberadaan mereka di restoran cepat saji. Sedangkan yang ia tahu dari asisten rumah tangga di kediaman Mahendra, kalau Pandu hanya mengkonsumsi makan sehat dan menjauhi produk makanan berpengawet juga junk food.
“Om Pandu, lapar?”
“Hm.” Pandu memesan burger dan air mineral, lalu menanyakan kembali pesanan Dara.
“Burger keju, kentang goreng dan lemon tea.”
Mobil bergerak maju, lalu Pandu melakukan pembayaran.
“Jangan sering-sering makan yang begini.” Pria itu menasehati Dara yang dibalas dengan cebikan.
“Om Pandu yang inisiatif, makanan gratis nggak mungkin ditolak.”
“Iya, aku bilang jangan keseringan. Seminggu sekali atau sebulan sekali saja, lebih baik makan ….”
“Hm, cepat maju lagi. Aku sudah lapar,” titah Dara dan Pandu mengu_lum senyumnya, rencananya berhasil. Paling tidak Dara tidur dengan perut terisi.
Meninggalkan restoran, Pandu mengemudi dengan kecepatan biasa. Memberikan kesempatan untuk Dara menghabiskan makanannya, sedangkan miliknya belum disentuh.
“Katanya lapar, kok nggak dimakan?” tanya Dara sambil mengunyah kentang goreng, jangan tanya burgernya kemana karena sudah berada dalam lambungnya.
“Lalu siapa yang mengemudi.”
“Oh iya. Lanjut saja, saya nggak mau nawarin gantian nyetir apalagi nyuapin Om Pandu.” Dara tergelak menertawakan pria itu.
Ha-ha, tertawa saja terus, tapi wajahmu semakin manis kalau tertawa. Daripada marah-marah. Pandu membatin dan tersenyum lalu kembali memasang wajah datar khawatir Dara menyadari perubahan raut wajahnya.
Saat tiba, Dara bergegas ingin segera merebahkan diri. Menyempatkan mengambil air mineral dan Pandu masih mengekor langkah gadis itu.
“Kalian pulang bersama?”
“Hah.”
Pandu dan Dara saling tatap karena pertanyaan Citra.
“Menurut kamu?” Pandu malah bertanya balik.
“Bukannya Mas Pandu dari kantor ya?”
“Betul, kamu pikir aku dari tukang pijat.”
Dara hendak tertawa, tapi ditahan lalu menyenggol lengan Pandu agar berhenti menjawab pertanyaan konyol Citra. Mungkin perempuan itu terbangun dari tidur dan belum sadar sepenuhnya atau memang tidak pernah sadar-sadar.
“Kebetulan saja, daripada nyetir sendiri. Sudah malam, mending kamu balik ke kamar.”
“Lalu membiarkan kalian berduaan di sini, begitu maksud kamu?”
“Maksudnya aku mau ke kamar, terserah kalau kamu masih mau di sini. Om Pandu juga pasti mau ke kamarnya,” tutur Dara.
“Hm, mana mungkin aku tidur di dapur dan diganggu kuntilanak,” ujar Pandu dan Dara refleks langsung berlari. “Hei, tunggu aku.”
“Kuntilanak,” ulang Citra lalu menatap sekeliling. “Mas Pandu,” panggil wanita itu.
Sampai di kamar, Dara membersihkan diri lalu berganti piyama. Langsung berbaring setelah memastikan kamarnya terkunci. Ponsel yang sudah diletakan di atas nakas bergetar.
“Siapa sih, malam-malam begini.” ternyata pesan masuk dari Pandu. “Om Pandu,” ucap Dara.
[Tidur! Besok kamu harus kerja lagi, jangan sampai tidak fokus dan berimbas pada pelayanan hotel lalu membuatku rugi]
“Apa-apan ini,” gumam Dara lalu mengetik pesan balasan.
[Jangan ganggu Om, saya masih nunggu telpon pacar saya]
Dara meletakan ponselnya sembarang lalu merebahkan diri dan memejamkan mata. “Hah, nyamannya.”
Berbeda dengan Pandu yang langsung duduk tegak bahkan menghidupkan kembali lampu kamarnya dan membaca ulang pesan dari Dara.
“Pacar. Dia punya pacar. Bukannya sudah putus dengan Harsa. Ah, apa peduliku,” sungut Pandu lalu meletakan ponselnya dan kembali berbaring. Tidak lama ia kembali beranjak duduk dan memikirkan kembali pacar yang dimaksud Dara.
“Apa mungkin mereka kembali bersama?”
Kantuk sama sekali tidak Pandu rasakan, ia sudah berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Entah mengapa ada perasaan tidak suka mengingat Dara yang kembali pada Harsa. Dia sendiri tidak paham dengan sikapnya yang sok peduli.
“Lalu kenapa aku harus peduli, mau dia pacaran dengan siapapun itu bukan urusanku.”
Alih-alih cuek, Pandu malah menghubungi petugas keamanan untuk mengecek apakah ada pergerakan di area kamar tamu melalui cctv. Maksudnya adalah kamar Dara. Ia mengacak rambutnya mendengar informasi kalau tidak ada siapapun di koridor kamar Dara dan Citra.
Demi menuntaskan rasa penasaran, Pandu menghubungi ponsel Dara. Berkali-kali dan tidak ada jawaban.
“Shitt, kenapa dia tidak jawab.”
Meskipun jarang tinggal di rumah, Pandu tahu letak penyimpanan kunci cadangan. Di ruang kerja Jaya, tepatnya di laci meja. Ia harus memastikan sendiri rasa penasarannya, saat ini Pandu sedang mencari kunci tersebut.
“Sepertinya ini.”
Ada label nama ruangan dan nomor kamar. Terdapat dua kunci cadangan setiap pintu, Pandu mengambil satu dan segera mendatangi kamar Dara sambil mengendap-endap macam pencuri. Ternyata gelap, segera ia menutup kembali pintu tersebut.
“Dara,” panggilnya lirih.
Pandu meraba dinding mencari saklar, ternyata lampu tidur yang disentuh membuat suasana kamar menjadi temaram. Pandangannya tertuju pada sosok di atas ranjang yang berada di bawah selimut. Khawatir itu bukan Dara atau hanya bantal karena sang penghuni kamar asyik bertelepon bahkan bertemu dengan pacarnya, Pandu pun mendekat.
Perlahan ia menarik selimut dan tampak wajah Dara yang tertidur … pulas. Lega, itulah yang Pandu rasakan. Sempat menduga-duga kalau Dara dan Harsa kembali bersama sesuai dengan pesan dari gadis itu.
“Kamu sudah buat aku resah,” gumam Pandu lalu tangannya terulur mengusap pipi gadis itu.
“Hm. Om, please … aku lelah. Kembalikan … jabatanku,” ujar Dara lirih dan terbata, sepertinya ia mengigau dan hal itu membuat Pandu tersenyum lalu duduk di tepi ranjang.
“Bukan hanya kamu yang lelah, aku pun sama. Kenapa pula aku harus begini, terlalu mengkhawatirkan kamu,” sahut Pandu pelan.
Apa mungkin, aku menyukai … Dara
\=\=\=\=\=
Pandu : Apa mungkin, aku lope lope ke Dara
Pambaca : Alamak, kemana aja Om baru nyadar