Meski sudah menikah, Liam Arkand Damien menolak untuk melihat wajah istrinya karena takut jatuh cinta. Pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar formalitas di hadapan Publik.
Trauma dari masa lalu nya lah yang membuatnya sangat dingin terhadap wanita bahkan pada istrinya sendiri. Alina Zafirah Al-Mu'tasim, wanita bercadar yang shalihah, menjadi korban dari sikap arogan suaminya yang tak pernah ia pahami.
Ikuti kisah mereka dalam membangun rasa dan cinta di balik cadar Alina🥀
💠Follow fb-ig @pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
•Sebuah Do'a•
Suasana di kantor polisi mendadak berubah. Semua yang hadir seolah terhipnotis oleh pertemuan penuh emosional itu. Bahkan beberapa petugas yang sedang bekerja di meja mereka berhenti untuk melihat apa yang terjadi.
Nenek Saudah menepuk punggung Alina dengan lembut, air matanya terus mengalir.
"Anakku… Allah Maha Baik. Siapa sangka kita akan bertemu lagi di keadaan seperti ini?" suaranya bergetar.
"Sudah lama Alina mencari Ummi..." kata Alina parau, terisak di pundak renta wanita tua itu.
"Bahkan sampai Alina pergi ke Desamu, tapi orang orang bilang kau sudah tidak lagi hidup di sana, dan sekarang, kita bertemu lagi di keadaan yang tak terduga setelah belasan tahun lamanya... Alina sangat rindu Ummi..." Alina menangis, merasakan belaian lembut di punggungnya.
Evan, yang sedari tadi hanya menyimak, berbisik pada Liam.
"Kak, kenapa suasananya jadi kayak sinetron?"
Liam mendelik tajam, menyuruh Evan diam. Tapi meski ia berusaha menjaga ekspresi dingin, hatinya ikut terenyuh melihat Alina yang biasanya tenang kini menangis di pelukan seorang wanita tua.
Nenek Saudah melepaskan pelukan itu perlahan, matanya memandangi wajah Alina yang setengah tersembunyi di balik cadar.
"Ummi juga merindukanmu Alina... Kau sudah dewasa sekarang, dan kau memakai cadar, pasti wajahmu sangat cantik, kan?"
Alina menggeleng pelan, menyeka air matanya.
"Semua wanita cantik karena hatinya, Ummi... Bukankah Ummi yang mengajarkan itu pada Alina? Kecantikan fisik akan pudar oleh waktu, tapi kecantikan hati akan tetap terpancar, bahkan ketika tubuh telah bersemayam di dalam tanah." ucap Alina bergetar, air matanya terus menetes haru.
Nenek Saudah kembali memeluk Alina dengan penuh kehangatan, melepas rindu yang telah lama membelenggu. Nenek saudah bagi Alina adalah ibu kedua yang telah mengajarkannya banyak hal tentang ilmu agama sejak ia masih balita.
Hubungannya yang sangat dekat dengan Nenek Saudah bukan sekedar karena ia guru agama untuk Alina, tapi ia pun merupakan guru ibunya yang kemudian menjadi sahabat dekat.
Di samping mereka, Liam mengamati dengan wajah datar, namun dalam hati ia terkejut melihat sisi Alina yang penuh kelembutan dan kasih sayang, terlebih kata kata mutiara yang istrinya ucapkan, membuat hatinya semakin tersentuh.
Evan, di sisi lain, hanya bisa berdiri canggung, merasa bahwa dirinya menjadi faktor tidak langsung dari pertemuan mengharukan ini.
"Setelah beberapa saat, Nenek Saudah melepaskan pelukannya dan menatap Alina penuh kasih.
"Bagaimana keadaanmu, Nak? Bagaimana keadaan keluargamu?"
Mata Alina kembali sendu. Ia menarik napas panjang.
"Alhamdulillah, semua baik... Hanya saja..." Alina menggantungkan kalimatnya, suaranya bergetar, berat untuk melanjutkan.
"Ibu sudah tidak ada..." lirih Alina, membuat air mata kembali tumpah. Jemarinya menggenggam tangan Nenek Saudah erat, seolah tak ingin kehilangan ibu keduanya lagi.
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un..." Nenek Saudah terisak, wajahnya tertekuk penuh duka.
"Ibumu sudah tiada? Ya Allah... Nak, maafkan Ummi."
"Kenapa Ummi minta maaf? Ummi tidak salah apa-apa. Kepergian Ibu adalah takdir Allah."
"Tapi Ummi menyesal, Nak... Tidak berada di sisinya di saat-saat terakhir..."
Alina menggeleng, tersenyum tipis di balik cadarnya meski dengan mata yang berkaca-kaca.
"Tidak apa-apa, Ummi. Allah lebih tahu apa yang terbaik."
"Oh, ya, Ummi... Alina sudah menikah." Alina mengalihkan kesedihan dengan Ia mengarahkan pandangan pada Liam yang berdiri kaku.
"Dia suami Alina."
Liam tersentak. Tak menduga dirinya akan dikenalkan, ia melangkah maju dengan gugup, lalu menunduk untuk mencium punggung tangan wanita tua itu.
"Assalamu’alaikum, Nek," sapanya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.
Nenek Saudah menatap Liam dengan penuh kehangatan. " Waalaikumsalam...Ini suamimu, Alina?" Nenek Saudah melirik Alina, matanya berbinar sesaat sebelum ia menatap Liam lagi.
"Kau sangat baik dan bijaksana, Nak. Kau tampan juga ya, dan terlihat kaya, kalian terlihat sangat serasi. Semoga pernikahan kalian selalu bahagia dan diberkahi oleh Allah." ucapnya, memandang Liam dan Alina bergantian.
Alina menarik napas dalam, rasa sesak memenuhi dadanya. Bahagia? Kata itu terasa asing, sebab ia tahu pernikahannya dengan Liam hanyalah jalan sementara yang tak lama lagi akan berakhir.
"Aamiin," jawab Alina pelan, mencoba menutupi perasaannya dengan senyuman kecil yang tersembunyi di balik cadar.
Liam menunduk, hatinya semakin terhimpit rasa bersalah. Ia sadar dan merasa malu, selama ini Alina tak pernah mengungkap keburukannya pada siapa pun.
Sementara itu, Nenek Saudah melirik Evan.
"Dan pemuda itu?" tanyanya.
"Oh, itu adik ipar Alina," jawab Alina sambil tersenyum kecil.
Nenek Saudah mengangguk, lalu mengarahkan pandangan tajam pada Evan.
"Jadi anak nakal ini bagian dari keluargamu?"
Evan terbelalak, melirik Liam seolah meminta bantuan. Tapi kakaknya hanya menggerakkan bibir, memberi kode agar ia segera menghampiri Nenek Saudah.
Dengan enggan, Evan mendekat dan mencium tangan wanita tua itu.
"Maafkan saya, Nek," ucapnya dengan suara pelan.
Nenek Saudah menepuk kepala Evan dengan lembut, tapi nada suaranya tegas.
"Aku memaafkanmu. Tapi ingat, jalanan itu bukan milik nenek moyangmu. Lain kali, berhati-hatilah saat berkendara!"
Liam menahan tawa kecil sambil menoyor kepala Evan.
"Dengar itu?"
"Iya, Kak! pendengaranku masih waras, kali!" sahut Evan dengan wajah kesal.
"Ummi, bolehkah Alina meminta alamat rumah Ummi? Alina ingin sekali berkunjung dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama Ummi," pinta Alina, tulus.
Nenek Saudah tersenyum, mengangguk pelan.
"Tentu saja, Nak, Bu polwan, bisa tolong saya tuliskan alamat rumah?" ucap Nenek saudah.
Seorang polisi wanita yang sedari tadi memperhatikan interaksi penuh kehangatan itu segera maju dengan buku catatan kecil. Ia menuliskan alamat rumah Nenek Saudah dengan teliti dan menyerahkannya pada Alina.
"Terima kasih banyak, Bu," ujar Alina sambil menerima kertas itu dengan penuh hormat. Ia melipatnya hati-hati dan menyimpannya di tas kecilnya.
Setelah itu mereka melangkah keluar dari kantor polisi, Alina membantu Nenek Saudah yang berjalan perlahan dengan tongkatnya. Wanita tua itu sesekali tersenyum pada Alina, tatapan matanya penuh kasih sayang, seperti seorang ibu yang kembali bertemu anaknya setelah bertahun-tahun berpisah.
"Kalian sudah punya anak?" tanyanya, melirik Liam di Alina yang berjalan di sampingnya, sedangkan Evan, dia melangkah pela di belakang Nenek saudah.
Liam dan Alina seketika tercengang, mendadak menghentikan langkah bersamaan.
"Oh, tidak, maksud Alina, belum, Mi." jawab Alina, gugup.
Liam mengangguk, wajah dinginnya terpaksa mengulas senyum.
"Iya, Bu. kami baru menikah beberapa bulan." timpal Liam.
Nenek Saudah menarik tangan Alina hingga ia berdiri berhadapan di depan suaminya. Ia lalu menepuk bahu Liam dengan lembut.
"Nak, engkau suami dari anakku Alina. Jagalah dia seperti kau menjaga dirimu sendiri. Semoga Allah melimpahkan keberkahan di rumah tangga kalian. Dan jika kalian belum diberi momomgan, semoga kalian segera memberi kalian kesempatan mejadi orang tua... Semoga Allah memberi kalian anak yang sholeh dan sholeha, Aamiin, Ya Rabb." ucapnya lalu mengusap wajahnya dengan takzim.
Do'a itu secara tidak langsung menggema dalam hati Alina dan Liam. Alina mengangguk pelan, menyeka sudut matanya yang kembali basah.
"Aamiin, Ummi," jawabnya lirih, meski ia tahu harapan itu terasa berat untuk terwujud, bukan hanya hubungannya dengan Liam terlalu rapuh, tapi kondisinya sejak dua bulan terakhir membuatnya pesimis pada mimpi itu.
Liam berdiri diam, rahangnya mengeras. Ia tidak menyangka doa sederhana itu mampu menusuk hatinya. Seakan ada beban besar yang tiba-tiba menghantam kesadarannya, membuatnya menyadari betapa jauh ia dari peran sebagai seorang suami.
"Aamiin," ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan.
Nenek Saudah tersenyum bahagia melihat reaksi mereka berdua.
"Ingat, Nak, anak itu bukan hanya anugerah, tapi juga amanah. Ketika Allah memberimu anak, itu tandanya kau diberi kesempatan untuk menjadi lebih baik."
Alina menggigit bibirnya, menunduk untuk menyembunyikan lukanya. Sementara itu, di dalam hati Liam, doa itu terus bergema, menjadi cambuk bagi dirinya yang selama ini mengabaikan Alina.
Ketika akhirnya mereka masuk ke mobil, Liam menyetir dalam diam. Alina duduk di sampingnya, memandang keluar jendela, sementara Evan di kursi belakang mulai sibuk dengan ponselnya. Meski suasana terasa sunyi, doa dari Nenek Saudah, telah menyentuh hati mereka dalam keheningan.
...🦋🦋🦋...
ud la ngalh salh satu ungkapin prasaan. tpi jangn alina y, liam az yg ungkapi lbih dulu dn bobok ny jang pisah kamar. eh, tpi jangn dulu nti khilaf. blum nikh ulang soal ny😅.
ayo hukumn ap dri liam. kn jdi mikir yg gk2😂. ap gk sebaik ny pernikhn mreka ni diperjels y. krna dri awal banyk x perjnjian2 dibuat liam.
sbelum ny liam mmbuat kontrk utk prnikhan mreka. dn skarang liam sprtiny ingin mlanjut kn prnikah sesungguhny. klw bgitu liam dn alina hrus ijab kabul ulang. krna disaat liam mmbuat perjanjian2 itu, ud trmsuk talak. nmany talak mudhaf. talk yg ud ditentukn.
ayo alina, bukn kh itu yg kau harapkn. saling mmbuka hati.
sehat2 jga buat author ny. biar bsa doble up😁✌️
Ku tunggu buktinya Liam.