Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berdebat
***
"Siapa pria tadi?"
Gerakan tanganku menyendok kuah sop mendadak terhenti, pandanganku kini sepenuhnya teralih pada Mas Yaksa yang duduk di hadapanku, menunggu aku mengambilkan makan malamnya. Keningku mengernyit heran, padahal tadi siang dia sudah menanyakan hal ini lewat pesan singkat dan aku sudah cukup menjelaskan siapa Galen itu.
Benar. Aku pikir yang mengirimiku Galen, tapi ternyata justru Mas Yaksa yang mengirimiku pesan dan menanyakan perihal pria yang kutemui di Cafe tadi. Kalau boleh jujur aku memang sempat kegeeran kalau yang mengirimiku pesan adalah Galen.
"Kan aku tadi udah bilang kalau dia itu teman aku, Mas." Aku kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda lalu menyodorkan piring yang telah terisi nasi, sayur, beserta lauk kepada Mas Yaksa.
Mas Yaksa menerimanya, tak lupa sembari mengucapkan terima kasih.
"Mas pengen denger detailnya."
"Harus banget kita ngobrolin ini di meja makan?"
Aku juga belum makan, sengaja menunggu Mas Yaksa karena katanya hari ini dia akan pulang lebih awal. Untuk beberapa kesempatan kalau memungkinkan aku memilih menunda jam makan malamku demi agar bisa makan berdua dengan Mas Yaksa, tapi kalau pria itu terlambat baru lah aku akan makan lebih dahulu.
"Kenapa?" Mas Yaksa melirikku sebentar sebelum menyuap nasinya, mengunyahnya perlahan hingga tertelan, baru kemudian ia kembali melanjutkan kalimatnya, "apa membicarakan teman SMA kamu itu bisa berpotensi membuat tersedak?" ia bertanya dengan ekspresi datar, namun, aku tau dari nada bicaranya yang terkesan sedang menyindir.
"Cuma temen kan?" sambungnya tiba-tiba membuatku sedikit panik.
Apalagi kala melihat kedua tatapan Mas Yaksa yang terlihat begitu mengintimidasi. Bulu kudukku meremang seketika, nafsu makanku menguap entah kemana.
Takut-takut aku kemudian mengangguk dan mengiyakan.
"Apa profesinya?"
Aku mulai tidak suka dengan arah pembicaraannya. "Kenapa Mas Yaksa mau tahu?"
"Enggak boleh?" Mas Yaksa menaikkan sebelah alisnya curiga.
Aku mengangguk. "Boleh. Dia PNS, Mas."
"Wow, profesi idaman para orang tua ya." Mas Yaksa manggut-manggut paham, kembali melanjutkan makannya.
Sementara aku benar-benar kehilangan nafsu makanku.
"Mas nggak ngelarang kamu mau berteman dengan siapapun itu, Mas tetap mau membebaskan kamu memilih mereka, Geya, tapi tolong saat kamu sedang berada di lingkungan dekat rumah sakit, Mas harap kamu lebih sadar diri."
Egoku merasa tersentil saat mendengar kalimat Mas Yaksa yang terakhir, seolah aku tipekal istri yang tidak tahu diri dan suka membuat onar. Harus banget kah Mas Yaksa berkata demikian?
"Kamu harus ingat kalau berita soal pernikahan kita sudah menyebar luas, ada banyak pemberitaan yang nggak bener soal kamu dan Mas nggak mau kalau orang-orang semakin berpikiran buruk tentang kamu, Geya."
Meski Mas Yaksa menasehatiku demi kebaikanku juga, tapi hati kecilku tetap tidak terima dengan kalimatnya tadi.
"Geya, kamu denger Mas?"
Aku menatap Mas Yaksa sebentar lalu mengangguk seadanya. Untuk sekarang aku terlalu malas untuk menanggapinya, takut terbawa emosi lebih tepatnya.
"Tapi kenapa ekspresi kamu gitu?"
"Memang aku harus berekspresi gimana, Mas? Aku nggak ngerasa melakukan kesalahan besar, aku ketemu Galen juga secara nggak sengaja, kami hanya bertukar kabar seadanya dan di sana ada Rita juga. Terus aku harus gimana?"
Kan, apa aku bilang, kalau aku menanggapinya sudah jelas aku akan terbawa emosi. Aku tidak akan bisa bersikap tenang atau santai karena posisinya aku tidak sedang merasa bersalah, tapi aku merasa seperti disalahkan.
"Geya, kamu nggak benar-benar memahami apa yang Mas maksud ya?"
"Aku paham dan mengerti posisi aku yang udah sah jadi istri kamu, Mas, yang nggak aku pahami di sini karena kamu seolah sedang menuduh aku."
Dengan raut wajah tidak terimanya, Mas Yaksa menggeleng cepat. "Mas nggak ada tuh pikiran buat nuduh kamu, itu prasangka kamu sendiri, Geya, di sini Mas cuma mengingatkan agar ke depannya kamu lebih berhati-hati. Karena dilihat dari gelagat kamu, sepertinya dia orang yang spesial di masa lalu kamu, Mas cuma nggak mau kamu salah langkah."
Tubuhku seketika menegang saat mendengar tebakan Mas Yaksa, yang sejujurnya ada benarnya juga. Meski aku tahu Mas Yaksa yang kini sudah resmi jadi suamiku, tapi melihat Galen kembali tiba-tiba merasa goyah.
"Mas benar kan?"
Aku memilih untuk tetap bungkam. Mas Yaksa menghela napas, nasinya sudah tidak tersentuh dan sepertinya ia juga kehilangan selera makannya.
"Perempuan cenderung lemah kalau ada pria yang menawarkan cinta, Geya. Satu hal yang enggak Mas punya dan berikan, kamu mungkin akan lebih gampang tergiur mengingat kamu mungkin memiliki perasaan serupa."
"Mas tuduhan kamu nggak mendasar, Mas nggak tahu apa-apa jadi stop bersikap paling tahu segalanya hanya karena kamu lebih berpengalaman. Galen nggak pernah suka aku lebih dari teman."
"Dan kamu menyukainya bukan?" tebak Mas Yaksa tepat sasaran, "atau mungkin lebih dari sekedar suka. Bahkan kemungkinan lainnya dia adalah alasan kenapa kamu tidak memiliki hubungan spesial dengan pria manapun?"
"Rasa sukaku lebih atau tidak itu bukan urusan Mas Yaksa." aku kemudian memutuskan untuk berdiri, "kalau Mas Yaksa sudah selesai makannya biar aku beresin."
Mas Yaksa mengangguk, menegak sisa air minumnya lalu beranjak dari kursi dan meninggalkan meja makan.
Sepeninggalnya Mas Yaksa, aku kemudian memilih segera membereskan meja makan dan mencuci piring. Selesai beberes, aku tidak memutuskan untuk langsung ke kamar, melainkan memilih keluar rumah dan menikmati hembusan air. Aku butuh udara segar untuk menenangkan diri. Sedikit banyak aku kepikiran dengan kalimat Mas tadi, namun, aku enggan mengakuinya. Sekalipun apa yang dikatakan Mas Yaksa, toh, Galen belum tentu memiliki perasaan yang sama denganku.
Apalagi kalau mengingat perawakan dan penampilan Galen yang sekarang, sangat lah mustahil kalau pria itu tidak memiliki kekasih. Atau mungkin dia sudah menikah kala mengingat profesinya sebagai seorang PNS, sepertinya orang tua dari pacar Galen segera mendesaknya untuk segera menikahi putrinya. Sangat masuk akal kan?
Sepertinya yang tidak masuk akal adalah pemikiran Mas Yaksa, dia mengkhawatirkan sesuatu yang seharusnya tidak ia khawatirkan. Hanya karena aku dan Mas Yaksa menikah tidak dasar cinta, lalu crush masa laluku hadir, aku akan meninggalkan pernikahan kami, yang sejujurnya memang terkesan tidak kokoh ini, hanya demi cinta lama ku kan?
Aku sedikit tersentak kaget saat tiba-tiba merasakan getaran dari saku celana yang ku kenakan, aku baru sadar kalau ternyata aku membawa ponsel.
Mungkin Mas Yaksa mengirimiku pesan untuk menanyakan keberadaanku. Antara rela dan tidak rela, aku merogoh saku dan mengeluarkan ponselku dari sana. Tubuhku seketika menegang saat membaca bukan nama Mas Yaksa yang tertera di sana.
To be continue,
Plis, vote komennya soalnya aku lgi kehilangan selamat nih🙏🙏🙏😭😭😭
komunikasi dewasa yg bisa merekatkan keduanya.... jaga yaa geya yg terbuka ...yeksa yg membimbing...
g enak banget ya..geya...dengernyaa
sabar yaa..
...ibu sedikit saja mengerti,memahami geya u bisa adaptasi dengan keadaannya... toh geya pada dasarnya anak penurut.