Selamat membaca, ini karya baru Mommy ya.
Aisha dan Dani adalah sahabat sejak dulu, bahkan mereka bersama sama hijrah ke ibu kota mengais rezeki disana. kebersamaan yang ternyata Dani menyembunyikan cintanya atas nama persahabatan.
Sementara Aisha yang jatuh cinta pertama kalinya dengan Atya, lelaki yang baru ditemuinya yang mempunyai masa lalu yang misterius.
Apakah hubungannya dengan Arya akan menjadi pasangan terwujud? Bagaimana dengan rasa cinta Dani untuk Aisha? Apa pilihan Aisha diantara Dani dan Arya?
Baca karya ini sampai selesai ya, happy reading!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Restu Keluarga Aisha
Kedatangan Arya kali ini benar-benar membawa sesuatu yang berbeda. Selain penampilannya yang semakin berwibawa, perhatian dan kasih sayangnya kepada Aisha terasa semakin nyata dan istimewa. Bahkan, Aisha terkadang tersenyum sendiri melihat bagaimana Arya yang biasanya santai kini terlihat sangat protektif, seolah tidak ingin membiarkan Aisha jauh darinya.
Suatu malam, Arya mengajak Aisha untuk makan malam romantis. Mereka memilih restoran atap gedung dengan pemandangan kota yang memukau. Lampu-lampu kota yang berkilauan menjadi latar sempurna untuk percakapan mereka malam itu.
"Kamu tahu, Aisha," kata Arya sambil memegang tangan Aisha di atas meja. "Aku benar-benar merasa hidup saat bersamamu. Kamu membuatku ingin menjadi versi terbaik dari diriku."
Aisha tersipu, tapi ia tidak mengalihkan pandangan dari Arya. "Kamu selalu menjadi pria terbaik di mataku, Arya. Aku bersyukur kita dipertemukan."
Arya tersenyum hangat, lalu mengeluarkan sebuah map kecil dari dalam tasnya. "Malam ini, aku ingin kita bicara serius tentang masa depan. Aku sudah berbicara dengan keluargaku, dan mereka ingin mengenal keluargamu lebih dekat. Aku tahu ini hal besar, jadi aku ingin mendengar pendapatmu dulu."
Aisha terdiam sesaat, lalu berkata dengan suara pelan, "Aku tidak punya banyak keluarga, Arya. Ibuku adalah anak tunggal, dan satu-satunya keluarga dekat yang tersisa hanyalah pamanku, Ibas. Dia seorang guru SD di kampung. Sudah lama aku tidak pulang, hampir tiga tahun."
Arya mendengarkan dengan seksama. "Bagaimana jika kita mengunjungi pamannya? Aku ingin memastikan keluargamu juga merestui hubungan kita."
Aisha terharu mendengar niat tulus Arya. "Itu ide yang bagus. Aku akan berbicara dengan Sintia untuk membantu mempersiapkannya."
***
Seminggu kemudian, Aisha dan Sintia berangkat lebih dulu ke kampung halaman Aisha. Mereka memilih mobil yang sederhana atas permintaan Aisha. Ia tidak ingin keluarganya merasa terganggu atau terintimidasi dengan kemewahan hidupnya sekarang.
Ketika mereka tiba, paman Aisha, Ibas, tampak terkejut melihat keponakannya. "Aisha? Kamu? Sudah lama sekali! Kenapa tidak pernah memberi kabar?"
Aisha tersenyum canggung. "Maafkan aku, Paman. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan. Tapi aku di sini sekarang, dan aku membawa kabar baik."
Ibas mempersilakan mereka masuk ke rumahnya yang sederhana. Namun, suasana berubah ketika bibinya, Naina, keluar dari dapur. Ia menyambut dengan senyum yang tampak dipaksakan.
"Oh, Aisha! Sudah lama sekali. Jadi, apa yang membawamu ke sini? Pasti ada hal penting, bukan?" tanyanya dengan nada yang sedikit sinis.
Aisha menjelaskan niatnya untuk meminta restu dan bantuan pamannya menjadi wali dalam pernikahannya kelak. Ibas langsung setuju, tetapi Naina tampak tidak senang.
"Tentu saja kami bisa membantu," kata Naina, "tapi ada timbal baliknya, kan? Kamu tahu hidup kami tidak mudah."
Aisha terdiam, merasa tidak nyaman dengan permintaan itu. Sintia, yang berada di sampingnya, menatap Naina dengan tajam, tetapi Aisha menenangkannya.
"Baiklah, Bibi," jawab Aisha akhirnya. Ia mengeluarkan cek dengan jumlah nominal yang cukup besar. "Ini untuk membantu kebutuhan keluarga. Aku juga membawa oleh-oleh untuk Bibi dan tetangga di sini."
Mata Naina langsung berbinar melihat cek tersebut. "Ah, kamu memang keponakan yang pengertian. Kalau begitu, aku setuju."
Namun, anak perempuan Naina, Ifa, yang berusia tiga tahun lebih muda dari Aisha, tampak iri. Ia memandang Aisha dengan tatapan tidak suka.
"Jadi, kapan calonmu datang?" tanya Ifa sinis. "Aku ingin lihat seperti apa pria yang berhasil meluluhkan hati Aisha."
Sintia tertawa kecil, lalu berkata, "Tunggu saja. Kamu akan mengerti kenapa Aisha begitu beruntung."
Ibas, yang memperhatikan semuanya, hanya menggelengkan kepala. Ia tahu keluarganya kadang terlalu materialistis, tetapi ia memilih untuk diam.
***
Dua hari setelah kunjungan Aisha dan Sintia ke rumah pamannya, Ibas, rombongan keluarga Arya tiba di kampung halaman Aisha. Sejak pagi, suasana desa sudah ramai. Mobil-mobil mewah mulai terlihat memasuki desa, menarik perhatian warga setempat. Banyak yang berbisik-bisik, penasaran siapa tamu istimewa yang datang.
Di depan rumah sederhana Ibas, Naina tampak sibuk mengatur segala sesuatunya, meskipun wajahnya masih menyiratkan rasa tidak percaya. "Aisha, benar ini calon suamimu? Jangan bercanda. Lihat saja mobil-mobil itu, seperti iring-iringan pejabat," katanya dengan nada heran bercampur kagum.
Aisha, yang berdiri di samping Sintia, hanya tersenyum. "Bibi, mereka memang sederhana dalam hati, meskipun tampak seperti ini. Tolong jangan membuat mereka tidak nyaman, ya?"
Naina mendengus pelan. "Baiklah, tapi tetap saja aku tidak habis pikir. Bagaimana kamu bisa mendapatkan pria seperti itu?"
Tak lama kemudian, Arya turun dari mobil pertama bersama orang tuanya, Aditya dan Amanda Yudistira, serta adiknya, Azka. Arya mengenakan setelan kasual yang rapi namun tetap berkelas. Ia langsung menghampiri Aisha dan tersenyum hangat.
"Kamu terlihat cantik hari ini," bisiknya sambil menggenggam tangan Aisha.
Aisha hanya tersipu malu. "Terima kasih sudah datang, Arya. Aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskan tentang kampungku."
"Kampung ini indah, seperti kamu," balas Arya dengan nada lembut.
Amanda, yang berdiri tak jauh, langsung memeluk Aisha. "Aisha, akhirnya kita bertemu lagi. Arya sering bercerita tentang kamu. Kamu benar-benar membuatnya bahagia."
“Terima kasih, Tante. Kehadiran keluarga Arya adalah kehormatan besar bagi saya,” jawab Aisha sopan.
Ibas menyambut dengan ramah, meski terlihat sedikit gugup. "Selamat datang di rumah kami. Mohon maaf jika ada kekurangan."
Aditya menjabat tangan Ibas dengan penuh hormat. "Terima kasih telah menerima kami. Kehormatan bagi kami bisa datang ke sini."
Azka, meskipun tidak banyak bicara, memberikan senyum tipis kepada Aisha. "Kak Arya tidak berlebihan saat bercerita. Kak Aisha memang sederhana, tapi punya aura yang kuat," katanya pelan, membuat Aisha tersipu.
***
Makan malam dimulai dengan sunyi. Hanya suara alat makan yang terdengar. Arya berusaha memulai percakapan untuk mencairkan suasana.
"Paman, apakah Aisha sering bermain di sekitar sini saat kecil?" tanyanya.
Ibas tersenyum. "Oh, tentu. Dia suka bermain di lapangan dekat sekolah. Tapi setelah dewasa, dia sibuk dengan pekerjaannya."
Amanda menambahkan, "Itu bagus. Kami senang mendengar bahwa Aisha adalah wanita yang mandiri."
Namun, Naina, yang duduk di ujung meja, tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar. "Mandiri, ya? Tapi tetap saja, pasti ada banyak bantuan yang diterima, kan? Tidak mungkin sukses tanpa bantuan orang lain."
Sintia, yang duduk di samping Aisha, langsung merespons dengan tenang. "Bibi, semua orang pasti membutuhkan dukungan. Tapi apa yang Aisha capai adalah hasil kerja kerasnya sendiri. Saya adalah saksi dari perjuangannya."
Arya menatap Naina dengan pandangan tajam, tetapi tetap sopan. "Saya rasa itu adalah hal yang perlu dibanggakan. Aisha adalah wanita yang luar biasa, dan saya beruntung bisa mengenalnya."
Percakapan itu membuat Naina terdiam sejenak. Ifa, yang duduk di sebelah ibunya, hanya diam sambil mengamati dengan wajah iri.
Setelah makan malam, semua berkumpul di ruang tamu. Arya berdiri di depan, memandang keluarga Aisha dengan serius.
"Saya datang ke sini dengan niat baik," kata Arya, suaranya tegas namun penuh hormat. "Saya mencintai Aisha, dan saya ingin menikahinya. Saya berharap keluarga di sini dapat memberikan restu."
Aditya menambahkan, "Kami sekeluarga mendukung keputusan Arya. Tapi kami juga ingin memastikan bahwa keluarga di sini merestui hubungan ini. Karena kami percaya, pernikahan adalah tentang menyatukan dua keluarga."
Ibas mengangguk pelan. "Arya, saya melihat kesungguhanmu. Saya percaya kamu akan menjaga Aisha dengan baik. Saya memberikan restu saya."
Namun, Naina tampak ragu. "Restu, ya? Tentu, tapi kita harus memastikan semuanya berjalan lancar, bukan?"
Aditya tersenyum kecil. "Tentu saja. Kami akan memastikan bahwa Aisha mendapatkan yang terbaik."
Arya lalu berlutut di depan Aisha, mengejutkan semua orang. Ia mengeluarkan kotak kecil berisi cincin berlian yang indah.
"Aisha, kamu adalah wanita yang mengubah hidupku. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Apakah kamu bersedia menjadi istriku?"
Mata Aisha berkaca-kaca. Dengan suara pelan, ia menjawab, "Ya, Arya. Aku bersedia."
Ruangan itu dipenuhi tepuk tangan dari keluarga Arya dan Ibas. Naina, meskipun masih ragu, tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya.
Ketika keluarga Arya bersiap untuk pulang, Ibas menggenggam tangan Aisha dengan lembut. "Aisha, kamu telah membuat kami bangga. Jaga hubungan ini baik-baik, dan jangan pernah lupa dari mana kamu berasal."
Amanda memeluk Aisha erat. "Kami sangat senang bisa menyambutmu di keluarga kami. Kamu adalah anugerah untuk Arya, dan juga untuk kami."
Arya menggenggam tangan Aisha erat. "Mulai sekarang, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan lagi. Aku akan selalu ada untukmu."