Tiga tahun lalu, Agnia dan Langit nyaris menikah. Namun karena kecelakaan lalu lintas, selain Agnia berakhir amnesia, Langit juga divonis lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya. Itu kenapa, Agnia tak sudi bersanding dengan Langit. Meski tanpa diketahui siapa pun, penolakan Agnia justru membuat Langit mengalami gangguan mental. Langit kesulitan mengontrol emosi sekaligus kecemburuannya.
Diam-diam, Agnia sengaja menyuruh Dita—anak dari pembantunya yang tengah terlilit biaya pengobatan sang ibu, menggantikannya. Padahal sebenarnya Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa karena desakan keluarga yang meragukan ketulusan Agnia.
Ketika Langit mengetahui penyamaran Dita, KDRT dan talak menjadi hal yang kerap Langit lakukan. Cinta sekaligus benci mengungkung Dita dan Langit dalam hubungan toxic. Namun apa pun yang terjadi, Dita terus berusaha bertahan menyembuhkan mental Langit.
Lantas, apa jadinya jika Agnia tahu, bahwa Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sembilan Belas
Pada akhirnya, Langit tetap tidak bisa tidur. Obrolan hangat penuh canda tawa yang mengantarkan Dita tidur, mengakhiri kebersamaan mereka.
“Kenapa aku jadi begini? Aku gila ... bahkan sekadar tidur saja, aku enggak bisa.” Langit putus asa. Kedua matanya masih mengawasi wajah Dita.
Entah apa yang terjadi, tapi lama-lama Langit ketiduran juga. Langit ketiduran di dada Dita. Hingga Dita terbangun karena merasa pegal di dadanya. Dita bahkan jadi agak sesak, tapi setelah tahu itu karena sang suami yang ketiduran di dadanya. Dita rela menahan sesak sekaligus pegalnya.
“Alhamdullilah ... nih orang sudah enggak tidur berapa hari? Apa jangan-jangan, hantaman tongkat pas di depan diskotik itu, juga bikin luka di kepala kamu makin parah, ya, Mas? Lagian Mas, ngapain sih ke diskotik segala. Fasilitas disita, masih saja berinisiatif hutang. Bukannya cari kerjaan dan jadi orang mapan tanpa keluarga. Eh kamu makin nakal. Kualat kamu!” batin Dita sembari mengelus kepala Langit yang sesekali ia kecup.
“Sembuh ya, Mas. Tadi pas kamu aku ajak bercanda, kok rasanya ngalir gitu saja. Semuanya serasa baik-baik saja,” pikir Dita yang kemudian sengaja memiringkan wajahnya guna menatap wajah Langit yang nyaris terbenam sempurna di dadanya.
***
Langit tidur sangat lama. Jam digital di meja sebelah menunjukkan tepat pukul setengah lima sore. Pria itu terbangun sambil mengernyit kemudian menatap perut sang istri. Karena dari sana terdengar suara kruyuk-kruyuk yang sangat menganggu.
“Aku tidur lama banget,” ucap Langit tak lama setelah memastikan waktu.
“Aku enggak bisa gerak. Aku susah napas. Aku kelaparan,” lirih Dita yang sekadar bersuara saja jadi kesulitan.
Detik itu juga Langit panik. Ia buru-buru membangunkan Dita, tapi Dita memintanya untuk pelan-pelan.
“Sakit banget, Mas. Bentar, pelan-pelan. Hah ....”
“Kenapa kamu enggak bangunin atau seenggaknya pindahin kepala sama tubuhku?”
“Enggak mungkin. Bikin Mas bisa tidur saja, serasa mustahil. Lihat Mas bisa tidur sampai ngorok saja, aku sudah senang banget!”
“I—itu ngorok harus disebut, ya?”
Melihat tampang Langit yang jadi sangat melas, Dita tidak bisa untuk tidak tertawa. Namun, itu hanya berlangsung sebentar karena yang ada, Dita jadi kesakitan.
“Mas bisa urut? Mau dong soalnya sakit banget!” rengek Dita.
Dita berpikir, dirinya harus membuat sang suami sibuk untuknya. Agar Langit melupakan hal-hal yang membuatnya terluka, tapi Langit tetap tidak paham apa yang membuat dirinya terluka.
Sekitar dua jam kemudian, Dita menjalani urut di dalam kamar tamu. Berkat bantuan sang mama, Langit mengundang tukang urut langganan mamanya. Namun karena Langit terlalu posesif, acara urut tak luput dari pengawasannya. Padahal, yang mengurut Dita itu ibu-ibu dan lebih tua dari ibu Azzura.
Bunyi ‘kretek’ tak hentinya terdengar di setiap ibu-ibu tukang urut, menekan bagian tubuh Dita.
“Capek banget ini. Remuk, beneran remuk badannya. Angin juga ada di mana-mana. Habis ngapain, Non-nya?” ucap ibu-ibu tukang urut dengan nada bicara terbilang ngedok.
“Habis jadi kuli panggul di pasar sebelah itu!” seloroh Langit dan membuat ibu Azzura yang baru datang, langsung mesem.
Ibu Azzura datang bersama ART yang membawa nampan berisi minuman. Ada segelas teh manis hangat, dan juga dua gelas berisi wedang rempah.
“Mas, wedang rempahnya buat kamu sama istri kamu. Terus, teh hangatnya buat Ibunya. Ibunya cuma bisa minum teh manis hangat apa air putih hangat, soalnya,” ucap ibu Azzura sangat santun. Ia memang sudah paham kebiasaan tukang urutnya, selain mereka yang memang memiliki hubungan terbilang baik.
“Ya ampun ... ini aku mendadak jadi artis urut. Lagi urut ke sini, diawasi suami saja gerogi. Eh ini ada mama mertua juga. Mama mertuaku bukan yang tipikal julid, sih. Dia baiknya banget, tapi tetap saja rasanya gimana gitu,” batin Dita yang kemudian diminta untuk terentang dan ditanya kesediaannya dipijat bagian perutnya.
“Punten, Bu. Sepertinya menantu saya lagi ‘isi’. Yang namanya hamil apalagi hamil pertama kan biasanya keluhannya beragam. Karena jangankan hamil pertama, pernah hamil saja, sudah beda ceritanya dengan kehamilan pertama kan. Paling kalau mau pijat perut, hati-hati. Sekalian bero-nya, takut turun.” Sebagai seorang bidan, ibu Azzura memang sangat paham dengan kehamilan dan dramanya. Drama mengidam, serta sederet hal-hal baru yang kadang menjadi kebiasaan yang menjalani. Baik dijalani wanita hamilnya, atau malah sang suami.
Perihal emosi Langit yang makin meledak-ledak, ibu Azzura juga mengaitkannya dengan bawan janin. Percaya tidak percaya, apalagi sebagai orang Jawa yang masih menjalani tradisi, ibu Azzura juga sampai berpikir jauh ke situ.
Di lain sisi, kecurigaan kehamilan sang istri membuat dada seorang Langit berdebar-debar. Ada kebahagiaan yang amat besar dan meluap di sana. Kali ini, alasannya mendadak sesak napas, bukan lagi karena ia terlalu emosi apalagi kecewa. Alasannya begitu sesak kali ini, murni karena ia begitu bahagia.
Walau hanya diam dan sengaja menahan kebahagiaannya, Langit tidak sabar menunggu kabar bahagia itu. Kehamilan Dita, membuat Langit melupakan semua hal, termasuk luka dan kekecewaannya di masa lalu.
“Hamil ...? Sudah mau tiga minggu dari pertama kali aku melakukannya dengan Mas Langit. Katanya, cukup dua minggu dari pembuahan setelah suami istri ‘campur’, andai sama-sama subur, bisa langsung jadi!” batin Dita jadi gugup. Rasa gugup yang makin bertambah, sebab ketika ia tak sengaja menoleh ke Langit yang berdiri tak jauh dari matras ia menjalani pijat, suaminya itu menatapnya dengan tatapan tak sabar.
Langit sampai duduk dan dari senyum semringah di wajahnya, Langit terlihat dalam suasana hati yang sangat baik.
“Bentar ya, ini sih ...,” ucap ibu Azzura yang disela oleh ibu Azzura. Ibu Azzura begitu yakin bahwa Dita sedang hamil.
“Iya ... berarti memang langsung jadi,” ucap ibu-ibu tukang urutnya sambil memegang perut bagian bawah Dita.
Kehamilan Dita menjadi sumber kebahagiaan di sana. Bukan hanya dari ibu Azzura maupun Dita. Karena Langit juga jadi senyum-senyum sendiri.
Walau agak canggung, Dita dan Langit bertukar kebahagiaan melalui senyuman, tak lama setelah tatapan mereka bertemu. Baik Langit apalagi Dita bingung, kenapa mereka harus jadi merasa sangat canggung hanya karena kabar kehamilan Dita? Namun tak bisa Langit pungkiri, rasa sayangnya kepada Dita langsung sangat besar. Dita beres urut dan hendak duduk saja, ia langsung menjadi orang pertama yang membantunya. Padahal, ibu-ibu tukang urut, maupun ibu Azzura sudah akan membantu Dita. Namun, Langit seolah ingin jadi orang pertama sekaligus satu-satunya yang mengurus Dita.
Rasa sayang yang begitu besar pula yang membuat Langit memeluk Dita, detik itu juga. Tak peduli, meski di sana masih ada ibu-ibu tukang urut, maupun ibu Azzura. Langit tetap memeluk Dita penuh cinta. Bibir dan wajahnya kerap terbenam di pipi maupun kepala Dita.
Dunia Dita seolah berhenti berputar ketika sang suami sampai memangkunya. Sulit untuknya percaya, Langit bisa sangat menyayanginya. Iya, meski suaminya hanya diam. Sentuhan dan kecupan yang Langit lakukan, sudah cukup menjadi bukti, betapa sang suami sangat menyayanginya.
(Assalamualaikum ... semuanya, mohon dukungan sekaligus doanya. Karena besok merupakan bab 20. Bab perhitungan retensi. Mohon, jangan g a g a l lagi. Apalagi ini buat lomba. Semoga semuanya kompak, enggak hanya sepihak 💪🤲❤️💜💙🫂)
ngembleng lah biar langsung sadar tu smc mita.kenyataan jauh dari angan2.wkwkwkwkwkwkwkwk