Dira Namari, gadis manja pembuat masalah, terpaksa harus meninggalkan kehidupannya di Bandung dan pindah ke Jakarta. Ibunya menitipkan Dira di rumah sahabat lamanya, Tante Maya, agar Dira bisa melanjutkan sekolah di sebuah sekolah internasional bergengsi. Di sana, Dira bertemu Levin Kivandra, anak pertama Tante Maya yang jenius namun sangat menyebalkan. Perbedaan karakter mereka yang mencolok kerap menimbulkan konflik.
Kini, Dira harus beradaptasi di sekolah yang jauh berbeda dari yang sebelumnya, menghadapi lingkungan baru, teman-teman yang asing, bahkan musuh-musuh yang tidak pernah ia duga. Mampukah Dira bertahan dan melewati semua tantangan yang menghadang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alif Datang
Dira melangkahkan kaki menuju sekolah, ditemani oleh Levin dan Vanya. Udara pagi yang sejuk mengiringi perjalanan mereka, tetapi di wajah Levin terlihat jejak kegelisahan yang samar. Vanya, yang berjalan di sebelahnya, tampak jauh lebih baik daripada beberapa hari yang lalu. Senyumnya perlahan kembali, meski ada sesuatu di matanya yang masih menyiratkan perih.
“Vanya,” Levin memecah keheningan, suaranya tenang tapi tegas, “di sekolah nanti, kamu jangan pernah dekat-dekat lagi sama Bagas. Kalau bisa, hindari dia.”Vanya menatap Levin, rasa bersalah mengintip di balik matanya yang lembut. "Iya, Kak. Vanya janji nggak akan ketemu Bagas lagi," jawabnya, meski ada getaran tipis di suaranya yang mungkin tak disadari oleh Levin.
Dira hanya diam, mendengarkan percakapan itu dengan hati-hati. Ia tahu betul apa yang terjadi antara Vanya dan Bagas. Luka yang ditinggalkan belum sepenuhnya sembuh, meski Vanya mencoba untuk menutupinya dengan senyum tipis. Sampai di gerbang sekolah, Vanya berpisah dengan kakaknya dan Dira. Wajahnya berusaha terlihat ceria, tapi langkahnya sedikit ragu-ragu saat masuk ke halaman sekolah. Dira menatap Levin sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Lo yakin Vanya baik-baik aja?"
Levin menghela napas, lalu menatap adiknya yang mulai menjauh di antara kerumunan siswa. "Gue nggak tahu, gue yakin dia baik baik aja" balas Levin. Sementara itu, di koridor sekolah, Vanya berjalan perlahan, matanya mencari sosok yang sudah berhari-hari ia hindari. Meski ia sudah berjanji pada Levin, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya ragu. Apakah ia bisa benar-benar menghindari Bagas, ataukah bayangan lelaki itu akan selalu membayanginya, memanggil-manggil dalam hati setiap kali mereka berpapasan? Dan saat itu juga, dari ujung koridor, muncul sosok Bagas. Mata mereka bertemu
Dira dan Levin berjalan bersama menuju kelas mereka, namun di koridor mereka tak sengaja berpapasan dengan Naomi. Mata Naomi menatap tajam, penuh dengan amarah yang tak terselubung. "Kalian ngapain jalan berdua?" tanyanya dengan nada sinis yang menggema di udara. Levin merasa panik, tatapannya bertemu dengan Dira sejenak, seolah mencari jawaban yang tak bisa ia temukan.
"Naomi, ayo kita pergi saja," kata Levin, suaranya terdengar mendesak saat dia meraih tangan Naomi, berusaha menariknya menjauh dari situasi yang mulai memburuk. Namun, Naomi tidak bergerak, tangannya kaku di genggaman Levin, matanya masih tertuju pada Dira, seolah menuntut penjelasan "Heh, lonte! Ternyata lo masih aja deketin Levin, ya?" sergah Naomi dengan nada kesal, tatapannya menusuk Dira. Dira menghela napas dalam-dalam, mencoba menahan emosinya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi berurusan dengan Naomi, dan kali ini, ia harus menepati janji itu.
Namun, sebelum Dira sempat menjawab, sebuah suara dari kejauhan membuatnya terhenti. "Hai, Dira!" Seseorang memanggil namanya. Dira menoleh, dan pandangannya jatuh pada sosok pria yang tak diduganya akan bertemu di sini. "Alif?" serunya terkejut. Alif tersenyum hangat saat dia mendekat, matanya kemudian beralih pada Naomi. "Eh, hai Naomi, kita ketemu lagi," katanya ringan, seolah pertemuan ini adalah hal biasa.
Naomi tampak bingung, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya."Alif? Lo sekolah di sini?" tanyanya, matanya menyipit seakan berusaha memahami situasi yang tiba-tiba berubah. Dira semakin kebingungan. Bagaimana Alif bisa mengenali Naomi? Pikiran-pikiran itu berputar di kepalanya, menambah lapisan baru pada masalah yang sudah cukup rumit di hadapannya.
"Wih, Naomi, gue denger lo udah pacaran ya sekarang sama Levin?" tanya Alif sambil menyeringai, nada suaranya seolah ingin menguji reaksi Naomi. Naomi, dengan cepat menoleh ke arah Levin, seolah mencari konfirmasi. "Iya dong, iya kan, Levin?" tanyanya dengan nada yang terdengar lebih seperti perintah daripada pertanyaan.
"Iya," jawab Levin, meski terdengar ragu. Tatapannya sekilas beralih ke Dira, penuh dengan ketidakpastian, seakan ada sesuatu yang ingin ia sampaikan tapi tak bisa diungkapkan. "Ya baguslah," sahut Alif dengan nada yang tulus, menepuk bahu Naomi dengan ringan. "Akhirnya perjuangan lo dari SMP terbalaskan juga," lanjutnya, seolah mengenang masa lalu yang tak Dira pahami. Dira hanya bisa berdiri di sana, menyaksikan interaksi yang semakin membingungkannya. Alif dan Naomi tampak saling mengenal dengan baik, bahkan berbicara tentang hal-hal yang tidak pernah ia dengar sebelumnya.
"Yaudah, gue mau ke ruang kepala sekolah buat ngurusin berkas pindahan. By the way, makasih ya, Vin, buat yang kemarin," kata Alif sambil melirik Levin, seolah ada hal yang hanya mereka berdua ketahui. Levin hanya mengangguk pelan, tapi sebelum sempat merespons lebih lanjut, Alif tiba-tiba meraih tangan Dira dengan cepat. "Ayo, Dir," ajaknya dengan nada yang tak bisa ditolak. Gerakannya yang tiba-tiba membuat Dira dan Levin sama-sama terkejut. Namun, sebelum ada yang bisa bereaksi, Alif sudah membawa Dira menjauh, meninggalkan Levin dan Naomi yang hanya bisa menatap dalam keheranan.
Naomi, yang biasanya penuh percaya diri, kini tampak kebingungan. Pandangannya mengikuti Dira dan Alif yang berjalan bersama, semakin jauh dari jangkauan pandang mereka. "Levin, kok si Dira sama si Alif bisa akrab gitu?" tanyanya, suaranya terdengar penuh dengan rasa ingin tahu yang mendalam. Levin tetap diam sejenak, matanya masih terpaku pada punggung Dira dan Alif yang semakin menjauh. Ada sesuatu yang tidak bisa ia pahami, sesuatu yang membuatnya merasa gelisah. "Gue nggak tau" jawab Levin.
Sementara Dira dan Alif berjalan menuju ruang kepala sekolah, Dira tiba-tiba tersadar bahwa Alif masih menggenggam tangannya. Dengan cepat ia menepis genggaman itu. "Eh, ngapain masih pegang tangan gue?" tanyanya dengan nada sedikit kesal. Alif tertawa kecil, seolah tidak terpengaruh oleh reaksi Dira. "Yaelah, Dir, lo harusnya berterima kasih sama gue. Gue tahu kok kalo lo suka sama si Levin. Makanya gue sengaja bikin dia cemburu," jawab Alif dengan nada menggoda.
Dira menghela napas panjang, merasa lelah dengan semua drama ini. "Lagian mereka pacaran. Ya udahlah, gue juga nggak peduli," katanya dengan nada datar, mencoba mengakhiri percakapan tentang Levin dan Naomi yang sudah menguras emosinya. Namun, Alif tidak mudah menyerah. "Tapi lo nggak curiga? Gue tuh tahu banget si Levin itu nggak suka sama si Naomi. Yakali sekarang tiba-tiba pacaran," kata Alif, suaranya berubah serius. Dia memandang Dira, berharap dia mau melihat situasi ini dari sudut pandang yang berbeda.
Dira terdiam, kata-kata Alif mulai menggoyahkan ketidakpeduliannya. Ada sesuatu yang janggal, tapi ia tak ingin membiarkan dirinya terlalu terlibat lagi.
yu follow untuk ikut gabung ke Gc Bcm thx