Trisya selama ini tinggal di Luar Negri. Dia harus kembali pulang ke Indonesia atas perintah ibunya. Ibunya khawatir dengan perusahaan yang dikuasai ibu tirinya. Hal itu membuat Trisya mau tidak mau harus bergerak cepat untuk mengambil alih Perusahaan.
Tetapi ternyata memasuki Perusahaan tidak mudah bagi Trisya. Trisya harus memulai semua dari nol dan bahkan untuk mendapatkan ahli waris perusahaan mengharuskan dia untuk menikah.
Trisya dihadapkan dengan laki-laki kepercayaan dari kakeknya yang memiliki jabatan cukup tinggi di Perusahaan. Pria yang bernama Devan yang selalu membanggakan atas pencapaian segala usaha kerja keras dari nol.
Siapa sangka mereka berdua dari latar belakang yang berbeda dan sifat yang berbeda disatukan dalam pernikahan. Devan yang percaya diri meni Trisya yang dia anggap hanya gadis biasa.
Bagaimana kehidupan Pernikahan Trisya dan Devan dengan konflik status sosial yang tidak setara? apakah itu berpengaruh dengan pernikahan mereka?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ainuncepenis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 25 Manis
Setelah sama-sama sibuk mengerjakan pekerjaan masing-masing yang akhirnya pasangan suami istri itu yang berjalan keluar dari Perusahaan.
"Kita akan naik mobilku saja," ucap Trisya.
"Iya. Kamu memang tidak mungkin mau menaiki mobilku yang tidak apa-apanya dengan mobil kamu. Astaga aku bener-bener tidak tahu malu yang waktu itu bisa-bisanya berpikir jika Trisya tidak pernah menaiki mobil mewah yang aku miliki dan memang benar dia tidak menaiki mobil murahan seperti milikku. Kenapa bisa-bisanya aku menjadi orang seperti itu waktu itu. Astaga Aku tidak tahu bagaimana pikiran Trisya waktu itu," batin Devan.
Matanya sekarang fokus membandingkan mobilnya yang terparkir dan mobil mewah Trisya. Percaya diri Devan benar-benar sudah menciut. Karena istrinya jauh lebih kaya dibandingkan dia.
"Kau benar-benar bego Devan. Seharusnya sejak awal kau dengan pintar meneliti siapa Trisya. Kau seolah menutup mata yang mengabaikan penampilannya yang memang mencerminkan Dia adalah anak orang kaya. Tetapi kau malas sok-sokan ada yang sangat naif yang tidak ingin mengakui hal itu," Devan terus saja menyesali perbuatannya.
"Kamu kenapa diam?" tanya Trisya yang sangat menunggu sejak tadi jawaban dari suaminya itu.
"Oh. Tidak apa-apa. Kalau kamu tidak ingin pulang bersamaku, ya sudah tidak apa-apa kita pulang berpisah saja, kamu naik mobil kamu dan aku naik mobilku," sahut Devan yang mengambil keputusan.
"Kenapa seperti itu?" tanya Trisya dengan kedua alis mengkerut.
Devan tidak tahu harus memberikan jawaban apa dan tidak mungkin juga dia mengatakan yang sejujurnya, bahwa dia sekarang sedang minder dan mulai sadar diri, bahwa posisinya sangat jauh di bawah Trisya.
"Devan, kita itu adalah pasangan suami istri dan masa iya suami istri pulang terpisah. Kamu itu aneh-aneh saja," sahut Trisya dengan geleng-geleng kepala yang tidak setuju dengan keinginan Devan.
"Ya, karena..." Devan garuk-garuk kepala dengan jarinya yang bingung mau menjawab apa lagi. Dia benar-benar semakin bodoh di depan istrinya itu.
"Atau kamu tidak bisa mengendarai mobilku?" tebak Trisya.
"Ya. Bisalah! mana mungkin aku tidak bisa," jawab Devan dengan cepat.
"Lalu?" tanya Trisya.
"Apa yang membuat kamu tiba-tiba punya pikiran bahwa kita berdua harus pulang secara terpisah dan sementara kita tinggal satu rumah?" tanya Trisya bingung.
Devan membuang nafas perlahan ke depan "baiklah kita pulang naik mobil kamu," sahut Devan yang akhirnya mengalah. Dari pada dia berdebat dengan Trisya dan lebih baik menurut saja, walau Devan merasa harga dirinya sedikit turun. Karena menaiki mobil istrinya.
Trisya tersenyum mendengarnya, "aku akan menyuruh sopir untuk membawa mobil kamu pulang," ucap Trisya.
"Terserah," sahut Devan. Mereka yang akhirnya sama-sama memasuki mobil dan ternyata Devan masih tetap saja romantis yang membukakan pintu mobil untuk istrinya.
"Makasih!" sahut Trisya. Devan menganggukkan kepala.
Devan yang menyetir mobil dan Trisya yang duduk di sebelahnya. Mereka yang sudah meninggalkan perusahaan 15 menit yang lalu.
"Kamu sepertinya kurang nyaman mengendarai mobil ini?" tanya Trisya dengan menduga-duga yang sejak tadi memang memperhatikan gerak-gerik suaminya itu.
"Tidak!" sahut Devan yang memang dari ekspresi wajahnya terlihat tidak nyaman mengendarai mobil mewah milik Trisya.
Tetapi Devan hanya seolah bersikap biasa saja dan seolah sudah biasa mengendarai mobil seperti itu.
"Jadi kamu benar-benar tidak masalah? kamu merasa nyaman?" tanya Trisya.
"Tidak Trisya, aku nyaman dan kamu hanya berpikiran lain saja. Aku sangat biasa mengendarai mobil seperti ini," jawab Devan menegaskan yang membuat Trisya tersenyum mengangguk.
Dia hanya tidak ingin saja memaksakan Devan. Jadi Trisya hanya bertanya saja.
"Oh iya. Trisya, aku ingin bertanya sesuatu pada kamu," ucap Devan.
"Tanya apa?" tanya Trisya heran.
"Aku melihat sepertinya kamu dan ibu kamu, tidak terlalu akrab dengan istri dari tuan Haryanto," ucap Devan.
Mengingat kejadian di lapangan golf kemarin, membuat Devan sangat penasaran dan mumpung ada kesempatan. Jadi menurutnya harus mempertanyakan semua itu.
"Memang kami harus akrab seperti apa menurut kamu?" Trisya menimpali kembali pertanyaan itu.
"Bukankah kalian itu keluarga. Jadi bukankah harus akrab dan sering mengobrol dan aku lihat kalian malah terlihat saling cuek satu sama lain, seperti punya dunia masing-masing," ucap Devan.
"Dia istri kedua dari kakekku. Aku juga selama ini tinggal di Luar Negeri dan bahkan aku tidak datang di hari pernikahan mereka dan aku juga tidak tahu kapan mereka menikah. Jadi aku tidak memiliki kesan apapun pada dia dan aku rasa tidak ada alasan untuk kami berdua harus dekat," jelas Trisya.
"Lalu bagaimana dengan ibumu? Apa juga sama saja?" tanya Devan.
"Devan! mana ada seorang putri yang bisa bahagia atau menerima lempang saja saat ayahnya menikah dengan wanita lain dan sementara ibunya masih hidup. Jadi Bukankah wajar jika ibuku dan juga tante Lusi kurang menyukai istri kedua dari kakekku," sahut Trisya.
"Iya. Kamu benar," sahut Devan.
"Mungkin kamu kaget dengan situasi keluargaku yang pasti berbeda 180 derajat dengan keluarga kamu. Keluargaku terkesan cuek yang terserah ini dan itu mau melakukan apapun. Berbeda dengan keluarga kamu yang apa-apa selalu ramai-ramai dan selalu mengobrol. Tapi aku yakin pelan-pelan kamu akan terbiasa dengan suasana di keluargaku," ucap Trisya.
"Iya. Aku pasti akan terbiasa," sahut Devan.
"Tapi! bagaimana dengan nenek pertama kamu.Aku sudah lama tidak mendengar kabarnya dan semenjak diisukan koma satu tahun yang lalu. Aku sudah tidak pernah mendengar lagi tentang dia," ucap Devan.
"Kamu juga mengenal nenekku?" tanya Trisya.
"Bukankah aku pernah mengatakan lebih 10 tahun aku mengabdi di Perusahaan. Jadi sangat wajar aku mengenal nenek kamu yang juga pernah berpartisipasi di Perusahaan," jawab Devan.
"Nenek masih koma. Aku juga tidak terlalu jelas bagaimana kondisi dia yang sebenarnya," jawab Trisya.
"Semoga ada keajaiban yang membuat beliau bisa cepat sadar," sahut Devan.
Trisya hanya menjawab dengan anggukan kepala saja.
"Oh. Iya. Kamu mengatakan mengenal seluruh keluargaku, karena kamu sudah lama mengabdi di Perusahaan. Lalu apa kamu mengenalku?" tanya Trisya.
"Jika aku mengenalmu sejak awal, mana mungkin aku berani mendekatimu," jawab Devan.
Trisya tersenyum mendengarnya.
"Apa yang lucu?" tanya Devan dengan dahi mengkerut.
"Tapi aku bersyukur, jika kamu tidak mengenalku. Karena jika kamu mengenalku mungkin kita tidak akan menikah dan aku tidak akan pernah mendengarkan semua kerandoman kamu yang bercerita begitu panjang," ucap Trisya.
"Kamu mengejekku," sahut Devan.
"Untuk apa mengejekmu," sahut Trisya dengan geleng-geleng kepala.
"Kamu jangan pernah salah paham kepadaku, jika aku menertawakan kamu saat hari-hari kita tanpa kamu mengetahui siapa aku. Aku justru senang pernah bertemu dengan orang seperti kamu. Kamu itu lucu dan berbeda dari orang lain," sahut Trisya.
Devan hanya menanggapi apa yang dikatakan Trisya dengan senyum tipis. Trisya yang tiba-tiba memeluk lengan Devan dan menjatuhkan kepalanya di bahu Devan. Trisya yang benar-benar bermanja pada suaminya itu.
"Apa rambutku bau?" tanya Trisya.
"Kenapa bertanya seperti itu?" tanya Devan.
"Kamu sama sekali tidak ada berniat untuk mencium rambut ku," ucap Trisya yang ternyata memberi kode suami dan Devan tersenyum miring yang langsung mencium pucuk kepala Trisya.
Devan ternyata apa-apa harus diberi kode dulu dan mungkin saja dia belum terlalu percaya diri yang masih kaget dengan pernikahan dia dan Trisya yang padahal sejak awal dia sama sekali tidak mempermasalahkan status sosial mereka.
Bersambung.....
mungkin nenek sudah tenang karena perusahaan itu sudah di pegang oleh Trisya, karena itu dia tenang meninggalkan dunia ini
sama² punya tingkat kepedean yg sangat luar biasa tinggi