Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anak Raja
Segala persiapan telah dilakukan, dan kini wanita itu sedang bertarung nyawa di ambang kelahiran, seolah terperangkap di antara dunia dan alam gaib. Abdi berusaha tampak tenang meski hatinya diselimuti kecemasan yang merambat seperti bayang-bayang senja. Saat wanita itu mengejan, auranya berubah-ubah, seakan warna-warna cahaya gaib bergemuruh bersamaan dengan langit yang mendung, berat dengan misteri, namun tak menurunkan hujan.
Abdi mulai merasakan ada yang tak biasa dalam proses persalinan ini. Setiap kali wanita itu mengejan, suara petir menggelegar dari langit, mengguncang seperti gong yang menyerukan kehadiran sesuatu yang luar biasa. Sadar bahwa ini bukanlah persalinan biasa, Abdi keluar dari gubuk kecil itu, berharap menemukan sang suami, satu-satunya penuntun di tengah misteri ini.
“Aku harus cepat menemukan suaminya, sebelum hal buruk menimpa wanita ini,” batin Abdi, melangkah dengan penuh tekad.
Namun, saat berjalan di antara gubuk-gubuk yang sunyi, Abdi menyadari kampung itu seperti kota hantu, tak berpenghuni. Hanya suara alam yang menyisakan keheningan. Ia terus berjalan, hingga di tengah padang ilalang ia menemukan ratusan orang berkumpul dalam lingkaran, melakukan ritual yang tak pernah ia bayangkan. Di tengah-tengah mereka terbujur seekor ular besar berwarna kuning, seperti sosok penjaga yang diabadikan dalam keheningan mematikan.
Para penduduk menyadari kehadirannya, tatapan mereka tajam seperti mata-mata dari masa silam. Abdi tiba-tiba diseret ke tengah kerumunan, dan seorang pria tua mendekatinya, wajahnya penuh kharisma dan mata yang seperti menembus kabut hati manusia.
“Kenapa kamu melanggar perjanjian yang telah kita sepakati?” suara pria tua itu bergetar, seakan diiringi petir yang menggelegar dari langit. “Sekarang kau harus menyelamatkan bayi itu, atau kita semua akan terkena kutukan.”
Petir menyambar di langit, bersahutan seperti suara drum perang. Abdi akhirnya kembali ke gubuk, melawan desakan firasat yang mencekam, demi menyelamatkan nyawa dua insan yang terhubung dalam jalinan takdir yang menegangkan. Wanita itu masih terselimuti aura gelap, seakan bayangan maut merayap di sekelilingnya.
Dengan arahan Abdi yang penuh keteguhan, proses persalinan berjalan panjang dan sulit, hingga akhirnya suara tangisan bayi yang menggema memenuhi gubuk, menyelamatkan mereka dari suasana yang mencekam. Begitu tangis bayi pecah, langit yang sebelumnya gelap gulita beralih cerah, seakan fajar yang membelah malam.
Namun, saat Inggit menggendong bayi itu, Abdi dan yang lain terkejut setengah mati. Bayi mungil itu tidak seperti yang mereka bayangkan; tubuhnya bersisik dengan satu kaki menyerupai ular. Inggit berteriak ketakutan, hampir saja bayi itu terlepas dari pelukannya.
"Ya Tuhan... pertanda apa ini?" batin Inggit, matanya berkabut oleh ketakutan yang merayap seperti bayang di balik cahaya.
Brian segera menggendong bayi itu, memberikannya kepada Abdi yang menatap dengan heran. Pria tua itu tersenyum, seolah ini adalah jawaban dari ritual mereka. Gelang tali merah bertuliskan huruf “A” yang melingkar di pergelangan tangan Abdi ia ikatkan di tangan kiri wanita yang baru melahirkan, sebuah tanda cinta dan pengorbanan yang tak terucapkan.
Dari luar, sorak gembira penduduk menggetarkan kampung yang seakan terlahir kembali. Pria tua dan suami wanita itu mendekati Abdi, mata mereka berbinar penuh syukur.
“Terima kasih, sudah menyelamatkan keturunan raja kami,” ucap pria tua itu, dengan nada bangga.
Tanpa menoleh ke belakang, Abdi, Brian, dan Inggit meninggalkan kampung tersebut. Ketika mereka menyeberangi sungai untuk kembali, mendadak banjir bandang menerjang, menyeret mereka dalam arus yang deras.
“Tolong!” teriak Abdi saat air menyapu mereka, seolah alam kembali menuntut jiwa mereka sebagai ganti dari kehidupan yang baru saja diselamatkan.
Beberapa saat kemudian...
“Dokter... pasien sudah sadar!” teriak perawat yang menjaga Abdi di rumah sakit.
Perlahan, Abdi membuka mata, seolah keluar dari kabut tebal yang selama ini menutupi pandangannya. Dua minggu lamanya ia terbaring, terpenjara dalam keheningan yang pekat. Waktu serasa telah berhenti, namun tubuhnya terasa berat, seperti beban-beban tak kasatmata yang mengikatnya kembali ke alam bawah sadar.
Di sisi lain, Inggit dan Brian masih berada dalam dunia senyap, terjebak dalam koma, terbungkus dalam kesunyian akibat kecelakaan yang telah terjadi dua minggu yang lalu. Abdi memandang sekitar, hatinya dihantui oleh peristiwa yang kabur dalam benaknya.
“Apakah ini hanya sekadar bunga tidurku? Apa yang kualami hanyalah bayangan yang lewat dalam tidur panjangku? Ataukah memang banjir bandang itu yang menyeretku sampai di sini?” Pertanyaan-pertanyaan itu seperti benang kusut, membelit pikirannya yang rapuh dan bingung.
“Abdi, apakah kamu mendengar saya?” Suara dokter terdengar lembut, namun menggema dalam ruang pikirannya yang masih sepi.
Abdi mengerjap, memberikan tanda bahwa ia mendengar, meskipun suaranya seperti terkurung di balik dinding tenggorokan yang kering. Kata-kata terasa berat, tenggelam dalam keheningan.
“Sudah, jangan dipaksakan dulu. Nanti, setelah perawatan, semuanya akan kembali,” ucap dokter dengan lembut, seperti angin yang berbisik pada dedaunan yang mulai terjaga.
“Apa yang sebenarnya terjadi padaku?” batin Abdi, berusaha merangkai kepingan-kepingan memori yang terasa jauh, buram, seolah hanya bayangan yang berkelebat.
Ketika Abdi dipindahkan ke ruang perawatan, ranjangnya berpapasan dengan seorang pasien yang tubuhnya tertutup kain putih. Sepintas, tangan pasien itu terjulur keluar dari balik selimut, terlihat seperti sebuah pertanda. Abdi, yang masih lemah, hanya mampu memutar kepalanya perlahan, menatap tangan itu.
Ia terkejut ketika melihat gelang yang melingkar di pergelangan tangan pasien itu, hampir sama dengan gelang merah yang ia berikan kepada wanita dalam mimpi yang samar-samar masih terasa nyata.
“Pasien ini kenapa, Suster?” tanya seorang perawat di sampingnya, dengan nada berbisik.
“Dia pasien kecelakaan, ditemukan di tepi jalan raya Hutan Jati tadi malam. Dalam kondisi hamil.. tapi, janinnya.. janinnya menghilang.”
Jantung Abdi berdegup kencang, setiap detaknya seolah menggema, membangunkan semua rasa takut dan kebingungan yang tersimpan. Dunia terasa berputar, dan meskipun tubuhnya masih lemah, hatinya terasa terguncang hebat. Namun, semua yang bisa ia lakukan hanyalah terbaring, sementara pikirannya terperangkap antara kenyataan dan misteri yang tak mampu ia jelaskan.
Hari demi hari berlalu seperti lembaran kalender yang terlepas, menghilang seiring waktu. Setelah satu bulan menjalani terapi, Abdi kini telah pulih, meski bayang-bayang tragedi itu masih membekas di sudut hatinya.
“Apakah semua yang kualami kemarin nyata atau sekadar bunga tidur semata?” Pertanyaan itu menari-nari di benaknya, berputar seperti angin yang tak mau reda. Bayang-bayang kejadian itu menyelimutinya, seperti kabut tipis di pagi hari yang tak kunjung hilang meski mentari sudah tinggi.
Sementara itu, nasib Brian tak sebaik dirinya. Operasi yang diharapkan menjadi jembatan bagi hidupnya malah menjadi perpisahan terakhir; Brian tak pernah kembali dari meja operasi, meninggalkan duka yang terasa bagai luka menganga di hati semua yang mengenalnya. Inggit, di sisi lain, berhasil diselamatkan, namun tak luput dari takdir yang menyisakan jejak pincang di kakinya. Kakinya kini seperti memori pahit yang berjalan bersamanya, mengingatkannya pada masa lalu yang tak bisa ia hindari.
Inggit harus menjalani perawatan intensif, dan setiap hari keluarganya datang menemaninya, membawa hangat yang menenangkan di ruang rumah sakit yang dingin dan sunyi. Abdi hanya bisa melihat dari jauh, hatinya terasa sepi dalam kerumunan, seperti pohon yang berdiri sendiri di tengah padang. Bayangan tentang keluarga yang tak pernah ia miliki menyergapnya, membuat iri pada Inggit yang dikelilingi orang-orang yang peduli.
“Beruntung sekali kamu, Inggit. Masih punya keluarga yang selalu ada…” gumamnya dalam hati, getir namun tulus.
Pagi ini, sinar mentari menyapu lembut dedaunan, menciptakan semburat emas di atas tanah yang lembab. Abdi melangkah dengan hati yang telah bersih dari kabut luka, siap menyambut hari sebagai seorang dokter yang baru bertugas di puskesmas. Langit cerah, seperti semesta yang mengajaknya untuk menorehkan cerita baru.
Daerah tempat ia bertugas kini begitu asri, terselip di bawah kaki Gunung Rinjani yang megah. Penduduknya ramah, menyambutnya dengan senyum tulus seperti sinar matahari pagi. Di tempat ini, dengan alam yang mendekapnya dan manusia yang menyapanya hangat, Abdi menemukan alasan untuk bertahan. Seolah gunung dan langit telah menjadi keluarganya, dan ia tak lagi merasa sendiri.
Hari demi hari Abdi habiskan di desa itu, seolah setiap jam berdetak menenun kenangan baru, hingga akhirnya masa praktiknya usai. Kini saatnya kembali ke Surabaya, menuju mimpi lamanya untuk menjadi seorang residen Obgyn—cita-cita yang baginya seperti bintang yang selama ini ia tatap di kejauhan.
Dalam perjalanan menuju bandara, mobil melintasi hutan jati yang gelap, hutan yang dulu menorehkan luka dan menimbulkan misteri. Suasana hutan itu membuat bulu kuduk Abdi berdiri, dinginnya seakan menyusup langsung ke tulang. Sejenak ia melihat ke luar jendela, dan jantungnya melonjak. Di pinggir jalan, seorang pria berdiri dengan tatapan yang menembus kaca mobil, dingin dan menuntut. Sosok itu… Brian. Tubuhnya dililit ular, pandangan matanya kosong tapi menusuk, seolah memanggil dari dunia lain.
“Brian!” Abdi terkesiap, tangannya gemetar memegang kaca jendela.
“Ada apa, Dok?” suara Arkan, sopir yang mengantarnya, memecah keheningan.
“Ah, tidak… tidak ada apa-apa,” Abdi menenangkan diri, meskipun pikirannya masih dipenuhi wajah sahabatnya yang telah meninggal.
Setibanya di bandara, Arkan menoleh dengan senyum hangat. "Dok, saya cuma bisa antar sampai sini. Harus kembali ke desa.”
“Terima kasih banyak, Arkan. Kamu udah banyak bantu,” kata Abdi seraya merangkulnya, seolah takut ini pertemuan terakhir.
Begitu pesawat tinggal landas, Abdi duduk diam dengan pandangan menerawang. Setiap kejadian di desa itu, seperti tayangan film yang terus berputar di kepalanya. Dari peristiwa kelahiran yang mencekam hingga sosok bayi yang tak biasa, semua menyatu dalam kenangan yang sulit ia tentukan apakah nyata atau sekadar mimpi buruk.
Ada alasan lain mengapa ia memilih jalan ini. Abdi lahir sebagai anak yatim; ibunya meninggal saat melahirkannya, menyisakan Abdi dengan kerinduan yang dalam akan seorang ibu yang tak pernah ia kenal. Pengalaman pertamanya membantu persalinan di desa itu justru membuatnya semakin yakin untuk menjadi dokter kandungan, agar tak ada lagi yang harus kehilangan seperti dirinya. Baginya, setiap ibu yang ia tolong adalah kesempatan untuk mengubah takdir, menjembatani kehidupan baru agar selamat lahir ke dunia.
Abdi memandang ke luar jendela pesawat, awan berarak di langit yang biru, seperti lapisan mimpi yang membawanya ke arah yang ia yakini sejak kecil. Ini lebih dari sekadar profesi; ini adalah perjalanan untuk melawan takdir yang selama ini terus menghantuinya.
**