Di tahun 70-an, kota ini penuh dengan kejahatan yang berkembang seperti lumut di sudut-sudut gedung tua. Di tengah semua kekacauan, ada sebuah perusahaan detektif swasta kecil tapi terkenal, "Red-Eye Detective Agency," yang dipimpin oleh Bagas Pratama — seorang jenius yang jarang bicara, namun sekali bicara, pasti menampar logika orang yang mendengarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairatin Khair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Udara malam terasa dingin ketika Bagas dan Siti mengemudi menuju vila yang terletak di luar kota. Tempat itu terpencil, dikelilingi perkebunan luas dengan pepohonan tinggi yang menjulang, seolah-olah menjadi penjaga alami yang menghalangi pandangan. Perjalanan mereka diwarnai keheningan, masing-masing memikirkan kemungkinan bahaya yang akan mereka hadapi.
“Pak Bagas, kalau ini jebakan, kita mungkin takkan punya banyak waktu untuk berpikir,” ujar Siti, tatapannya menyiratkan kekhawatiran yang sejak tadi ia tahan.
Bagas mengangguk, tak mengalihkan pandangannya dari jalan yang gelap. “Aku tahu, Siti. Tapi ini satu-satunya petunjuk yang kita punya. Kalau ini memang tempat persembunyian mereka, kita harus bergerak cepat dan hati-hati.”
Siti menghela napas dan mencoba menenangkan dirinya. Bagas memang sering menghadapi situasi sulit, tapi malam ini, perasaannya tak bisa tenang begitu saja. Ia tahu bahwa mereka semakin dekat dengan Bayangan, dan tak ada jaminan mereka akan kembali dengan selamat.
---
Vila Misterius
Setelah beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di depan sebuah gerbang besi yang tampak tua dan berkarat. Di balik gerbang itu, tampak bayangan bangunan vila besar yang terkesan angker, dengan jendela-jendela gelap yang mengintai seperti mata-mata dari kejauhan. Bagas turun dari mobil dan mendorong gerbang itu perlahan, membuat suara berderit yang menggema dalam kesunyian malam.
“Kau siap, Siti?” tanya Bagas sambil menatap ke arah vila dengan mata penuh kewaspadaan.
Siti mengangguk, menggenggam senter kecil di tangannya. “Ya, Pak. Ayo kita selesaikan ini.”
Mereka melangkah masuk ke halaman vila yang luas, dikelilingi semak-semak dan pepohonan yang seolah menjadi saksi bisu dari apa yang tersembunyi di dalam vila itu. Dengan langkah pelan, mereka mendekati pintu utama yang tertutup rapat. Bagas meraih gagang pintu dan mendorongnya perlahan, membuat pintu itu terbuka tanpa suara.
Di dalam, suasana vila terasa sunyi namun mencekam. Udara di ruangan itu terasa lembap dan pengap, seolah-olah tempat itu telah lama ditinggalkan. Namun, ketika mereka melangkah lebih jauh ke dalam, Siti melihat beberapa jejak kaki di lantai yang berdebu, membuatnya yakin bahwa tempat ini tidak sepenuhnya kosong.
“Jejak kaki ini baru, Pak,” bisik Siti sambil menunjuk ke arah lantai.
Bagas mengangguk, matanya menyapu seluruh ruangan dengan teliti. “Mereka mungkin tahu kita datang, tapi kita harus tetap waspada.”
Mereka melangkah lebih dalam ke lorong-lorong vila yang gelap. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan lukisan-lukisan tua yang buram, seolah-olah menatap mereka dengan pandangan tak bersahabat. Setiap langkah yang mereka ambil terasa bergema, menambah suasana mencekam yang menyelimuti tempat itu.
---
Pertemuan Tak Terduga
Saat mereka sampai di sebuah ruangan besar yang tampak seperti ruang tamu, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari belakang mereka. Bagas dan Siti saling berpandangan dengan cemas, menyadari bahwa mereka tidak sendiri di tempat itu.
Mereka bersembunyi di balik salah satu sofa besar, menunggu sambil menahan napas. Beberapa detik kemudian, sosok pria bertubuh besar muncul, mengamati ruangan dengan tatapan curiga. Wajahnya penuh dengan bekas luka, dan dari cara ia bergerak, terlihat bahwa ia adalah seseorang yang berpengalaman dalam perkelahian.
Pria itu melangkah perlahan, memperhatikan setiap sudut ruangan, tampaknya sedang mencari sesuatu atau seseorang. Siti menahan napasnya, berusaha agar tak menimbulkan suara sedikit pun.
Namun, saat pria itu semakin mendekat ke arah mereka, Bagas menyadari bahwa mereka tak bisa menunggu lebih lama. Dengan isyarat singkat, ia memberi tanda pada Siti untuk bersiap, lalu dengan gerakan cepat, Bagas melompat dari balik sofa dan menghantamkan pukulan ke arah pria itu.
Pria itu tersentak, namun ia cepat bangkit dan melawan dengan serangan balik yang kuat. Mereka berdua terlibat dalam perkelahian sengit, sementara Siti mencoba mencari cara untuk membantu Bagas.
“Lari, Siti!” seru Bagas di sela-sela perkelahian.
Namun, sebelum Siti sempat bereaksi, terdengar suara langkah kaki lain mendekat. Dua pria lain muncul di ambang pintu, wajah mereka dingin tanpa ekspresi, namun jelas mereka adalah anggota kelompok Bayangan. Siti terperangkap dalam kebingungan, tak tahu harus berlari atau bertahan.
“Pak Bagas, kita harus pergi sekarang!” teriak Siti.
Bagas akhirnya berhasil melepaskan diri dari pria pertama dengan satu pukulan keras ke arah perutnya. Tanpa membuang waktu, ia meraih lengan Siti dan menariknya keluar dari ruangan itu, berlari melalui lorong-lorong vila yang gelap.
---
Mengejar Bayangan
Mereka berlari menyusuri lorong yang panjang, dinding-dindingnya semakin terasa mencekam seiring langkah mereka yang semakin cepat. Namun, mereka tahu bahwa para pria itu tak akan berhenti mengejar. Suara langkah kaki bergema di belakang mereka, mendekat dengan cepat.
Sampai akhirnya, mereka menemukan sebuah pintu kecil di ujung lorong. Bagas mendorong pintu itu terbuka, dan mereka berdua masuk ke dalam, mengunci pintu di belakang mereka. Ruangan itu ternyata adalah ruang bawah tanah, penuh dengan tumpukan buku dan arsip yang tampaknya berusia puluhan tahun.
Siti memandang sekeliling ruangan itu, mencoba mencari jalan keluar lain, tetapi tak menemukan apa pun. “Pak, kita tidak bisa bertahan lama di sini. Kalau mereka menemukan kita…”
Bagas meneliti ruangan itu, tatapannya tertuju pada tumpukan buku dan arsip yang tampak tak terawat. Di salah satu dinding, ia melihat sebuah kotak besi yang tersembunyi di balik tumpukan kertas. Dengan cepat, ia mendekati kotak itu dan membuka tutupnya.
Di dalamnya, ada selembar kertas dengan tulisan tangan yang samar: “Bayangan bergerak dalam gelap, tak pernah terlihat, namun selalu mengawasi.” Di bawah tulisan itu, terdapat sebuah simbol yang tampak seperti logo organisasi yang tak mereka kenali.
“Ini mungkin petunjuk tentang Bayangan,” bisik Bagas, mengantongi kertas itu dengan cepat.
Namun, sebelum mereka bisa memeriksa lebih lanjut, suara ketukan keras di pintu mengagetkan mereka. Para pengejar mereka sudah tiba di luar.
Siti menatap Bagas dengan mata penuh ketakutan. “Pak, apa yang harus kita lakukan?”
Bagas menatap sekeliling, mencari cara untuk keluar. Di sudut ruangan, ia melihat sebuah ventilasi kecil. Meski sempit, mungkin itu satu-satunya jalan keluar.
“Kita harus mencoba keluar lewat ventilasi itu,” ujar Bagas tegas.
Tanpa pikir panjang, mereka berdua merangkak masuk ke dalam ventilasi, bergerak perlahan namun cepat untuk keluar dari vila. Suara-suara di belakang mereka semakin keras, namun akhirnya mereka berhasil mencapai ujung ventilasi dan keluar ke halaman belakang vila.
Mereka berlari sekuat tenaga menuju mobil yang terparkir di luar gerbang, tak menghiraukan apapun kecuali keselamatan mereka.
---
Selamat, untuk Sementara
Begitu mereka berada di dalam mobil, Bagas segera menyalakan mesin dan melaju meninggalkan vila itu. Mereka terdiam beberapa saat, mencoba mengatur napas sambil memproses apa yang baru saja terjadi.
“Pak Bagas, mereka benar-benar tidak akan membiarkan kita menyelidiki lebih jauh,” ujar Siti dengan suara bergetar.
Bagas mengangguk, masih merenungkan tulisan yang ia temukan di vila. “Benar, tapi kita tidak akan berhenti sampai kebenaran ini terbuka. Kita sudah terlalu dekat untuk mundur.”
Semangat.