Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Itu Kamu?
Erna sedang mengobrak-abrik kamarnya. Selimut, bantal guling dan pakaian tersebar ke mana-mana. Kamarnya seperti kapal pecah.
Ini tidak sesuai dengan keadaannya yang biasanya manis, feminim dan rapi.
Erna mondar-mandir di kamarnya. Sesekali dahinya berkerut berusaha mengingat-ingat di mana dia letak dompetnya terakhir kali.
Jarang dia pelupa seperti itu. Mungkin ini ada kaitannya dengan peristiwa tadi malam sehingga pikirannya tidak jernih.
Masalah membuat kita melupakan hal lain karena saat itu seluruh fokus kita hanya terpusat pada masalah yang sedang kita hadapi. Hal ini lah membuat pikiran kita menjadi kalut sehingga tidak menemukan solusi terhadap masalah yang sedang kita hadapi karena solusi itu hanya muncul ketika pikiran kita jernih.
"Masya Allah, Erna! Apa yang terjadi? Kamar kamu berantakan sekali!" Entah sejak kapan Buk Yenny sudah berada di depan kamar Erna. Dia terperangah melihat keadaan kamar anaknya yang amburadul.
"Eh, Ibu," Erna tersipu malu. "Erna lagi cari dompet Erna, Bu. Erna lupa menaruhnya di mana."
"Hm...Erna...Erna tak begitu juga caranya jika mencari sesuatu!" Tegur Buk Yenny sambil menarik nafas.
"Ini dompetmu! Coba periksa, ada barang-barang yang hilang tidak?" Buk Yenny mengangsurkan dompet itu kepada Erna.
"Di mana Ibu menemukannya?" Erna sumringah. "Tak ada yang hilang kok, Bu." Erna selesai memeriksanya. Semuanya ada.
Erna mendadak memandang ibunya, "Mengapa Ibu menyuruh Erna memeriksanya? Bukankah dompet ini Ibu yang ketemu."
Buk Yenny hanya menggelengkan kepalanya, "Dompet kamu bukan salah letak, Erna tapi tercecer di jalan. Untung ada yang menemukan. Kamu rapikan kamar kamu kembali! Berantakan sekali." Buk Yenny beranjak pergi.
"Tunggu dulu, Ibu!" Erna bangkit menghampiri Ibunya yang sudah setengah jalan keluar.
"Ada apa lagi, Erna?" Buk Yenny menoleh.
"Siapa yang menemukan dompet Erna, Bu?"
"Ibu tak kenal. Masih anak remaja tapi ternyata jujur juga dia. Sudah lah, Ibu mau menemuinya segera. Kasihan dia menunggu lama."
"Erna ikut, Bu."
"Untuk apa?"
"Erna mau berterima kasih langsung kepadanya. Bagaimana pun dia sudah sangat berjasa kepada Erna."
"Hmm, terserah lah."
Walau pun Buk Yenny mengatakan 'terserahlah' tapi dalam hati, dia memuji sikap anaknya yang terpuji. Tidak sombong dan tinggi hati.
Saat mereka menuju ruang tamu, remaja itu masih duduk dengan sabar di sana.
"Itu kamu?!!" Tanpa sadar Erna berseru. Ini adalah pemuda jail yang dia ikuti diam-diam kemaren.
Pemuda itu yang tak lain adalah Mumu hanya tersenyum mengangguk.
"Kamu kenal dia, Erna?" Tanya Buk Yenny heran. Biasanya Erna akan selalu menceritakan setiap teman-temannya.
"Pernah ketemu kemaren, Bu, tapi Erna tak tahu namanya." Jawabnya tersipu malu.
Awalnya dia menganggap pemuda didepannya hanyalah pemuda iseng yang jail, tapi tak menyangka pemuda ini mampu mengobati kakinya secara ajaib.
Oleh karena itu dia sengaja membututinya.
Bahkan dari semalam hingga tadi malam Erna menunggu di depan rumah pemuda ini untuk ketemu.
Erna memberanikan diri untuk meminta bantuan pemuda ini untuk mengobati Ayahnya.
Ditunggu-tunggu tapi pemuda ini tak kelihatan batang hidungnya sehingga akhirnya Erna pulang dengan tangan hampa.
Mungkin dompetnya terjatuh saat Erna duduk-duduk di depan pagar rumah tersebut.
"Terima kasih karena telah bersedia mengantar dompet Erna yang terjatuh di jalan, Nak." Buk Yenny duduk di salah satu kursi sedangkan Erna mengikuti tindakan Ibunya dan juga duduk di kursi yang lain.
"Sama-sama, Buk. Itu hanya sebuah kebetulan, Buk." Mumu menjawabnya dengan sopan.
"Oh ya, apakah sudah dicek isinya, Buk? Kalau tak ada apa-apa lagi saya mau pamit mohon diri."
"Alhamdulillah semuanya lengkap." Jawab Buk Yenny. Sedangkan Erna sedari tadi hanya diam saja mendengarkan.
"Oh ya, nama kamu siapa? Kuliah di mana? Kalau Ibuk sendiri bernama Yenny dan ini anak Ibuk, Erna."
"Saya Mumu, Bu. masih pengangguran. Tidak kuliah."
Kenapa tidak kuliah? Kemaren tamatan apa?"
Mumu memperhatikan sikap Buk Yenny yang tidak terpengaruh sama sekali ketika mendengar ia mengatakan seorang pengangguran.
"Belum cukup biaya, Bu. Kemaren tamat SMA." Jawab Mumu jujur.
"Asli sini?"
"Tidak, Bu. Saya dari seberang." Mumu heran dengan keramahtamahan Buk Yenny.
"Kalau kamu tidak kuliah dan belum bekerja jadi bagaimana kamu memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan dan sewa rumah?" Buk Yenny menganggap Mumu adalah pemuda yang baik sehingga dia tidak merasa risih menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi kepada Mumu.
"Ooo itu," Mumu tersenyum. "Kebetulan ada orang yang mempercayakan kepada saya untuk menjaga rumahnya karena mereka pindah ke luar kota sehingga saya tak perlu memikirkan biaya sewa rumah, Buk."
Erna yang sedari tadi diam menyimak pembicaraan antara Ibunya dan Mumu akhirnya mengerti, ternyata pemuda jail di depannya ini bukan anak kuliahan dan rumah yang ditinggali ternyata bukan rumahnya sendiri tapi rumah orang lain.
Tapi hal itu tidak membuat Erna merasa benci atau pun menghina kehidupan Mumu.
Yang ada di pikiran Erna sekarang adalah semacam perasaan deja vu.
Baru-baru ini dia pernah mendengar nama itu tapi entah di mana.
Erna tenggelam dalam pikirannya. Tiba-tiba matanya bersinar cerah.
"Jadi itu kamu?!!" Celetuknya tiba-tiba.
"Maaf, maksud kamu apa??" Mumu tak paham. Buk Yenny pun heran melihat kelakuan anaknya.
"Jadi kamu Mumu yang itu?" Erna baru ingat di mana dia mendengar nama Mumu sebelumnya.
Nisa yang mengatakan bahwa anak Pak Samsur telah sembuh berkat tabib yang bernama Mumu. Walaupun dia tak yakin itu adalah Mumu yang didepannya mengingat pemuda yang didepannya masih sangat muda, tapi entah mengapa instingnya memercayai pemuda ini. Semakin Erna pikir semakin yakin dia apa lagi pemuda ini pernah mengobati kakinya yang terkilir dengan sangat mudah.
"Mumu yang mana maksudnya? Apakah kamu pernah mendengar nama saya sebelumnya?" Tanya Mumu dengan heran.
"Tadi kamu bilang tak kenal sama Mumu, Erna?" Buk Yenny juga heran melihat tingkah anaknya yang aneh itu.
"Awalnya memang tak kenal, Bu. Tapi Erna pernah mendengar nama Mumu sebelumnya." Jawab Erna singkat. Lalu dia menoleh ke arah Mumu, "Apakah kamu seorang tabib?" Tanya Erna dengan penasaran.
Mendengar kata 'tabib' mau tak mau membuat Buk Yenny pun ikut-ikutan memandang Mumu dengan penasaran.
Melihat sikap mereka Mumu hanya bisa tersenyum ma'lum. Ternyata namanya juga mulai dikenal orang-orang kaya.
"Saya bukan tabib, cuma saya mengerti sedikit tentang ilmu pengobatan mengenai urat dan saraf."
Erna tidak puas sedangkan ada sedikit jejak kekecewaan di wajah Buk Yenny. Mendengar kata 'tabib' tadi ada sedikit harapan di relung hati Buk Yenny. Jika dipikir-pikir tak mungkin juga Mumu yang masih sangat muda ini seorang tabib. Cuma dia saja yang terlalu berharap.
Di saat Buk Yenny mulai melepaskan harapannya, dia dikejutkan lagi dengan pertanyaan anaknya.
"Tapi kamu kan yang telah berhasil mengobati Mala, anaknya Pak Samsur?"
Raminten