Maya, seorang wanita muda yang cantik dan sukses dalam karier, hidup dalam hubungan yang penuh dengan kecemburuan dan rasa curiga terhadap kekasihnya, Aldo. Sifat posesif Maya menyembunyikan rahasia gelap yang siap mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aili, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Teror Tanpa Henti
Aldo duduk sendirian di apartemennya di Surabaya, hanya ditemani secangkir kopi yang sudah dingin. Matanya menatap kosong ke arah jendela, tapi pikirannya terus berkutat pada satu hal: teror yang tidak henti-hentinya datang dari Satria. Sejak insiden hampir ditabrak mobil misterius itu, dia tidak pernah benar-benar merasa tenang. Satria sepertinya selalu tahu bagaimana caranya merusak ketenangannya, bahkan dari jarak jauh.
Ponselnya bergetar di meja, mengalihkan perhatian Aldo dari lamunannya. Dia mengulurkan tangan untuk mengambil ponsel itu, melihat sebuah pesan singkat tanpa nama pengirim: _"Kamu nggak akan pernah aman, Aldo. Gue selalu tahu di mana lo berada."_
Aldo menghela napas berat, rasa lelah semakin menghantamnya. Dia tahu ini pasti Satria. Pesan-pesan seperti ini sudah sering muncul, tapi kali ini terasa lebih mengancam, lebih personal.
"Berapa lama lagi gue harus ngadepin ini?" Aldo bergumam pada dirinya sendiri, meletakkan ponsel kembali ke meja. Dia merasa terjebak di tengah permainan yang tidak pernah dia minta untuk ikuti.
Malam itu, Aldo memutuskan untuk mengambil napas sejenak dari kekacauan ini. Dia berjalan keluar dari apartemennya, menuju warung kopi di sudut jalan yang biasanya dia kunjungi. Setidaknya di sana, dia bisa menikmati secangkir kopi yang layak dan melupakan semua masalah untuk sementara.
Ketika Aldo masuk ke dalam warung, aroma kopi yang hangat segera menyambutnya. Pemilik warung, Pak Dani, mengangkat tangan dan menyapanya.
"Pagi, Mas Aldo! Mau seperti biasa?"
Aldo mengangguk sambil tersenyum lelah. "Iya, Pak. Kopi hitam tanpa gula, ya."
Pak Dani dengan sigap menyiapkan pesanan Aldo, dan tak lama kemudian, secangkir kopi panas sudah tersaji di hadapannya. Aldo mengambil cangkir itu dan menyesapnya perlahan, mencoba menikmati momen tenang yang langka ini.
Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Ponselnya kembali bergetar, dan kali ini sebuah panggilan masuk. Nomor tidak dikenal lagi. Aldo menatap layar ponsel itu sebentar sebelum akhirnya memutuskan untuk mengangkatnya.
"Halo?" suaranya terdengar lebih tegas dari sebelumnya, tapi masih ada ketegangan di sana.
"Aldo, gue tau lo lagi di mana," suara Satria terdengar dingin di ujung sana, seakan bisa melihat Aldo dari jauh. "Lo pikir lo bisa lari dari gue? Di mana pun lo berada, gue akan selalu nemuin lo."
Aldo menahan napas, matanya langsung memindai warung kopi, mencoba mencari tanda-tanda kalau Satria mungkin benar-benar mengawasinya dari dekat. Tapi warung itu tampak normal, seperti biasa. Tidak ada yang mencurigakan. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing.
"Lo mau apa, Satria?" tanya Aldo, mencoba tetap tenang meski jantungnya berdetak kencang.
"Gue cuma pengen lo tau satu hal, Aldo. Lo nggak akan pernah aman. Gue nggak akan berhenti sampai gue liat lo hancur," ancam Satria, suaranya penuh dengan kebencian yang mendalam.
Aldo terdiam sejenak, mencoba memikirkan jawaban yang tepat. "Lo nggak bakal bisa ngehancurin gue, Satria. Lo cuma buang-buang waktu."
Satria tertawa kecil, suara tawanya mengandung ejekan. "Kita lihat aja, Aldo. Gue punya banyak waktu, dan gue nikmatin setiap detiknya."
Setelah mengatakan itu, Satria menutup telepon, meninggalkan Aldo dengan pikiran yang semakin kusut. Dia meletakkan ponselnya di meja dan menundukkan kepala, merasa beban yang dia pikul semakin berat. Rasa frustrasi dan marah berputar di dalam dirinya, tapi dia tahu bahwa menunjukkan emosi itu hanya akan membuat Satria merasa menang.
Aldo memutuskan untuk kembali ke apartemennya, berharap suasana di sana bisa memberinya sedikit ketenangan. Namun, ketika dia membuka pintu, sesuatu yang aneh langsung menarik perhatiannya. Di lantai, tepat di depan pintu, ada sebuah amplop berwarna cokelat. Tanpa nama pengirim, tanpa tanda-tanda lain, hanya tertutup rapi.
Dengan hati-hati, Aldo memungut amplop itu dan membukanya. Di dalamnya, ada satu foto. Foto dirinya. Diambil dari jarak dekat saat dia sedang berjalan menuju kantornya pagi tadi. Aldo merasa darahnya langsung berhenti mengalir, foto itu menandakan satu hal yang jelas: Satria sedang mengawasinya lebih dekat dari yang dia bayangkan.
"Ini nggak bisa dibiarkan terus," gumam Aldo, tangan gemetar memegang foto itu. Dia tahu dia harus melakukan sesuatu, tapi apa? Lapor ke polisi? Tanpa bukti konkret, itu hanya akan membuang waktu. Tapi jika dia tidak bertindak, Satria akan terus mempermainkannya.
Malam itu, Aldo tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar-putar mencari jalan keluar dari situasi yang semakin memburuk ini. Dia memikirkan berbagai skenario, dari melawan Satria langsung hingga mencari bantuan dari pihak yang lebih berpengalaman. Namun, tidak ada yang tampak seperti solusi yang sempurna.
Keesokan paginya, Aldo memutuskan untuk memulai langkah kecil. Dia memasang kamera pengawas di sekitar apartemennya, berharap itu bisa menangkap bukti yang cukup jika Satria mencoba mendekat lagi. Dia juga mulai lebih waspada saat bepergian, memastikan tidak ada yang mengikutinya.
Meski begitu, teror itu tidak berhenti. Pesan-pesan terus masuk ke ponselnya, foto-foto dirinya di tempat-tempat yang tidak dia duga terus muncul di depan pintu apartemennya. Setiap kali dia merasa sedikit tenang, Satria selalu menemukan cara untuk merusaknya.
Satu hari, ketika Aldo sedang berada di kantor, seorang kurir datang dengan sebuah paket. Tanpa berpikir panjang, Aldo menandatangani penerimaan dan membuka paket itu di mejanya. Namun, ketika dia melihat isinya, jantungnya langsung berdegup kencang. Di dalam kotak itu, ada sebuah boneka dengan kepala yang terpenggal, darah tiruan berceceran di seluruh tubuhnya.
Aldo merasa mual melihat pemandangan itu. Dia tahu pesan apa yang ingin disampaikan Satria: ancaman kematian. Ini sudah melewati batas. Aldo merasa tubuhnya gemetar, tapi dia tahu dia harus tetap tenang. Dia tidak bisa membiarkan Satria melihatnya takut.
"Lo udah gila, Satria," desis Aldo, memejamkan mata untuk menenangkan diri. Dia tahu dia tidak bisa mengabaikan ancaman ini lagi.
Aldo segera menghubungi pihak keamanan gedung dan melaporkan insiden tersebut. Mereka berjanji akan menyelidiki siapa yang mengirim paket itu, tapi Aldo tahu bahwa Satria tidak akan mudah ditemukan. Satria selalu licin, selalu satu langkah di depan.
Dengan perasaan yang semakin tertekan, Aldo akhirnya memutuskan untuk mencari bantuan dari seorang ahli. Dia mendatangi seorang konsultan keamanan yang direkomendasikan oleh salah satu rekannya. Konsultan itu mendengarkan cerita Aldo dengan serius, kemudian memberikan beberapa saran praktis.
"Yang pertama, kita harus meningkatkan keamanan di apartemen dan kantor Anda. Pasang lebih banyak kamera pengawas, dan pastikan tidak ada yang bisa masuk tanpa izin," kata konsultan itu dengan tegas. "Kedua, kita akan bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk memonitor ancaman ini. Kita butuh bukti lebih banyak sebelum bisa mengambil tindakan hukum."
Aldo setuju dengan semua saran itu. Dia tahu ini adalah langkah yang perlu diambil untuk melindungi dirinya. Namun, di dalam hatinya, dia merasa ada sesuatu yang masih kurang. Terlepas dari semua langkah keamanan yang dia ambil, dia tidak bisa menghilangkan rasa takut yang terus menghantuinya.
Selama beberapa minggu berikutnya, Aldo mencoba bertahan dengan situasi ini. Dia terus bekerja seperti biasa, meskipun pikirannya selalu terpecah antara pekerjaannya dan ancaman dari Satria. Setiap kali dia berada di jalan, dia selalu merasa ada yang mengawasi. Setiap kali ponselnya bergetar, dia merasa dadanya sesak, menunggu pesan ancaman berikutnya.
Namun, Satria tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Malam demi malam, Aldo terus menerima ancaman, baik melalui pesan, telepon, maupun benda-benda aneh yang tiba-tiba muncul di apartemennya. Dia tahu bahwa Satria sedang mencoba untuk menghancurkannya, secara mental dan emosional. Dan meskipun Aldo berusaha keras untuk tetap kuat, tekanan itu semakin hari semakin berat.
Pada satu titik, Aldo mulai berpikir untuk meninggalkan Surabaya, mungkin pindah ke tempat lain di mana Satria tidak bisa menjangkaunya. Namun, dia tahu itu bukan solusi yang sebenarnya. Melarikan diri hanya akan membuat Satria merasa menang.
siapa sebenarnya satria ??
siapa pendukung satria??
klo konseling dg psikolog g mempan, coba dekat diri dg Tuhan. setiap kekhawatiran muncul, mendekatlah dg sang pencipta. semoga dg begitu pikiran kalian bisa lebih tenang. terutama tuk Maya. berawal dr Maya & kini menular ke Aldo