Blokeng adalah seorang pemuda berusia 23 tahun dengan penampilan yang garang dan sikap keras. Dikenal sebagai preman di lingkungannya, ia sering terlibat dalam berbagai masalah dan konflik. Meskipun hidup dalam kondisi miskin, Blokeng berusaha keras untuk menunjukkan citra sebagai sosok kaya dengan berpakaian mahal dan bersikap percaya diri. Namun, di balik topengnya yang sombong, terdapat hati yang lembut, terutama saat berhadapan dengan perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Anggur Merah
Setelah kejadian dengan kuntilanak di pinggir kota, perasaan Blokeng masih belum sepenuhnya tenang. Keberanian yang ia tunjukkan tadi membuatnya merasa sedikit bangga, namun sekaligus ketakutan itu menyisakan kegelisahan di hatinya. Dalam diam, dia merasa perlu menenangkan diri—dan dia tahu persis caranya.
Blokeng melangkah menuju warung kecil di pojokan jalan. Warung itu cukup sederhana, tapi terkenal menyediakan berbagai minuman keras murah. Tanpa basa-basi, dia meminta sebotol anggur merah dan mengeluarkan beberapa lembar uang dari sakunya.
Dia menemukan bangku kayu kosong di pinggir jalan, duduk di sana dengan tenang, membuka tutup botol anggur, dan mulai menenggaknya perlahan. Rasa pahit-manis anggur itu mengalir di tenggorokannya, membuat pikirannya sedikit lebih ringan. Beberapa teguk pertama masih terasa biasa, namun semakin banyak dia meminumnya, semakin tenang perasaannya.
“Aduh, hidup ini penuh kejutan,” gumamnya sambil menatap langit malam. Angin malam terasa dingin di kulitnya, namun tubuhnya mulai hangat oleh aliran alkohol. Sesekali, Blokeng tertawa kecil mengingat pengalaman aneh malam itu.
Saat setengah botol anggur habis, pikirannya mulai melayang pada Lina. Senyum centil dan tawa kecil Lina terbayang di benaknya. Ia menyesap anggur lagi, membayangkan bahwa mungkin akan ada kesempatan lain untuk bertemu dengan Lina, untuk mengenalnya lebih dalam. Hatinya bercampur aduk—di satu sisi, ia merasa Lina bukan tipe wanita yang mudah luluh, tapi di sisi lain, kehadirannya seperti magnet yang terus menariknya.
Dengan sisa anggur yang ada, Blokeng menenggak habis isi botol itu. Rasa anggurnya semakin terasa kuat, dan kesadaran Blokeng mulai mengabur. Dia merasa ringan, seakan masalah-masalah dalam hidupnya tak lagi penting. Pandangannya mulai kabur, dan setiap suara terdengar samar-samar.
“Lina, tunggu aku… aku akan jadi orang yang lebih baik buatmu,” gumamnya sambil tersenyum kecil, lalu menutup mata di bawah gemerlap lampu jalan yang redup.
Malam itu, Blokeng akhirnya tertidur di bangku kayu, sendirian di tengah kota, dengan mimpi tentang Lina dan harapan sederhana yang ia simpan dalam hatinya.
Di tengah tidurnya yang lelap dan pengaruh anggur yang mulai mengendur, tiba-tiba Blokeng merasakan sesuatu yang aneh. Suasana di sekitar menjadi dingin, jauh lebih dingin dari biasanya. Tubuhnya menggigil, dan samar-samar, ia mendengar suara pelan seperti bisikan yang memanggil namanya.
“Blo… keng…”
Blokeng terjaga dengan setengah sadar, kepalanya masih pusing karena minuman. Ketika membuka mata, di depannya berdiri sosok pocong dengan wajah pucat, mata kosong, dan kain kafan yang lusuh. Pocong itu berdiri kaku di depan Blokeng, menatapnya dengan pandangan hampa, seolah meminta sesuatu darinya.
Bukannya takut, Blokeng malah tersenyum miring sambil bangkit berdiri, meski masih sedikit limbung. “Wih… malam ini ramai amat yang nongol. Kemarin kuntilanak, sekarang pocong… Mau apaan lo?”
Pocong itu tetap diam, tapi gerak-geriknya semakin mendekat, dan suara napasnya terdengar serak. Blokeng mundur satu langkah, lalu mendadak berteriak keras, “Eh, kalau mau nongol, jangan cuma diem doang, mau apa, lo? Mau gelut?”
Pocong itu tampak ragu, mungkin tak menyangka manusia seperti Blokeng akan menantangnya. Blokeng mengepalkan tangan, siap bertarung. “Ayo, sini kalau berani! Kita selesain malam ini!” tantangnya dengan nada kasar, meski dalam hati mulai merasa ngeri juga.
Tiba-tiba pocong itu mengeluarkan suara tawa yang menakutkan, menggelegar di malam yang sunyi. Blokeng merasakan bulu kuduknya berdiri, tapi dia mencoba menahan diri. Dia tak mau terlihat lemah di depan “lawan” supernatural ini.
Pocong itu melompat mendekat, membuat jarak mereka hanya beberapa inci. Blokeng refleks mundur lagi, tapi tetap dengan muka keras, dia mengangkat tangannya, siap meninju. “Sini! Gue nggak takut sama lo!” teriaknya, meski keringat dingin mulai membasahi wajahnya.
Namun, dalam sekejap, pocong itu menghilang begitu saja, meninggalkan Blokeng yang masih berdiri dengan tangan terangkat, tampak bingung.
Dia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan bahwa pocong itu benar-benar hilang. Dengan napas yang masih memburu, Blokeng tersenyum miring. “Hah, takut juga ternyata! Lain kali kalau nongol, bawa temen sekalian biar rame!” katanya, setengah menantang tapi juga setengah lega.
Sambil berjalan pulang dengan langkah sedikit gemetar, dia bergumam sendiri, “Gila, Banjarnegara banyak amat yang nongol malem-malem. Bikin resah aja… Besok gue harus cari cara buat ngusir mereka nih, atau minimal bawa temen biar gak sendirian.”
Blokeng melanjutkan langkahnya menuju rumah, kali ini dengan sedikit lebih cepat, meski dalam hatinya ia tahu, pertemuan dengan sosok-sosok mengerikan ini mungkin belum akan berakhir.
Blokeng baru saja merasa lega dan melangkah cepat meninggalkan bangku kayu di mana dia tidur, ketika tiba-tiba terdengar suara gemerisik aneh di belakangnya. Tanpa menoleh, ia bisa merasakan bahwa dirinya sedang diikuti—bukan hanya satu, tetapi lebih banyak dari sebelumnya.
“Keterlaluan, dia bawa bala Kurawa!” gumam Blokeng dalam hati, mulai merasa gentar. Namun, rasa takut itu segera dia tepis, digantikan oleh sikapnya yang keras kepala dan cenderung sok berani. Dia memutar badan dan mendapati tiga pocong, dua kuntilanak, dan satu genderuwo besar dengan mata merah menyala, berdiri mengelilinginya.
Blokeng menatap mereka satu per satu dengan pandangan menantang, mencoba menahan gemetar di kakinya. “Wih, pada kompak amat. Mau gelut semua, nih?” teriaknya dengan nada mengejek, meskipun jantungnya berdegup kencang. Pocong-pocong itu mulai melompat-lompat mendekatinya, sementara kuntilanak mendesis-desis dengan rambut tergerai menutupi wajah mereka.
Genderuwo, yang paling besar di antara mereka, melangkah maju, mengeluarkan suara geraman yang membuat angin malam terasa lebih mencekam. Blokeng mundur selangkah, tapi masih mencoba sok tenang. “Apa lo? Mau gue traktir bakso juga, apa?”
Tiba-tiba, salah satu kuntilanak melayang tepat di depan wajahnya, begitu dekat hingga ia bisa mencium aroma bunga melati yang menyengat. Blokeng tersentak, tapi secepat mungkin ia menguatkan dirinya dan berusaha tersenyum, walau sebenarnya bibirnya mulai gemetar.
“Hei, tenang, tenang. Pada antri, dong!” katanya, mencoba bergurau. Tapi kuntilanak itu tidak terhibur; ia malah mengeluarkan tawa mengerikan yang menggema di tengah keheningan malam. Pocong-pocong mulai melingkari Blokeng lebih rapat, dan genderuwo melangkah lebih dekat, tatapan matanya semakin tajam.
Blokeng berusaha mencari celah untuk melarikan diri, tapi sekelilingnya sudah dipenuhi oleh mereka. “Oke, oke, kalian menang… Cuma… jangan ganggu gue lagi ya! Gue gak mau ribut sama makhluk gaib,” ujarnya akhirnya, mulai mundur perlahan sambil mengangkat kedua tangan tanda menyerah.
Namun, para hantu itu justru semakin mendekat, seolah tak berniat melepaskan Blokeng begitu saja. Melihat situasi semakin mendesak, Blokeng menutup mata sambil berteriak, “Ampun, gue janji gak sok-sokan lagi! Beneran deh, gue kapok!”
Tiba-tiba, terdengar suara angin kencang dan desisan panjang yang membuat Blokeng merinding hingga ke tulang. Saat ia membuka mata perlahan, semua sosok menyeramkan itu sudah menghilang, seakan tak pernah ada.
Blokeng menghela napas panjang, merasa tubuhnya lemas seketika. Dengan langkah gemetar, ia berjalan cepat menuju rumah, sesekali menoleh ke belakang memastikan bahwa para hantu benar-benar telah lenyap.
Dalam hati, Blokeng berjanji untuk lebih hati-hati ke depannya dan tidak sembarangan nantang makhluk halus lagi. Malam itu, ia pulang dengan penuh rasa kapok, masih terpikir dengan bayangan-bayangan menyeramkan yang baru saja ia hadapi.