Di tengah hujan yang deras, Jane Rydell, melihat seorang pria terkapar, di pinggir jalan penuh dengan luka.
Dengan tanpa ragu, Jane menolong pria itu, karena rasa pedulinya terhadap seseorang yang teraniaya, begitu tinggi.
Hendrik Fernandez, ternyata seorang pria yang dingin dan kaku, yang tidak tahu caranya untuk bersikap ramah.
Membuat Jane, gadis berusia dua puluh tiga tahun itu, dengan sabar menunjukkan perhatiannya, untuk mengajarkan pada pria dingin itu, bagaimana caranya mencintai dan di cintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KGDan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18.
Hendrik kembali menggenggam tangan Jane, setelah semua bawahannya keluar dari ruang istirahat.
Ia belum puas dengan jawaban Jane, dan tidak bertanya tentang dirinya kenapa bisa terluka.
Jane melihat Hendrik sepertinya memikirkan sesuatu, yang ia pikir, mungkin mengenai masalah pertarungan, yang akan ia hadapi dalam sepuluh menit lagi.
Jane meletakkan tangan kirinya, ke atas tangan Hendrik, yang sedang menggenggam tangan kanannya.
"Aku bisa memijat, walau tidak sepandai ahlinya, tapi setidaknya bisa merilekskan tubuh!" ucap Jane menatap Hendrik, yang tengah memandangi tangan mereka yang saling menggenggam.
Hendrik mengangkat wajahnya, menatap mata Jane yang tengah memandangnya dengan hangat.
Ia ingin mengetahui isi hati Jane, mengenai kejadian malam dirinya terluka, ternyata Jane tidak ingin mengungkit masalah tersebut.
Jane menatap lekat Hendrik, menunggu tanggapan Hendrik mengenai bantuannya, ingin memijat Hendrik.
"Apa kau bisa?" tanya Hendrik.
"Iya!" jawab Jane.
Gadis itu lalu memegang lengan Hendrik, dan mulai memijat lengan Hendrik dengan perlahan.
"Tenagaku tidak sekuat pemijat pria, bagaimana... apakah tekanan tanganku kurang kuat?" tanya Jane menekan pijatan tangannya, pada bisep lengan Hendrik, yang terasa begitu keras dan liat.
Hendrik diam-diam tersenyum, ia merasa terhibur dengan pertanyaan Jane.
Ia tidak merasakan tekanan yang kuat, pada pijatan Jane, tapi ia merasa rileks, dengan tangan kecil Jane memijat lengannya tersebut.
"Aku menyukainya, rasanya sangat nyaman, dan aku merasa rileks!" ucap Hendrik, menahan senyumannya.
"Baiklah, aku akan memijat bahumu juga!" kata Jane bersemangat.
Ia tidak menyangka pijatannya di sukai Hendrik, walau dalam hati Jane, ia merasa ragu, karena tubuh Hendrik terasa begitu keras.
Hendrik memejamkan matanya, menikmati pijatan Jane pada bahunya, dan perlahan kembali ke lengan satu lagi.
Dengan tubuh Hendrik yang tidak memakai baju, barulah Jane dapat dengan jelas, melihat bekas luka yang ada pada tubuh Hendrik.
"Mereka sangat kejam, menggunakan benda tajam mengeroyok mu!" ucap Jane menatap bekas luka di punggung Hendrik.
Jemari Jane perlahan mengelus bekas luka tersebut, ada beberapa bekas goresan benda tajam pada punggung Hendrik.
Tubuh Hendrik meremang, merasakan belain tangan Jane pada area bekas lukanya.
Ternyata Jane masih mengingat terus, kejadian malam itu, tapi gadis itu tidak ingin membahas lagi masalah itu pada Hendrik.
Perasaan Hendrik jadi campur aduk dengan perhatian Jane, selama ini tidak pernah seorang pun menaruh perhatian akan keadaan dirinya.
Hendrik diam membeku, merasakan jemari Jane di punggungnya, mengelus setiap bekas luka yang ada di sana.
"Ini belum sembuh betul, apakah kau tidak merasa sakit?" tanya Jane hati-hati.
"Aku sudah biasa merasakan sakit, jadi tidak masalah!" jawab Hendrik, memejamkan matanya menahan rasa sesuatu, yang tiba-tiba lain pada tubuhnya.
"Bagaimana dengan yang di perut? apakah sudah sembuh? sepertinya belum sembuh betul!" ujar Jane, bertanya dengan beruntun, tapi menjawab sendiri pertanyaannya tersebut.
Ia pun kemudian, melihat luka pada perut Hendrik, memeriksa luka tersebut dengan menyentuhnya dengan perlahan.
"Jahitan yang sempurna, lukanya tertutup dengan rapi, tapi tetap saja akan meninggalkan bekas luka!" gumam Jane mendekatkan sedikit wajahnya, memeriksa luka pada perut Hendrik.
Kulit sixpack Hendrik terasa keras di setuh Jane, ia tidak menyangka kalau tubuh pria, yang rajin melakukan olahraga, tidak memiliki lemak pada perutnya.
Tangan Hendrik memegang tangan Jane, yang menyentuh perutnya itu, ia tidak pernah merasakan hal aneh, yang di rasakannya saat ini.
Hendrik merasakan tubuhnya, begitu sensitif akan sentuhan jemari Jane, membuat ia menelan ludah tanpa sadar.
"Jane..." gumam Hendrik tercekat.
Jane terdiam di tempatnya, Hendrik memanggil namanya, dengan nada yang begitu merdu di telinga Jane.
"Ya..." jawab Jane dengan nada tercekat juga, ia tidak menyangka Hendrik akhirnya memanggil namanya.
Satu tangan Hendrik, perlahan menyentuh pipi Jane, dengan sedikit rasa canggung.
Jemari jempol Hendrik perlahan menyentuh sudut bibir Jane, membuat tubuh mereka sama-sama membeku, dengan apa yang di lakukan Hendrik.
Mata Hendrik nanar menatap bibir ranum Jane, yang membuat tubuhnya terasa semakin aneh.
Hendrik tidak pernah merasakan tubuhnya, sebelumnya seperti saat ini, walau pernah ada beberapa wanita, yang mencoba menempel pada dirinya.
Perlahan Jane bangkit dari berlututnya, karena posisinya tadi memeriksa luka pada perut suaminya itu.
Jane kemudian duduk di samping Hendrik, membiarkan Hendrik masih menyentuh pipinya.
Sementara tangannya satu, memegang tangan Jane lainnya.
Karena Jane kembali duduk di samping Hendrik, tinggi mereka yang tidak seimbang, membuat Jane menengadah menatap Hendrik.
"Kenapa?" tanya Jane lembut, akhirnya suaranya kembali normal.
"Ah, tidak!" tiba-tiba Hendrik tersadar, dengan apa yang dilakukannya saat ini.
Jane merasakan ada rasa canggung pada Hendrik, mungkin karena belum pernah dekat dengan seorang wanita, atau mungkin karena mereka belum begitu mengenal satu sama lain.
Bersambung.....