Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Karma Leluhur
Shaka terlihat kebingungan, wajahnya dipenuhi keraguan. Sosok-sosok hantu yang mengganggunya masih terbayang jelas dalam ingatannya, seakan mereka mengawasi setiap gerak-geriknya. Hawa dingin menyelimuti ruangan, menambah rasa tidak nyaman yang menggelayuti hati.
"Dok, ini pertama kali saya kemari. Semoga Dokter Lista benar-benar bisa membantu saya," harapnya, suara penuh keinginan untuk mengusir rasa takut yang terus menghantuinya. Perjalanan ke Magelang ini adalah harapan terakhirnya, sebuah langkah untuk mendapatkan ketenangan dari gangguan makhluk tak kasat mata.
"Saya akan mencoba membantu, tetapi dengan syarat. Katakan yang sebenarnya apa yang Anda lakukan selama ini," jawab Dokter Lista, menatap Shaka dengan serius, seolah ingin menembus kedalaman jiwanya.
"Hantu hutan larangan, Dok. Hantu itu sepertinya peliharaan Papa saya. Entah sejak kapan, saya tidak tahu," jelas Shaka sambil melirik ke seluruh ruangan, waspada akan kehadiran sosok menjijikkan yang mungkin mengintai dari sudut-sudut gelap.
"Jangan takut, dia tak akan berani ke sini," Dokter Lista beranjak dari duduknya, melangkah menuju dispenser yang terletak di samping lemari di belakang kursinya. Suara langkah kakinya menggema di ruang sepi, menambah suasana mencekam.
"Itu semua karma yang harus kamu bayar. Minumlah, semoga air ini bisa membantu menenangkan dirimu," ucapnya, menyodorkan gelas berisi air putih yang jernih.
Perlahan, Shaka membuka genggaman tangannya yang sedari tadi mengepal. Dengan gemetar, ia mengambil gelas yang disodorkan oleh Dokter Lista, merasakan dinginnya air itu di telapak tangannya.
"Karma! Maksudnya, Dok?" tanya Shaka, menelan rasa penasaran yang menggerogoti. Ia menyeruput air putih itu, tersedak sedikit karena tenggorokannya masih kaku.
"Karma keluargamu, dan mau tidak mau kamulah yang memiliki pilihan. Akan berhenti dengan risiko nyawamu sendiri, ataukah kamu akan bertahan menerima karma leluhurmu sebagai penerus perjanjian mereka dengan sosok hantu larangan yang kamu sebutkan tadi." Suara Dokter Lista tegas, tetapi mengandung nada empati.
Shaka terdiam, menyadari bahwa pilihan ada di tangannya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, sementara bayang-bayang hantu seakan menari di ujung matanya.
"Saya ke kamar mandi sebentar," ucap Lista, meninggalkan Shaka dalam kegelisahan yang menguar di udara.
Shaka yang masih bergidik ketakutan menatap sebuah gelang dari akar tanaman yang tergeletak di meja.
"Apakah ini gelang yang dimaksud itu? Gelang akar gayam sebagai penangkal dari makhluk jahat yang Papa pernah ceritakan padaku?" tanyanya, penuh rasa penasaran.
Ia pun mengambil gelang tersebut, menyimpannya di saku celana. "Sepertinya aku harus minta izin pada Dokter Lista," pikirnya, merasa ada yang berbeda dengan benda tersebut.
"Bagaimana, sudah dipikirkan lagi?" tanya Lista yang tiba-tiba kembali, memecah lamunan Shaka.
"Sudah, Dok," jawabnya ragu.
"Semua keputusan ada di tanganmu. Lebih baik kamu menginap dulu di sini sambil menetralkan yang ada dalam tubuhmu," ujar Lista, jarinya mengetuk meja dengan mantap, menandakan betapa seriusnya pembicaraan ini.
"Sekarang, ceritakan padaku. Apa yang terjadi selain hantu hutan larangan?" tanya Dokter Lista, matanya menatap Shaka dengan penuh perhatian, membuat Shaka semakin yakin untuk berbagi kisahnya.
"Jadi begini, Dok. Sebenarnya saya punya rumah sakit yang juga diteruskan secara turun-temurun oleh keluarga, bahkan perewangan itu juga diturunkan kepada anak cucunya," ungkap Shaka, suara bergetar namun penuh tekad.
"Iya, aku sudah tahu itu!" sahut Lista, suara tegas dan tajam.
"Dari mana Dokter tahu?" tanya Shaka bingung, mencoba mencari jawaban di balik ekspresi percaya diri Dokter Lista.
"Bukankah tadi kamu sudah cerita!" seru Lista, menggebrak meja dengan keras. Suara dentuman itu menggema di ruang yang sunyi, membuat Shaka tersentak.
Shaka yang bingung dan gugup baru menyadarinya, ia pun memukul dahinya sendiri, merasa konyol karena melupakan hal yang baru saja diungkapkannya.
"Lanjutkan!"
Shaka menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan ceritanya. "Namun, sebelum rumah sakit itu dialihkan kepada saya, saya mengalami banyak gangguan dari makhluk halus. Entah mereka penghuni dari rumah sakit itu atau bukan, yang jelas hal itu membuat saya merasa tidak tenang."
“Setiap hari, saya melihat wujud-wujud mengerikan, penampakan yang tak lazim. Rasa tertekan ini terus menghimpit saya, dan saya bisa saja kehilangan kewarasan jika terus-menerus seperti ini. Mohon bantuannya, Dok," ungkapnya, menatap Dokter Lista dengan wajah penuh harap dan keputusasaan.
Senyuman tipis muncul di bibir Dokter Lista. Perlahan, wanita paruh baya itu menghela napas pelan, menandakan betapa beratnya beban yang harus dihadapi Shaka.
"Dokter Shaka, dihantui karena sekadar ingin mengganggu dan diikuti seakan diburu oleh mereka itu adalah dua hal yang berbeda. Ada sesuatu yang membuat mereka terus menghantuimu, entah karena apa," ucap Dokter Lista, wajahnya kini serius, seakan ingin menekankan betapa pentingnya memahami situasi ini.
"Saya sudah tak tahan. Penampakan wanita tanpa kepala, anak kecil yang berlumuran darah, serta sosok yang bukan berbentuk manusia. Mereka terus mendatangiku tanpa henti. Dan belum lagi sosok hantu larangan itu. Apa yang mereka inginkan dariku, Dok?" tanya Shaka, mengatur napasnya yang terasa berat. Rasa tertekan membuatnya semakin sulit untuk bernafas saat menjelaskan kondisi yang dialaminya.
"Untuk sementara ini, seperti yang saya katakan, Dokter Shaka, tinggallah di sini selama dua hari. Nanti saya akan coba cari solusinya. Dalam beberapa hari ke depan, cobalah untuk menenangkan diri dan bersikaplah seperti biasanya, seakan tidak terjadi apa-apa. Jangan takut, Dok! Saya pasti akan membantu menyelesaikan masalah ini." Senyuman kembali mengembang di bibir wanita itu, berusaha memberikan rasa tenang kepada Shaka.
Namun, raut wajah Shaka masih menunjukkan ketidakpuasan. Ia tahu bahwa untuk sementara waktu, ia harus menunggu dan berharap pada kemampuan Dokter Lista.
"Kamu harus ingat, ini karma dari leluhurmu. Kematianmu adalah yang mereka inginkan. Saya akan tetap berusaha mencari cara agar kamu bisa terbebas dari karma ini. Semua pilihan ada di tanganmu," terang Lista, menatap Shaka dengan penuh perhatian, seolah ingin memastikan bahwa pria itu mengerti apa yang dimaksudnya.
Shaka mengangguk, menyadari beratnya kata-kata tersebut. Ia kemudian berdiri dan berpamitan kepada Dokter Lista.
"Tunggu. Tolong panggilkan Kusuma sekalian," pinta Shaka, menyadari bahwa sahabatnya mungkin bisa membantu memberikan dukungan.
"Baik, Dok!"
Senyum tersimpul di bibir Lista, namun ekspresi itu berubah saat melihat Kusuma masuk ke dalam ruangan.
"Silakan duduk. Ada perlu apa?" tanya Dokter Lista dengan nada ramah, meski keseriusan masih menghiasi wajahnya.
"Dok, mohon maaf. Ada yang ingin saya tanyakan. Perihal semalam, Agvia dan saya mendapatkan gangguan dari makhluk halus. Apakah—"
Ucapan Kusuma terputus ketika Dokter Lista memberikan isyarat untuk berhenti, seakan mengingatkan betapa pentingnya situasi yang dihadapi.
"Seberapa jauh kamu melihatnya?" tanya Lista, suaranya lirih namun penuh emosi.
"Saya tidak berani. Takut salah, tetapi yang membuat saya penasaran adalah mereka menuju bangsal yang di belakang bangsal empat."
"Oh, itu. Tentu saja, kalau tempat kosong, pasti jadi pilihan mereka," jawab Dokter Lista dengan tenang, meskipun raut wajahnya menunjukkan keprihatinan.
Mendapatkan jawaban yang singkat, Kusuma meminta pamit kepada Lista.
Shaka menghela napas pelan, tatkala mengingat pertemuannya dengan Dokter Lista pemilik rumah sakit yang kini menjadi harapan baginya. "Semoga besok aku menemukan jawaban," batinnya, harapan dan ketakutan berbaur dalam pikirannya, membuat jiwanya gelisah.
Shaka memutuskan untuk berkeliling di sekitar area rumah sakit. Di luar bangunan, banyak pohon rindang yang berdiri megah, menambah kesan menyeramkan ketika malam tiba. Dengan dahan-dahan yang menjuntai, mereka seolah mengawasi setiap langkah yang diambilnya. Bangunan bergaya klasik ini menarik perhatian Shaka, menggugah rasa ingin tahunya untuk mengeksplorasi lebih dalam isi rumah sakit tersebut. Namun, hari itu tidak begitu ramai; hanya segelintir pasien yang datang, membuat para perawat dan dokter bisa mengurus segalanya sendiri. Karena itu, Shaka memilih untuk tidak membantu dan mengalihkan perhatiannya untuk berkeliling.
Tatapannya kini tertuju pada sebuah bangsal kosong di depannya. Pintu yang terkunci rapat menggugah rasa penasarannya, seolah menyimpan rahasia yang ingin diungkap. Dengan hati-hati, Shaka mengintip dari jendela bangsal yang sepi itu. Di dalam, terlihat beberapa ranjang kosong, dan suasana sunyi menyelimuti ruangan. Tiba-tiba, ia tersentak kaget ketika melihat bayangan hitam melintas di balik tirai.
"Apa itu?" Shaka bergumam, berusaha mengatur napasnya yang mulai tak teratur.