Shima merelakan suaminya menikah lagi. keturunan menjadi alasan ia rela di madu. kesulitannya dalam mengandung membuatnya harus rela berbagi suami dengan wanita lain.
Dinar, tak lagi bisa menolak keinginan ibu dan istrinya untuk menikahi Rizka.
Segala usaha sudah mereka lakukan agar Shima bisa mengandung. Namun Tuhan memang belum memberikan kepercayaan itu pada mereka.
Akhirnya dengan terpaksa Dinar mengabulkan keinginan ibu dan istrinya.
Dia hanya berharap semoga pernikahan mereka akan bahagia, karena pernikahan itu tidak di dasari perselingkuhan.
Namun, cobaan silih berganti mengguncang prahara rumah tangga mereka.
Di tambah Dinar mulai berat sebelah semenjak mengetahui kehamilan istri keduanya.
Mampukah Shima dan Dinar mempertahankan maghligai rumah tangga mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terungkap
Shima tengah melamun di teras balkonnya. Ia teringat ucapan pengacaranya yang mengatakan jika sang mantan suami ingin bertemu dengannya.
Ia juga tak mengerti mengapa dulu dia masih mau bertemu dengan Dinar, kini justru ia malas bertemu mantan suaminya. Kalau kini Shima merasa sedikit khawatir jika bertemu dengan Dinar.
Orang tua dan kakaknya juga menyerahkan segala keputusan itu padanya.
Dia memang memiliki pilihan lain jika tak ingin bertemu dengan Dinar yaitu memperkarakan mantan suaminya atas perampasan aset.
Namun lagi-lagi dirinya tak tega. Dia tahu sang mantan baru saja sembuh dari kecelakaan waktu itu, tapi Shima sangat membutuhkan mobil miliknya yang masih ada di garasi rumahnya.
Dirinya tak mungkin membeli mobil baru. Keuangannya sudah habis untuk membeli apartemen dan juga membayar pengacara.
Shima memutuskan untuk bertemu dengan Dinar nanti. Lagi pula Pak Dika mengatakan jika dirinya bersedia menemani jika dia takut sendirian.
.
.
Paginya, Shima datang seperti biasa. Dia selalu lewat pintu belakang gedung parkiran yang di peruntukan khusus untuk pekerja yang menggunakan kendaraan roda dua.
Dia terpaksa lewat jalur itu karena mengetahui sang suami selalu berada di luar gedung saat jam berangkat kantor dan pulang kantor.
"Ma?" panggil Asti begitu melihat kedatangannya.
"Ti, ada apa? Tumben nunggu di sini?" tanya Shima heran.
"Astaga Ma, gue di teror sama si Rizka!" keluhnya.
"Di teror kenapa?"
"Dia minta nomor hp kamu. Mohon-mohon biar bisa ketemu kamu," jelasnya.
"Kamu enggak tanya mau apa?"
Asti menggeleng, teringat beberapa waktu belakangan ini mantan temannya itu selalu mengganggu dirinya.
Yang Asti tahu dari teman-teman langganan butik Rizka dulu. Bisnis wanita itu sedang menurun, tetapi mereka tak tahu sampai sejauh apa karena memang sudah tak pernah lagi berbelanja di sana.
"Dia mohon-mohon banget Ma. Aku penasaran ada apa ya?"
"Udahlah, aku udah enggak ada urusan lagi sama dia. Jadi enggak usah di pikirin."
"Iyalah, sekarang kamu kelihatan lebih baik. Buang aja mantan pada tong sampah."
Keduanya lalu tertawa.
Sebenarnya Shima masih memiliki beban. Namun dia tak ingin memikirkannya terlalu jauh. Benar kata Asti jika dirinya hanya perlu menghadapi mereka dengan berani.
"Oh iya Ti. Beneran sampai proyek ini mau berjalan, belum ada keputusan apa-apa dari pak Aris?"
Asti yang tadi ceria mendadak sendu. Dia sendiri memiliki masalah yang cukup serius tentang pekerjaannya.
"Aku engga bisa apa-apa Ma. Yang lain udah pada pasrah karena ancaman Pak Aris pastinya. Ya udahlah kalau proyek ini mau di akui mereka."
Shima menghela napas, dia tahu dunia kerja sangatlah kejam. Bagi seseorang yang berpotensi seperti sahabatnya bisa kalah dengan seseorang yang dekat dengan atasannya seperti Femi misalnya.
Perempuan itu tak mengerjakan apa-apa tapi menjadi ketua dari proyek yang setengah mati di kerjakan orang lain.
Dirinya juga tak bisa membantu banyak meski terkadang sering menyindir Pak Damian.
Namun tangan kanan atasannya itu hanya berkata jika tak ada bukti jelas jika Aris dan Femi menyabotase pekerjaan mereka. Kesal memang tapi dia sadar bukan sepenuhnya salah sang atasan.
Hanya mereka saja yang merasa bekerja yang harusnya melaporkan. Sayangnya hanya Asti yang mau sedangkan lainnya menolak karena takut.
Mereka beralasan juga karena tidak terlalu mengetahui pribadi Emilio. Mereka takut jika Emilio sama saja seperti Calvin yang lebih percaya atasan mereka.
"Gue rasa-rasanya pengen nyerah deh Ma," keluhnya.
"Eh jangan dong! Kamu udah lakuin apa yang aku bilang dulu kan? Selalu merekam setiap kejadian?"
Asti mengangguk lemas. Dia merasa takut dengan ide sahabatnya itu. Bagaimana jika nanti justru dirinya yang malah akan di perkarakan.
"Seenggaknya kamu harus punya bukti. Kata pak Damian dia enggak punya bukti buat usut. Tapi entah kenapa menurut aku ucapan beliau malah seperti ngasih kode ke aku ngga sih? Soalnya tiba-tiba aja dia bilang 'ya paling enggak rekaman atau apa gitu'?"
Asti tersenyum dan mengangguk meski dalam hati dia tak begitu yaki. Namun apa salahnya berusaha, itulah sebabnya dia memberikan rekaman itu pada Shima.
.
.
Saat Shima, Emilio beserta Damian pergi ke sebuah restoran tempat mereka akan makan siang sebelum ke kantor Bupati mereka di kejutkan dengan pertengkaran tiga orang di depan restoran.
Shima tersentak karena ternyata kakak ipar mantan suaminya lah yang tengah bertengkar dengan suami dan rekan rekan kerjanya Femi.
Bahkan penampilan Femi sangat mengenaskan. Rambut wanita itu sudah tak berbentuk. Wajahnya memerah dengan bibir pecah di bagian sudutnya.
Suaminya Andin pun terlihat berantakan, Shima yakin jika mereka pasti terkena amukan wanita itu.
Terlihat pihak keamanan juga kewalahan menenangkan Andin.
"Ada apa ini?" ujar Emilio yang ternyata telah berada di sekitar mereka.
Shima yang tak memperhatikan keadaan tertinggal langkah sang atasan.
"Pa-pak Emil," lirih Femi.
"Ibu Femi ada apa ini?" tanya Emilio datar.
"Pak Deva? Bisa jelaskan mengapa karyawan saya babak belur seperti ini?" tanya Emilio menatap tajam lelaki yang kerah bajunya masih di tarik oleh Andin.
"Oh jadi kamu atasannya perempuan murahan ini?!" pekik Andin lalu mendekati Emilio.
Perempuan yang tengah di liputi amarah itu menghempaskan tubuh sang suami dengan keras.
"Silakan kalian pergi dari sini. Kalian mengganggu kenyamanan pelanggan kami," ucap seseorang dari arah pintu masuk. Ternyata sang Manager restoran.
Di sekitar restoran sudah banyak orang yang ternyata mengabadikan kejadian itu tanpa Shima sadari. Setelah tahu, dirinya segera menghindar enggan masuk ke dalam urusan kakak ipar mantan suaminya.
"Iya betul Bu Andin, Bu Femi karyawan saya. Ada apa? Apa tidak bisa di bicarakan baik-baik? Kenapa harus begini?"
"Dengar ya Pak Emilio, karyawan bapak ini adalah seorang pelakor! Dia telah merebut suami saya. Saya sebagai korban, akan melaporkan karyawan bapak yang pasti akan berdampak pada perusahaan bapak!" kecam Andin berapi-api.
"Tenang dulu ibu. Silakan jika ingin mengajukan keluhan tapi tolong jangan mempermalukan diri Anda sendiri," saran Emilio.
Andin melengos kesal. Tak sengaja dia melihat keberadaan Shima di belakang Damian. Dengan wajah menahan geram dia mendekati mantan kakak madu adiknya.
"Kamu!" tunjuk Andin setelah mendorong bahu Shima. Shima terkejut dan mengusap dadanya.
"Oh jadi kamu sekutu ya sama perempuan sampah kaya dia! Pantas, ternyata di perusahaan Pak Emil kalian memelihara para wanita penggoda cerocosnya."
"Hentikan ucapan Anda jika tak mau berurusan dengan hukum Ibu Andin," sela Damian tegas.
Nyali Andin menciut mendapat tatapan tajam dari Damian.
Deva lantas segera mendekati sang istri karena tak ingin Andin berurusan dengan Emilio. Bisa bahaya karirnya jika Emilio tak mau bekerja sama dengan perusahaannya.
"Ayo mah kita pulang! Malu di lihat orang," ajak Deva sembari menyeret paksa sang istri.
Andin menolak, dia memberontak sembari memaki-maki orang-orang yang ada di sana termasuk Shima dan Emilio.
Femi yang sudah malu hanya bisa menunduk mendekati atasannya.
"Ma-maafkan saya Pak," lirihnya.
"Kita akan selesaikan masalah ini nanti Bu Femi. Sebaiknya Anda pulang," titah Emilio datar.
Femi menengadah, matanya berbinar, dia berpikir jika sang atasan memperhatikan dirinya.
"Ini salah paham Pak. Tadi itu—"
"Sebaiknya Anda pulang ibu Femi," sela Damian yang tahu jika Emilio sudah malas mendengarkan ucapan wanita di hadapannya.
"Ta-tapi Pak, rapat dengan pak Bupati?" lirihnya.
"Anda masih memikirkan itu? Lihat saja nanti, jika masalah ini sampai menyeret perusahaan maka Anda akan tahu akibatnya," kecam Damian.
Emilio sendiri sudah masuk ke dalam restoran lebih dahulu. Hanya Damian dan Shima yang menghadapinya.
"Ta-tapi pak," Wajah Fami pias. Dia tak menyangka akan mengalami nasib buruk hari itu.
Dalam hati dia mengutuk Andin yang melabraknya di depan atasannya. Dia juga merasa heran mengapa bisa bertemu dengan Emilio dan rombongannya di sana.
Namun dia masih bisa tersenyum tipis, ia yakin pengaruh Aris masih bisa membantunya untuk keluar dari masalah ini.
"Baik Pak, sebaiknya saya istirahat dulu, biar nanti rekan tim saya yang menjelaskan," ujarnya percaya diri dan berlalu pergi.
Shima memandang tak percaya kepergian Femi dengan sikap wanita itu yang terlihat tenang. Dia lalu menatap Damian bingung.
"Ada apa Bu Shima? Apa ada sesuatu yang ingin Anda tunjukan pada saya," ucapnya tepat sasaran.
"Hah? Maksud bapak apa?" tanya Shima.
.
.
Rapat kali ini hanya di hadiri oleh Tim desain satu tanpa Femi. Asti lah yang bertugas menggantikan Femi menjelaskan desain permintaan Pak Bupati untuk kantor dinasnya.
Terlihat Pak Bupati puas dengan penjelasan Asti. Berbeda dengan Femi yang sering berbelit-belit dan bingung karena memang bukan karyanya.
"Wah saya sangat suka dengan penjelasan karyawan Anda ini pak Emil. Berbeda dengan yang kemarin justru membuat saya bingung. Jujur hampir aja saya membatalkan kerja sama karena saya agak kurang puas dengan kinerja perusahaan bapak," jelas Pak Bupati.
"Maafkan atas kesalahan saya waktu itu pak. Setelah ini Bu Asti lah yang akan menjadi ketua untuk proyek ini. Silakan bicarakan dengan beliau apa-apa yang menjadi kebutuhan Bapak."
Ucapan Emilio justru membuat Asti dan yang lainnya juga Shima terkejut tak percaya. Mereka memang tahu jika banyak dari proyek itu adalah hasil kerja dari Asti.
Namun seperti yang sudah-sudah bawahan seperti mereka biasanya akan kalah oleh orang dekat atasan mereka.
"I-ini beneran Pak?" tanya Asti tak percaya. Bahkan air matanya sudah menggenang di pelupuk mata.
"Lakukan yang terbaik Bu Asti. Nama baik ESAC Desain Group ada di tangan Ibu sekarang," jawab Emilio yakin.
Setelah Emilio, Damian serta Bupati dan jajaranya berpamitan keluar, Asti bersorak gembira. Tak menyangka jika dia bisa memegang proyek besar.
"Jangan senang dulu. Gue yakin pak Aris enggak bakal biarin Femi di gantiin. Lagian lu ngapa ngga langsung nolak aja sih. Dah siap kehilangan kerjaan?" gerutu Arman.
Asti benar-benar kesal dengan ucapan lelaki yang sangat tergila-gila dengan Femi itu meski dia hanya di jadikan babunya saja menurut Asti.
Mendengar nama Aris, rekan kerja Asti di tim satu mendadak diam dan saling melempar pandangan. Mereka sangat tahu selicik apa lelaki itu.
Seketika euforia kesenangan Asti berubah menjadi sendu. Dalam hati dia membenarkan ucapan rekan-rekannya. Ia merasa akan menghadapi masalah besar karena Aris adalah orang kepercayaan Calvin, mantan atasan mereka.
.
.
.
Lanjut
sungguh mantap sekali 👍✌️
terus lah berkarya dan sehat selalu 😘😘