Di tengah gemuruh ombak kota kecil Cilacap, enam anak muda yang terikat oleh kecintaan mereka pada musik membentuk Dolphin Band sebuah grup yang lahir dari persahabatan dan semangat pantang menyerah. Ayya, Tiara, Puji, Damas, Iqbal, dan Ferdy, tidak hanya mengejar kemenangan, tetapi juga impian untuk menciptakan karya yang menyentuh hati. Terinspirasi oleh kecerdasan dan keceriaan lumba-lumba, mereka bertekad menaklukkan tantangan dengan nada-nada penuh makna. Inilah perjalanan mereka, sebuah kisah tentang musik, persahabatan, dan perjuangan tak kenal lelah untuk mewujudkan mimpi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F3rdy 25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MANAGEMENT
Setelah kesepakatan untuk mencari manajer dibuat, suasana di studio Dolfin Band menjadi lebih ringan. Meski mereka tahu bahwa keputusan besar masih menunggu, langkah pertama untuk menghadapi tawaran dari label-label besar sudah jelas: mereka butuh seseorang yang lebih paham industri untuk memandu mereka.
"Ada ide siapa yang bisa jadi manajer kita?" tanya Ayya sambil melirik ke arah Ferdy, yang biasanya punya koneksi lebih luas dalam dunia musik.
Ferdy mengangguk pelan, sambil mengetik sesuatu di ponselnya. "Gue ada beberapa nama di kepala gue, tapi gue nggak yakin semua dari mereka tertarik buat ngurus band yang baru naik kayak kita."
Tiara yang sedang menggulung kabel bassnya tampak berpikir sejenak, kemudian berkata, "Gimana kalau kita tanya ke beberapa musisi atau band yang udah lebih dulu terkenal? Mungkin mereka bisa rekomendasiin manajer yang pernah kerja sama mereka."
Damas menyahut, "Iya, itu ide bagus. Gue inget waktu kita ketemu sama salah satu band senior di acara festival regional kemarin, mereka punya manajer yang kayaknya keren. Dia bisa bikin semua hal teknis jalan dengan lancar."
Ferdy tiba-tiba berhenti mengetik dan tersenyum. "Gue baru inget! Gue punya kontak dari salah satu manajer band indie yang cukup dikenal di Jakarta. Namanya Pak Anto. Gue pernah ngobrol sebentar sama dia waktu di belakang panggung pas Rock Island kemarin."
"Apa dia tertarik buat ngurus band kayak kita?" tanya Iqbal, yang tampak skeptis.
"Kayaknya sih dia orang yang terbuka. Gue bakal coba kontak dia dulu," jawab Ferdy sambil mulai mencari nomor Pak Anto di kontak ponselnya.
---
Beberapa hari kemudian, setelah serangkaian telepon dan pesan, Dolfin Band akhirnya mendapatkan pertemuan dengan Pak Anto di sebuah kafe kecil di Jakarta. Mereka semua berkumpul di sana, penuh harapan tapi juga sedikit tegang, karena mereka tahu bahwa pertemuan ini bisa menjadi awal dari perjalanan baru.
Pak Anto, seorang pria paruh baya dengan penampilan rapi tapi santai, memasuki kafe dan langsung menyapa mereka dengan senyum lebar. "Wah, akhirnya bisa ketemu juga nih sama Dolfin Band yang lagi jadi pembicaraan!"
"Terima kasih udah mau ketemu, Pak," jawab Ferdy sambil berjabat tangan. "Kita bener-bener butuh pandangan profesional buat ngebantu kita bikin keputusan besar."
Pak Anto duduk dan memesan kopi sebelum mulai berbicara dengan serius. "Oke, gue udah sedikit denger soal kalian, dan gue juga sempet liat beberapa penampilan kalian di YouTube. Kalian punya potensi yang gede. Tapi... sekarang ini kalian berada di persimpangan yang krusial."
"Betul, Pak," sahut Tiara. "Kita udah dapet beberapa tawaran dari label-label besar, tapi kita nggak tau harus ambil yang mana. Masalahnya, setiap tawaran punya pro dan kontra sendiri."
Pak Anto mengangguk. "Itu wajar. Setiap label punya cara kerja yang berbeda. Beberapa bakal kasih kalian kebebasan kreatif penuh, tapi mungkin promosi mereka nggak segencar label lain yang lebih besar. Di sisi lain, ada juga label yang bakal nawarin exposure gede, tapi kalian mungkin kehilangan sebagian kontrol atas karya kalian."
Ayya memandang Pak Anto dengan penuh harap. "Jadi menurut Pak Anto, kita harus gimana? Apa langkah pertama yang harus kita ambil?"
Pak Anto tersenyum bijak. "Pertama, kalian harus tahu apa prioritas kalian sebagai band. Kalian lebih fokus ke kebebasan kreatif atau kalian lebih mau dikenal lebih cepat dengan bantuan label besar? Gue di sini bisa bantu kalian buat menimbang opsi-opsi itu, tapi keputusan akhirnya harus datang dari kalian."
Iqbal, yang biasanya paling tenang, akhirnya bicara. "Gue pribadi pengen kita tetap punya kontrol atas karya kita. Gue nggak pengen band ini jadi alat buat ngejar uang aja. Tapi di sisi lain, gue juga ngerti kalau kita butuh label buat ngebantu promosi."
Pak Anto menatap Iqbal sambil mengangguk. "Nah, itu dilema yang sering dihadapi banyak band baru. Tapi percayalah, nggak ada keputusan yang sepenuhnya salah. Setiap pilihan punya risiko dan reward-nya sendiri."
Puji yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. "Jadi, kalau menurut Pak Anto, label mana yang paling pas buat kita?"
Pak Anto memandang mereka satu per satu sebelum menjawab. "Kalau gue harus kasih saran, gue bakal bilang kalian coba pertimbangkan **Riverside Music**. Mereka nggak sebesar Magnitude, tapi mereka dikenal fleksibel dalam hal kebebasan kreatif. Gue kenal beberapa band yang pernah kerja sama mereka, dan mereka puas dengan kebebasan yang diberikan."
"Riverside ya..." gumam Ferdy sambil merenung. "Gue juga sempet mikir ke arah sana."
"Plus," lanjut Pak Anto, "Riverside punya rekam jejak yang bagus dalam ngelola band-band indie yang akhirnya bisa meledak di pasar. Mereka mungkin nggak akan nge-push kalian untuk bikin lagu-lagu yang terlalu komersial, tapi mereka bakal bantu kalian nemuin cara buat tetap relevan di industri."
Tiara tersenyum mendengar penjelasan itu. "Kedengerannya itu lebih sesuai sama visi kita."
Damas menambahkan, "Dan kita bisa tetap berkarya tanpa merasa terlalu ditekan buat ngejar target komersial yang nggak sesuai sama kita."
Pak Anto mengangguk setuju. "Bener. Tapi tetap, kalian harus siap kerja keras buat promosi. Riverside bakal bantu, tapi mereka nggak bakal ngelakuin semuanya buat kalian. Kalau kalian ambil opsi ini, kalian tetap harus aktif promosiin band kalian sendiri di media sosial, bikin konten, dan terlibat langsung dengan fans."
Ayya langsung menyahut. "Itu nggak masalah buat kita. Malah gue seneng kalau bisa lebih deket sama fans."
"Bagus," kata Pak Anto. "Jadi, apa kita bisa bilang kalau kalian lebih condong ke Riverside?"
Ferdy memandang teman-temannya satu per satu, lalu tersenyum. "Kelihatannya begitu, Pak."
---
Setelah pertemuan dengan Pak Anto, mereka semua merasa lebih tenang. Mereka akhirnya punya panduan untuk mengambil langkah berikutnya, dan Pak Anto setuju untuk menjadi manajer mereka, membantu mereka dalam setiap keputusan besar yang akan datang.
Sore itu, mereka berkumpul kembali di studio untuk membahas langkah-langkah selanjutnya. Dengan Pak Anto yang kini menjadi bagian dari tim, mereka merasa lebih yakin dan siap menghadapi tantangan yang ada di depan.
"Ayo, kita latihan lagi," seru Iqbal sambil mulai memukul-mukul drumnya. "Gue rasa kita harus siap-siap buat apa pun yang bakal datang setelah ini."
Tiara tersenyum sambil menyetel bassnya. "Iya, siapa tahu minggu depan kita udah mulai tur, kan?"
"Atau rekaman album pertama," tambah Puji sambil memetik gitarnya.
Ferdy hanya tertawa kecil. "Gue rasa perjalanan kita baru aja dimulai, guys."
Dan dengan begitu, Dolfin Band pun kembali ke rutinitas latihan mereka, dengan semangat baru dan harapan yang lebih besar. Mereka tahu, jalan di depan mungkin nggak mudah, tapi dengan manajer yang tepat di sisi mereka dan persatuan yang kuat sebagai band, mereka siap menghadapi apa pun yang datang.
saya Pocipan ingin mengajak kaka untuk bergabung di Gc Bcm
di sini kita adakan Event dan juga belajar bersama dengan mentor senior.
jika kaka bersedia untuk bergabung
wajib follow saya lebih dulu untuk saya undang langsung. Terima Kasih.