Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 - Aku Yang Mau - Haura
Bak petir di siang bolong, Ray begitu terkejut mendengar pengakuan Haura. Lidahnya mendadak kelu untuk bertanya, bingung juga karena kini posisinya serba salah.
Dan, diamnya Ray justru membuat Haura salah sangka dan semakin yakin bahwa dirinya tak berharga. "Gimana? bisa diterima, 'kan alasan putusnya?"
Haura tersenyum getir dan bermaksud angkat kaki segera. Namun, baru juga hendak berencana Ray sudah berdiri lebih dulu dan menahan pergerakannya.
"Siapa bilang? Kembali duduk, kita belum selesai bicara," titah Ray menatap lekat-lekat Haura.
Dia tidak kecewa, walau jujur jantungnya remuk redam tatkala mendengar kabar yang begitu tak mengenakan ini.
Sebagai pasangan, dia tahu betul siapa Haura. Jelas Ray tidak akan menarik kesimpulan sepihak tanpa mendengar penjelasan sang kekasih lebih dalam.
Terlebih lagi, sewaktu menjelaskan Haura justru terlihat hancur. Mana mungkin dia sampai berpikir bahwa Haura berkhianat dan nekat bermain api di belakangnya.
"Apa lagi, Ray? Sudah aku jelaskan_"
"Duduk, Haura," tegas Ray penuh penekanan bahkan tanpa ragu menekan pundak Haura agar duduk segera.
Haura menurut, sikap tegas Ray yang begini memang selalu berhasil membuatnya takluk.
Tak segera bertanya, Ray memberikan waktu untuk Haura bisa menghela napas dan berpikir jernih. Sebelum Haura menjelaskan, dia sudah bisa menerka ada yang tidak beres dari raut wajah dan caranya Haura bicara.
"Minumlah, kamu bilang Matcha Latte bisa membuat suasana hati lebih baik, 'kan," tutur Ray amat lembut yang membuat hati Haura semakin hancur berantakan.
Batinnya menjerit, sakitnya bukan main tatkala melihat Ray justru berusaha tegar sementara dirinya serapuh ini.
Terlebih lagi, sewaktu pria itu menyeka air matanya. Haura yang tadinya menangis tanpa suara, mendadak meraung dan cengeng seperti anak TK.
Beruntung saja tempat itu sedang sepi, hanya ada mereka berdua itu pun duduk di tepian. Sengaja Ray memilih tempat yang sepi, mengingat status Haura dan juga kenyamanan mereka berdua.
Begitu melihat tangis Haura semakin menjadi, Ray bangkit dan merengkuh tubuh sang kekasih. Jangan tanya sekacau apa kepalanya saat ini, jelas kacau sekali.
Dia belum mendengar penjelasan Haura, tapi hancurnya sudah luar biasa. Walau demikian, Ray tidak mungkin memperlihatkan bahwa dirinya hancur juga.
Sebisa mungkin dia harus bersikap tenang untuk menunggu penjelasan kekasihnya. Dan, waktu yang diperlukan Haura untuk siap menjelaskan ternyata cukup lama.
Kurang lebih lima menit sampai napasnya benar-benar membaik. Selama itu pula, Ray tidak melepaskan pelukan, bahkan melonggarkannya saja tidak.
"Sudah tenang?"
"Hem, sudah."
"Sekarang katakan, apa yang terjadi padamu? Siapa yang membuat pacarku menangis seperti ini? Hem?" Lebih lembut dari Abimanyu, Ray memperlakukan Haura sebaik itu.
Tidak ada tuduhan, hinaan atau cacian dari mulutnya. Yang ada hanya wajah tenang dan senyum penuh kehangatan di sana.
"Aku ...."
"Iya, kenapa, Sayang?"
Haura menarik napas dalam-dalam. Sejujurnya dia tidak ingin Ray bersikap seperti ini, ada baiknya dia marah saja.
"Ray," panggil Haura menatap lekat mata tulus nan indah itu di hadapannya.
"Iya, aku di sini, Ra."
"Bisakah kamu berhenti bersikap seperti ini? Marah atau kasar sesekali," ucapnya penuh harap Ray akan meledak-ledak, dengan begitu tidak akan begitu sakit tentu saja.
Alih-alih menurut, Ray justru tersenyum hangat dan menggenggam jemari Haura yang terasa dingin. "Bagaimana bisa aku bersikap kasar padamu, Ra."
Hati Haura memanas, bak tersayat sembilu saking sakitnya. Tidak salah dirinya mengejar Rayyanza secara ugal-ugalan kala itu, rela merendahkan gengsi dan nekat mengungkapkan perasaan pada lelaki jika yang dijadikan tujuan sebaik ini.
Namun, setelah pria itu dia dapati, Haura mengecewakannya dan fakta ini membuat Haura hancur sendiri.
"Atau belum siap? Kita pulang saja kalau_"
"Tidak, akan aku ceritakan hari ini saja!!" Begitu tekad Haura dan dia tidak lagi memiliki keinginan untuk menunda.
Toh Ray sudah tahu meski belum benar-benar terbuka. Walau memang wajahnya terlihat tenang, Haura yakin betul Ray tahu apa yang terjadi dengannya.
"Tapi sebelum itu, semarah apapun kamu tolong berjanjilah untuk tidak membenciku."
"Sure, aku janji," tegas Ray meyakinkan bahwa dia tidak akan pernah membenci Haura nantinya.
.
.
Setelah Ray mengucapkan janjinya, baru Haura mulai bercerita. Sama seperti yang dia utarakan pada Abimanyu, hanya saja lebih sederhana dan mudah dimengerti.
Tanpa ditutup-tutupi, Haura menjelaskan kronologinya dari awal hingga akhir dan Ray menyimak tanpa menyela. Hingga selesai, dan genggaman tangannya tak lepas juga.
Usai Haura menjelaskan pria itu menghela napas panjang seakan menjelaskan seberapa besar beban di pundaknya.
"Ya Tuhan, Ra ...." Hanya itu kata-kata yang dia ucapkan setelahnya.
"Ka-kamu boleh menganggapku bodoh atau apa, tapi sumpah demi Tuhan aku tidak pernah berniat kesana ... murni hanya ingin membuatnya tersiksa, tapi nyatanya aku justru_"
"Shuuut, sudahlah tidak perlu diteruskan ... aku percaya kamu tidak sebodoh itu."
Seakan tidak ingin lagi meneruskan pembicaraan tentang itu, Ray meminta Haura untuk diam.
Sejenak suasana di sana menjadi canggung, sesekali Ray menegak minuman favoritnya yang kini terasa hambar.
Haura terus menatap lekat pria itu, dia tidak bisa harus berkata apa. Ketakutan bahwa Ray akan menganggap hina dan membuang dirinya musnah sudah, tapi melihat ketulusannya ini Haura justru semakin merasa tidak pantas dan bersalah.
"Ehm terima kasih telah mempercayaiku ... aku harap setelah ini kita masih bisa menjadi teman dan_"
"Teman?" Ray menghentikan kegiatannya, dia kembali menatap Haura.
Haura mengangguk. "Hem, teman!! A-aku yakin di luar sana ada seratus bahkan ribuan wanita yang lebih baik dari aku dan terjaga kehormatannya untukmu."
"Apa maksudmu, Haura? Aku tidak bersedia kita putus kenapa justru bicaranya kemana-mana?"
"Aku yang mau!!" tegas Haura sengaja meninggikan nada suaranya hingga Ray mengerutkan dahi seketika.
"Kamu yang mau? Kenapa? Apa kamu menyukai pria itu?"
"No!! Jika aku suka aku tidak mungkin seperti akan gila dan merasa ternoda."
"Lalu apa, Ra? Apa alasannya kamu tetap kekeuh putus? Hah?"
"Sudah kukatakan aku tidak suci lagi, apa yang kamu harapkan dari wanita kotor sepertiku?"
"Aku tidak peduli!! Sejak kapan tolak ukur cinta hanya sebatas selang-kangan aku tanya?" Tidak mau kalah, Ray kini turut meninggi demi mempertahankan hubungannya.
"Memang tidak, cuma maksudku ... Ray buka matamu, pikirkan lagi!! Di luar sana mas_"
"Stop, Haura!! Jangan katakan apapun lagi bisa tidak?"
"Tidak, aku sudah memutuskan dan detik ini semakin yakin bahwa hubungan kita harus diakhiri," tegas Haura tak terbantahkan dan membuat Rayyanza kelimpungan.
Tidak hanya itu, pasca menyampaikan keputusannya Haura beranjak pergi dengan air mata membasah di pipi.
"Ra, Ra tunggu, Ra!!"
"Apa lagi, Ray? Jangan membuatku semakin terpuruk!! Terima saja, lambat laun kita juga akan tetap berpisah ... hubungan ini telah ternoda, jangan korbankan kebahagiaanmu dan kita telan pahitnya di awal saja, okay?"
"Tidak!! Aku tidak mau ... kita lalui pahitnya sama-sama, aku bersedia menerimamu apapun keadaannya ... walau kamu hamil anak laki-laki itu sekalipun!!"
.
.
- To Be Continued -
Ervano : Ngeyel banget, lepasin aja apa susahnya sih, Pung?