Alastar adalah sosok yang terperangkap dalam kisah kelam keluarga yang retak, di mana setiap harinya ia berjuang dengan perasaan hampa dan kecemasan yang datang tanpa bisa dihindari. Kehidupan rumah tangga yang penuh gejolak membuatnya merindukan kedamaian yang jarang datang. Namun, pertemuannya dengan Kayana, seorang gadis yang juga terjerat dalam kebisuan keluarganya yang penuh konflik, mengubah segalanya. Bersama-sama, mereka saling menguatkan, belajar untuk mengatasi luka batin dan trauma yang mengikat mereka, serta mencari cara untuk merangkai kembali harapan dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Mereka menyadari bahwa meski keluarga mereka runtuh, mereka berdua masih bisa menciptakan kebahagiaan meski dalam sepi yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bita_Azzhr17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Terkejar Akhirnya Tak Tergapai
Langkah Alastar terdengar samar di lorong panjang sekolah setelah keluar dari toilet. Tangannya masih basah, dan ia sedang mengeringkannya dengan saputangan. Namun, langkahnya melambat ketika suara yang ia kenali terdengar dari sudut koridor.
"Lo udah tahu kan, Star?" suara itu milik Ilva, yang muncul dari sisi lain koridor dengan tangan menyilang di dada.
Alastar mengerutkan kening. "Tahu apa?"
"Alarick. Dia balikan lagi sama Frasha," jawab Ilva, sengaja mempertegas kalimat itu dengan nada setengah sinis. Ia tahu hubungan Frasha dan Alastar sudah lama rumit, dan inilah saatnya mengungkit luka itu.
Alastar menghentikan langkahnya, menatap Ilva dengan sorot mata tajam. "Terus kenapa lo bilang itu ke gue? Gue nggak peduli."
Ilva tersenyum kecil, tetapi jelas ada nada provokasi dalam suaranya. "Beneran nggak peduli?"
"Ilva, kalau lo cuma mau nyindir gue atau bikin drama, gue nggak punya waktu buat itu," balas Alastar dingin, lalu berjalan melewatinya.
Namun, Ilva tidak menyerah begitu saja. "Star, gue cuma mau kasih tahu, Frasha nggak sebaik yang lo pikir. Gue juga udah nggak deket sama dia sekarang. Temenan aja udah males,"
Alastar berhenti sejenak. "Apa masalah lo sama Frasha, Ilva? Lo udah nggak temenan, terus? Gue harus apa, ikut seneng? Gue nggak peduli."
"Karena lo butuh tahu, Star," ujar Ilva, nadanya mendadak serius. "Gue nggak mau lo terseret ke drama mereka lagi. Lo layak dapetin yang lebih baik."
Alastar menghela napas panjang, lalu melanjutkan langkahnya tanpa membalas. Ia tahu Ilva hanya mencoba memancing reaksinya, tetapi sebagian kecil dari dirinya terusik. Kata-kata Ilva tentang Frasha dan Alarick kembali bergema di pikirannya.
Kakinya membawa Alastar menuju rooftop, tempat ia tahu teman-temannya biasanya berkumpul. Namun, sebelum sampai ke sana, ia tak sengaja berpapasan dengan Frasha di lantai atas. Langkah keduanya terhenti, seperti ada tembok tak kasatmata yang memisahkan mereka.
Untuk beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Alastar dan Frasha saling menatap. Tidak ada kata yang terucap, hanya keheningan yang menggantung di antara mereka. Frasha berdiri dengan sikap tenang, meski matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dijelaskan entah penyesalan, kerinduan, atau sekadar kebingungan.
Bagi Alastar, perasaan itu muncul lagi rasa yang sudah ia coba kubur dalam-dalam sejak kemarin. Orang yang ia hindari mati-matian kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. Ia tahu bahwa semesta tidak pernah berpihak pada mereka.
Kayana yang baru saja keluar dari kelas tak sengaja melihat mereka Alastar dan Frasha, berdiri di tengah lorong tanpa satu kata pun terucap. Tapi diam itu berbicara, membawa cerita yang hanya mereka pahami.
Kayana menghentikan langkahnya, menatap dari kejauhan. Ada sesuatu yang menyesakkan di dadanya, meski ia sudah tahu jawabannya sejak lama.
"Dia masih ada di hati lo, ya, Star," bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Tangannya gemetar, meremas tali tas yang ia genggam erat. "Dan gue cuma penonton di cerita lo berdua."
Ia menarik napas dalam-dalam, menahan getaran di suaranya yang tak terucap. Tapi matanya tetap tertuju pada mereka pemandangan yang mengukuhkan kenyataan yang ingin ia lupakan.
*****
Sesampainya di rooftop, Alastar mendapati Faldo, Falleo, Barram, dan Alarick sudah duduk bersandar di pagar, menikmati sore sambil tertawa-tawa. Aroma angin sore itu membawa sedikit ketenangan, tetapi tidak cukup untuk menghapus berat di dada Alastar.
"Woi, Star! Dari mana aja lo?" seru Faldo, mengangkat kaleng soda ke udara.
"Dari toilet," jawab Alastar singkat, mengambil tempat di sudut tanpa banyak bicara.
Barram melirik curiga, sedikit menyeringai. "Dari toilet? Jangan-jangan lo sengaja ngehindar biar nggak ketemu siapa-siapa?" godanya ringan.
Alastar hanya mendengus, enggan menanggapi.
"Udah, udah. Dia cuma lagi nyari alasan buat ngegalau," celetuk Falleo sambil tertawa kecil.
Tawa mereka terhenti sejenak ketika Alastar mengalihkan pandangan ke Alarick, lalu berkata dengan nada yang sulit ditebak, "Dengar-dengar lo balikan sama Frasha. Selamat, Rick."
Alarick mengangguk santai, tapi ada keraguan di matanya melihat reaksi Alastar. "Iya, gue sama Frasha balikan. Thanks, bro."
Alastar terdiam sejenak, lalu mengulurkan tangannya ke arah Alarick, matanya tajam menatap temannya itu. "Bahagia ya, Rick. Lo berhasil dapetin dia lagi. Gue yakin lo bisa jagain dia lebih baik dari sebelumnya."
Kalimat itu terdengar seperti ucapan selamat, tapi ada pedih yang terlalu jelas untuk diabaikan. Alarick menyambut uluran tangan Alastar, sedikit tertegun dengan nada tulus yang dibalut kegetiran itu.
Faldo, yang mencoba mencairkan suasana, berseru, "Eh, bentar, bentar. Gue jadi penasaran, Star. Lo beneran udah move on, atau ini semacam ucapan selamat pake diskon rasa sakit hati?"
Tawa pecah di antara mereka, tapi Alastar hanya tersenyum kecil, lalu mengalihkan pandangannya ke horizon.
"Nggak ada yang perlu diomongin lagi. Gue cuma pengen lihat semua orang di sini bahagia, itu aja."
Falleo mengangkat kaleng sodanya, "Wah, bijak banget. Kalau gitu, cheers buat kebahagiaan semua orang!"
Faldo tiba-tiba menyeringai. "Tapi serius, Star, kalau lo masih suka sama Frasha, lo harus kasih tau Alarick. Siapa tahu dia kasih diskon buat lo."
Tawa pecah di antara mereka, kecuali Alastar yang hanya diam sambil menatap horizon jauh di depan. Faldo dan Falleo terus melemparkan lelucon-lelucon kecil, mencoba membuat Alastar bicara, tetapi hati Alastar sudah terlalu penuh dengan perasaan yang ia sendiri tidak tahu cara menanganinya.
Lelucon mereka seolah angin lalu bagi Alastar, yang hanya mampu menatap jauh ke horizon, mencari kedamaian yang tak kunjung ia temukan di dalam dirinya. Ia tahu, tidak ada gunanya menjawab, karena apa yang dirasakannya tidak akan pernah bisa dipahami dalam bentuk tawa.
****
Malam itu, suasana rumah terasa sunyi, meski ada dua bodyguard yang selalu mengawasi nya, tetapi bagi Alastar, rumah itu tetap terasa hening. Keheningan itu adalah sesuatu yang biasa bahkan menjadi bagian dari dirinya. Ia berjalan melewati ruang tengah, menuju kamarnya. Ayahnya tidak ada di sana, mungkin masih sibuk dengan pekerjaan atau sengaja menghindari percakapan dengannya.
Begitu masuk ke kamar, Alastar melempar tasnya ke sudut ruangan, lalu menjatuhkan dirinya ke sofa. Tatapannya kosong, terpaku pada langit-langit yang gelap. Pikirannya melayang-layang, kembali ke momen-momen di rooftop tadi, ke tawa Faldo, Falleo, dan Barram, hingga ucapan selamatnya untuk Alarick yang terasa seperti pisau kecil yang terus mengiris hatinya.
Ia meraih ponselnya, berniat mencari pengalihan, tetapi layar hanya memperlihatkan pesan kosong. Tidak ada chat baru, tidak ada notifikasi. Sesaat ia tergoda untuk menghubungi Kayana, tetapi pikirannya langsung berubah.
“Gue nggak bisa terus-terusan lari ke lo, Kay,” gumamnya pelan, seolah berbicara pada bayangan Kayana di pikirannya.
Alastar bangkit, berjalan menuju meja di sudut kamar. Ia membuka laci dan mengeluarkan sebuah buku catatan kecil. Halaman-halaman di dalamnya penuh coretan, sebagian besar tidak selesai. Di halaman terakhir yang kosong, ia menuliskan sesuatu:
Bahagia itu sederhana, katanya. Tapi kenapa gue nggak pernah nemu sederhana itu? Apakah gue yang terlalu ribet, atau emang dunia ini nggak pernah adil sama hati kayak gue?
Setelah menuliskan itu, ia meletakkan pena dengan kasar, merasa frustasi. Tiba-tiba, ponselnya bergetar di meja, membuatnya tersentak. Nama di layar membuat jantungnya berdebar. Itu bukan Kayana. Itu Frasha.
Alastar menatap layar itu lama, membiarkan ponselnya terus bergetar. Ia tahu ia tidak boleh mengangkatnya, tetapi jarinya tetap bergerak, menekan tombol hijau.
“Halo?” suaranya serak.
“Star?” Suara Frasha terdengar di seberang sana. Ada keraguan, ada kecanggungan, tetapi juga ada kehangatan yang dulu sangat ia kenal.
“Ada apa?” jawab Alastar dingin, mencoba menjaga jarak.
“Gue… gue cuma mau bilang terima kasih,” ucap Frasha pelan.
“Terima kasih buat apa?”
“Buat tadi… lo nggak marah sama Alarick. Buat lo… tetap baik, walaupun gue udah nyakitin lo.”
Alastar terdiam. Napasnya terasa berat, seolah ada beban yang menghimpit dadanya. Setelah beberapa saat, ia menjawab, “Nggak ada yang perlu diucapin terima kasih, Sha. Gue nggak pernah punya hak atas lo, dan gue nggak pernah mau lo minta maaf buat sesuatu yang udah jadi pilihan lo.”
Frasha terdiam di seberang sana. Suaranya pelan, hampir seperti bisikan. “Star… gue beneran minta maaf.”
"Apa yang bukan milik gue, memang nggak akan pernah bisa gue pertahankan," katanya dengan lapang, seolah melepaskan segala beban yang selama ini ada. "Gue udah sadar, kalau mungkin gue cuma salah tempat berharap."
Sebelum Frasha bisa menjawab, Alastar memutuskan panggilan. Ia menatap layar ponselnya yang gelap, lalu membuang napas panjang. Ada sesuatu yang terasa kosong di dalam dirinya, tetapi ia tahu, malam ini ia harus belajar menerima semua itu.