"Aku hamil."
Savanna yang mendengar sahabatnya hamil pun terkejut, dia menatap sahabatnya dengan tatapan tak percaya.
"Dengan Darren , maaf Savanna."
"Nadia, kalian ...." Savanna membekap mulutnya sendiri, rasanya dunianya runtuh saat itu juga. Dimana Darren merupakan kekasihnya sekaligus calon suaminya telah menghamili sahabatnya.
***
"Pergi, nikahi dia. Anggap saja kita gak pernah kenal, aku ... anggap aku gak pernah ada di hidup kalian."
Sejak saat itu, Savanna memilih pergi keluar kota. Hingga, 6 tahun kemudian Savanna kembali lagi ke kota kelahirannya dan dia bertemu dengan seorang bocah yang duduk di pinggir jalan sedang menangis sambil mengoceh.
"Daddy lupa maca cama dedek hiks ... dedek di tindal, nda betul itu hiks ..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gagal lagi, gagal lagi
Hening, sesaat tak ada suara. Jantung Reno pun semakin berdebar, menanti jawaban yang akan Savanna berikan.
"Halo, Sav? jadi gimana?" Tanya Reno yang sudah tidak sabar.
Tapi, tidak ada jawaban apapun. Sehingga Reno menjauhkan ponselnya dari telinganya, dan dia melihat layar ponselnya yang kini mati.
"Si4l4n, hp gue mati."
Yah, ternyata ponsel Reno kehabisan baterai. Entah mengapa pria itu tidak sadar sebelumnya. Mungkin, karena sangking gugupnya dia sampai tak menyadari baterai ponselnya habis.
"Ck, gagal lagi dong?!" Lirih Reno.
Sementara Savanna, wanita itu berusaha kembali menghubungi Reno. Akan tetapi, karena ponsel pria itu mati. Sehingga sambungan Savanna tidak bisa masuk.
"Reno tadi ngomong apa yah? suaranya hilang, abis itu sambungannya kati. Apa lagi ada tamu?" Gumam Savanna.
Savanna mengangkat bahunya acuh, dia meletakkan ponselnya di atas kasur dan beranjak masuk ke dalam kamar mandi.
***
Darren menarik tangannya dengan hati-hati, selama sejam lebih tangannya di gunakan sebagai bantalan untuk Gibran.
"Ssyuut ...,"
Darren menepuk paha Gibran ketika anak itu terusik, setelah tenang. Darren membenarkan selimut yang putranya itu kenakan.
Single daddy itu memutuskan untuk keluar dari kamar anak kembarnya setelah memastikan Gabriel dan Gibran tertidur nyenyak.
Tak lupa dia mematikan lampu dan menyalakan lampu tidur agar anaknya bertambah lelap.
Darren melangkah pergi ke kamarnya, kamar yang sebelumnya dia tempati bersama Nadia sampai dia memutuskan untuk memiliki rumah sendiri.
Pria itu masuk ke dalam kamarnya, dia berniat akan segera merebahkan dirinya. Badannya sudah sangat lelah, apalagi besok pagi-pagi sekali dirinya harus berangkat ke kantor.
Namun, niatnya harus terhenti lantaran melihat sebuah nama. Yaitu, nama dia dan Nadia di bingkai nama prewedding mereka.
Darren mendudukkan dirinya di tepi ranjang, dia mengambil bingkai nama itu. Itu merupakan kado yang di berikan oleh teman Nadia, wanita itu ingin memajangnya karena mereka tak memiliki foto pernikahan.
"Apa yang sebenarnya kamu mau? Kamu memaksa ku bertanggung jawab, tapi kenapa kamu berniat menggugurkan mereka saat sebentar lagi mereka lahir? kenapa tidak kamu lenyapkan saja sedari awal jika itu memang maumu? Ya, aku akui kalau aku tak pernah menganggapmu. Tapi, aku perduli pada anak kita. Aku perduli dengan mereka,"
Air mata Darren luruh, dia kembali teringat kejadian naas beberapa tahu silam yang hampir merenggut nyawa kedua anak kembarnya.
Flashback On.
Darren sedang mengemudi mobilnya ke kantor, dia akan mengadakan meeting pagi. Tapi, dia pertengahan jalan. Darren melupakan ponselnya, dia pun memutuskan kembali ke rumah.
Darren memarkirkan mobilnya, dia buru-buru masuk untuk mengambil ponselnya di kamar. Namun, saat akan melangkah naik tangga, dirinya di buat terkejut dengan erangan kesakitan dari istrinya.
"NADIA?!" Pekik Darren.
Darren berlari ke arah ruang makan, langkahnya mendadak terhenti. Jantung terasa jatuh dari tempatnya saat melihat Nadia yang kini sudah terduduk dengan air bercampur darah.
"Da-darren, to-tolong. Sakit." Ringis Nadia
Darren segera berlari menuju Nadia, tangannya bergetar saat akan mengangkat wanita itu. Namun, dirinya harus kuat. Dia pun berusaha mengangkat Nadia walau bobot wanita itu sangat berat.
Darren membawa Nadia ke rumah sakit, setelah sampai di sana. Dokter mengatakan jika Nadia harus segera melahirkan, Darren di minta untuk menyetujui rencana operasi.
"Tidak Darren, aku tidak mau. Aku ingin melahirkan normal, tolong jangan tanda tangani," ujar Nadia di sela kesakitannya.
"Nadia, tapi kondisimu ...,"
"Aky mohon, aku pernah berjanji pada diriku sendiri. Aku akan berjuang untuk mereka, aku ingin melahirkan normal." Kekeuh Nadia.
Darren memutuskan untuk menuruti kemauan Nadia, dia menenai Nadia berjuang melahirkan anak mereka. Tubuh Darren banjir keringat, saat mendengar suara erangan kesakitan Nadia.
"Huh ... Eenggg!!!"
"OEK!! OEEK!!"
Darren melemaskan bahunya saat mendengar tangisan anak pertama mereka, tanpa sasar Darren menciumi kening Nadia sambil mengucapkan kata terima kasih.
"Ayo bu, satu lagi sudah kelihatan kepalanya!" Seru Sang dokter.
Darren kembali menggenggam erat tangan Nadia, netra mereka bertemu. Nadia membuka mulutnya karena ingin berbicara sesuatu.
"Tolong sampaikan pada Savanna, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menikungnya, tolong beritahu dia. Aku tidak akan tenang sebelum dia memaafkanku," ujar Nadia dengan menahan sakit.
"Lupakan dulu tentang itu, kamu harus fokus pada anak kita saat ini." Seru Darren dengan nada bergetar.
Nadia kembali mengejan, tetapi bayi kedua sangat sulit. Tenaganya sudah habis, Nadia tak sanggup lagi. Dia pun menutup matanya, Darren yang panik segera menepuk pipi Nadia.
"Nadia! Nadia!!" Panik Darren.
"ASTAGA! DOK! PASIEN KEHILANGAN KESADARANNYA!" Seru seorang suster.
Dokter pun menjadi panik, kepala bayi sudah keluar. Akan tetapi, sang ibu sudah tidak sadarkan diri. Dokter akhirnya melakukan cara agar bayi itu keluar, dia menarik paksa sehingga bayi kedua Darren akhirnya lahir.
"Tidak menangis dok?" Tanya seorang suster.
Darren yang menangis di sisi wajah Nadia segera mendongakkan kepalanya, dia mendekati dokter yang tengah membalikkan tubuh putranya.
"Kenapa dengan bayi saya dok? kenapa dia?" Panik Darren.
"Sebaiknya bapak tunggu di luar, kami akan menanganinya."
Darren di paksa keluar, sebab dokter akan melakukan tindakan darurat. Bahkan, dokter tambahan pun datang karena situasi darurat.
Darren tak pernah melupakan. hari itu, hari dimana dunianya serasa terhenti. Berbagai penyesalan dirinya karena memperlakukan Nadia secara tidak baik terputar di memorinya.
"Maafkan aku." Lirih Darren menjambak kasar rambutnya.
Nadia di kabarkan tak selamat, dokter membeberkan apa yang terjadi pada Nadia. Sehingga Darren di buat syok mendengarnya, tak menyangka dengan apa yang Nadia lakukan.
"Gak mungkin dok! gak mungkin dia meminum obat peluruh kandungan!" Sentak Darren.
"Saya juga tidak tahu pak, tapi yang jelas pemicu istri anda kontraksi di sebabkan oleh obat yang ia minum."
Flashback Off.
Darren mengusap air matanya yang menggenang, dia kembali meletakkan figuran itu kembali ke atas nakas. Pria itu melanjutkan niatnya, dia merebahkan tubuhnya di kadur empuk miliknya.
"Bisakah waktu kembali berputar? jika bisa, aku tidak akan pergi ke pesta itu. Tidak akan ada korban, hidup kita akan bahagia." Lirih Darren.
Tak lama, Darren memejamkan matanya. Mungkin karena tubuhnya lelah, Darren lebih mudah tertidur.
Kreeett!!!
Sosok anak kecil tengah berdiri di ambang pintu sambil memegangi guling bayinya, dia berjalan masuk dan menutup pintunya dengan rapat.
"Daddy pindah, dedek duga pindah. Bial lah abang ndili, nanti duga di cucul."
Siapa lagi kalau bukan Gibran, bocah itu terbangun saat tak merasakan sosok sang daddy di sebelahnya. Dia akhirnya memutuskan untuk naik ke atas tempat tidur.
"Ihhh cucahna!!" Pekik Gibran.
Ranjang Darren lumayan tinggi untuk ukuran bocah seperti Gibran, tetapi bocah itu tak kehabisan akal. Dia menarik lengan baju Darren sambil kakinya berusaha menggapai sisi ranjang.
"Eeungghhh!!!" Geram Gibran selama dirinya berusaha naik.
Darren terusik, dia membuka matanya dan melihat wajah merah Gibran. "Gibran, kau sedang apa?" Tanya Darren dengan bingung.
"Janan tanya dulu, bantu dedek dulu. Cucah tau nda!" Seru Gibran.
Gibran kembali melepas cengkramannya, dia merentangkan tangannya pada Darren. Sang daddy kini terduduk dan membawa putranya ke tempat tidur.
"Naahhh ini balu betul!" Seru Gibran mencari posisi tidurnya.
Darren hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah ajaib putranya, tak butuh waktu lama Gibran pun tertidur di sebelah bantal Darren dengan memeluk guling bayinya.
"Gibran ... Gibran, entah sifatmu nurun dari siapa." Gumam Darren sambil menggelengkan kepalanya.
Setelahnya, ayah dan anak itu tertidur lelap bersama dengan saling memeluk. Mereka tertidur pulas hingga fajar tiba.
_____