“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Syanas merasakan tubuhnya kaku karena amarah yang meluap setelah pertengkaran hebat dengan Kahfi. Ia merasa seperti terperangkap, terjepit di antara aturan yang tak pernah bisa ia mengerti, dan manipulasi yang seakan terus menghimpitnya.
Namun, ada satu hal yang lebih membebani pikirannya saat ini. Dokumen-dokumen itu. Dokumen yang bisa mengubah arah hidupnya, yang dengan diam-diam diambil ibunya, dan kini harus ia dapatkan.
Langkahnya terhenti sejenak ketika ia melihat sosok yang sudah lama ia hindari, Daffa. Lelaki yang dulu ia percayai, yang pernah mengisi ruang hatinya, kini berdiri di sana, penuh penyesalan namun tak mampu menghapus pengkhianatannya. Hatinya terasa begitu sesak.
Daffa menatap Syanas dengan tatapan penuh penyesalan, seolah ingin mendekat, berbicara, tetapi Syanas tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa mereka bicarakan.
Syanas mengalihkan pandangannya dengan cepat, mencoba menahan amarah yang hampir tak terbendung.
Di samping mereka, ibunya, Rukmini, duduk diam dengan ekspresi yang sulit dibaca. Sedangkan lelaki paruh baya yang sekarang menjadi ayahnya, Pramatha, tak ada kata-kata, hanya tatapan kosong dan senyuman yang semakin menambah ketegangan di ruangan itu.
Syanas tahu betul apa yang ada di dalam pikiran ibunya, dan ayah tirinya, kecewa, mungkin juga merasa bersalah.
Namun, bagi Syanas, semua itu sudah terlambat. Ibunya menikah dengan ayah Daffa, dan itu lebih dari sekadar pengkhianatan. Itu adalah penghancuran seluruh dunia yang ia percayai tentang keluarga.
Tanpa basa basi Syanas melangkah menuju ibunya. “Sekarang, beri aku semua berkas itu Ma. Aku akan pergi. Aku nggak akan kembali lagi ke rumah ini,” ucapnya dengan tegas.
Rukmini terdiam sejenak, menatap Syanas dengan tatapan penuh penyesalan. Senyum kecilnya hampir tak terlihat, tersembunyi oleh air mata yang mulai menggenang di matanya.
Ia tahu betul betapa sulitnya bagi anak semata wayangnya menerima kebahagiaannya dengan lelaki yang bukan ayahnya. Tetapi Rukmini juga manusia, dengan segala keinginan dan perasaan yang kadang sulit ia kendalikan.
Rukmini terdiam sejenak, tubuhnya tampak goyah seiring perasaan yang bercampur aduk. Ia melihat ke arah Kahfi yang berdiri di belakang Syanas, seolah memberi isyarat untuk mengambil alih keadaan.
Dengan sebuah anggukan lemah, Rukmini berdiri dan berjalan ke kamarnya tanpa sepatah kata pun. Hanya tatapan kosongnya yang menambah kesunyian dalam ruangan itu.
Daffa yang sejak tadi terdiam, mencoba memecah keheningan. “Sudah lama ya kita nggak ketemu. Apa kabarmu sekarang Sya?” tanyanya mencoba membuka percakapan, meskipun suara dan tatapannya dipenuhi rasa bersalah.
Syanas hanya menatap Daffa dengan mata yang penuh amarah, tidak berniat menjawab. Ia tidak ingin lagi berbicara dengan lelaki yang dulu ia anggap sebagai kekasih, yang kini malah menjadi bagian dari rasa sakitnya.
Daffa mencoba tersenyum, meskipun jelas terlihat bahwa ia menahan perasaan yang sulit ia sembunyikan.
Ia lebih baik mendekatkan diri pada Kahfi, mengulurkan tangan untuk bersalaman. “Perkenalkan, aku Daffa, kakak tiri Syanas. Baru aja pulang dari luar kota karena pekerjaan,” ucapnya dengan senyuman yang terpaksa.
Kahfi yang baru pertama kali bertemu Daffa, hanya memberikan senyuman lembut meskipun jelas ia merasa canggung. “Senang bertemu, saya Kahfi, suaminya Syanas,” jawabnya, berusaha menjaga suasana tetap tenang meski ketegangan di udara jelas terasa.
Syanas yang mendengarkan percakapan itu, merasakan ada sesuatu yang mendalam terpendam di dalam hatinya.
Ia ingin Daffa merasakan apa yang ia rasakan. Sakit hati yang tak terungkapkan, perasaan terkhianati yang ingin dilampiaskan. Tiba-tiba, sebuah ide liar muncul di benaknya, sesuatu yang bisa membuat Daffa menyesal atas apa yang telah ia lakukan.
Syanas menatap Daffa dengan tajam, penuh kebencian, lalu perlahan menoleh ke arah Kahfi di belakangnya sembari memberikan senyum manis yang penuh kepalsuan.
“Sayang, tunggu sebentar ya? Kamu nggak apa-apa kan?” meskipun hatinya tahu bahwa ada api yang tersembunyi di balik kata-katanya.
Kahfi yang merasakan perubahan dalam diri Syanas hanya mengangguk dengan senyuman lembut. “Nggak apa-apa sayang. Lagian aku nggak ada pekerjaan juga,” jawabnya memberikan dukungan tanpa banyak pertanyaan, meskipun ia tahu ada sesuatu yang sedang terjadi.
Daffa yang menyaksikan adegan itu, terdiam. Sesuatu dalam dirinya tergetar. Melihat Syanas begitu dekat dengan Kahfi, ia merasa semakin terasing dari perempuan yang pernah ia cintai.
Ada dinding tak terlihat yang semakin tinggi, menghalangi segala yang dulu mereka miliki. Ia menahan amarahnya, mencoba menahan perasaan kecewa yang semakin menggerogoti dirinya.
Rukmini keluar dari kamarnya dengan ekspresi tegang, menyerahkan berkas-berkas itu pada Syanas dengan wajah dingin. “Kalau kamu mencoba untuk kabur lagi kayak anak kecil, mama nggak akan segan-segan memasuki kamu ke rumah sakit jiwa,” ancamnya dengan nada tajam.
Syanas tertawa sinis mendengar ancaman itu. “Mama begitu tega ya?” ucapnya dengan nada menusuk. “Setelah mama menjual aku, menguras ATM aku, sekarang mama malah mau memasuki aku ke rumah sakit jiwa?” Syanas menatap ibunya dengan mata penuh amarah, sementara Rukmini hanya menghindari tatapan itu. Ia ingin menjawab tetapi Kahfi memberikan kode agar Rukmini lebih baik diam.
“Tapi sayangnya, sekarang aku nggak bisa diatur lagi sama mama,” lanjut Syanas dengan tegas. “Mama pasti tau kan siapa suami aku sekarang? Mama nggak punya hak lagi buat ngontrol hidup aku. Dan jelas, aku nggak bakal bikin mama pusing lagi. Lebih baik mama fokus aja sama kebahagiaan mama mulai sekarang.”
Rukmini menjadi benar-benar terdiam, tak mampu membalas kata-kata tajam anaknya. Ia merasa terpojok, pilihan-pilihannya membuatnya tak bisa berkata-kata lagi.
Keheningan mengisi seluruh ruangan, Syanas memandang ibunya dengan tatapan kosong. “Selamat menempuh hidup baru Ma. Semoga mama bahagia.”
Dengan itu, Syanas melangkah pergi tanpa menoleh, meninggalkan rumah itu di belakangnya. Kahfi menatap ketiga insan beda usia di hadapannya dengan sikap sopan, meskipun ketegangan masih terasa di udara.
“Syanas memang membutuhkan banyak waktu untuk menerima semua ini. Kalian nggak perlu terlalu dipikirkan. Nanti aku akan terus menasehati dia,” ucap Kahfi dengan suara lembut, namun tegas.
Rukmini hanya bisa tersenyum lemah, matanya berkaca-kaca menatap Kahfi. Perasaan campur aduk menyelimuti hatinya, antara rasa bersalah dan harapan agar kehidupan baru mereka bisa berjalan lebih baik.
Daffa masih terdiam, tatapannya kosong. Penyesalan dan kekecewaan memenuhi pikirannya, namun ia tahu bahwa apa yang terjadi sudah tidak bisa diubah lagi.
Pramatha mendekati Kahfi, memberikan senyuman canggung sebelum berbicara. “Papa berharap Syanas bisa memaklumi hubungan kami. Kami melakukan yang terbaik dengan segala keputusan yang telah kami buat, meskipun tau itu sangat sulit diterima oleh Syanas.”
Kahfi mengangguk pelan, menunjukkan bahwa ia mendengar dan memahami kata-kata Pramatha. “Insyaallah, papa tenang aja. Aku akan coba menasehati Syanas perlahan. Semoga seiring berjalannya waktu, dia bisa berubah,” jawabnya dengan suara tenang. “Kalau begitu, aku pamit dulu. Assalamu'alaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab semuanya.
Kahfi berpaling, menyusul Syanas yang sudah berjalan lebih dulu, meninggalkan rumah itu di belakang mereka. Sedangkan Rukmini, Daffa, dan Pramatha hanya bisa menatap mereka pergi, tak ada kata-kata lagi yang bisa diucapkan, hanya diam dan perasaan yang terpendam dalam dada.
hidup ini indah le
🧕: ubur-ubur ikan lele
iya..kalo ada kamu le
othor : ubur-ubur ikan lele
kagak jelas le..