Tiga tahun menjalin hubungan pernikahan, Gempita mengetahui kalau suaminya telah berselingkuh dengan wanita yang lebih muda.
Dalam situasi seperti ini, ia menghadapi kebingungan. Satu alasan yang tidak bisa diungkap. Apakah bercerai atau mendiamkan perbuatan Melvin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renita april, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cal Tiba
Setengah jam berlalu barulah Melvin menyusul Gempita ke kamar. Istrinya ini sudah pulas, dan pakaian ganti tergeletak di atas kursi meja rias.
Melvin mengambil pakaian tersebut, ia berganti baju, lalu ke kamar mandi guna membasuh wajahnya.
Malam ini, saat ia berhadapan dengan Gempita dan berbaring di sampingnya, Melvin ingin menyentuh.
Merindukan istrinya karena sudah berhari-hari terpisah. Ini kewajiban sebagai seorang suami dengan memberi nafkah selain materi.
Namun, Melvin abai dan lebih memilih Nindi yang hamil. Sebenarnya, Melvin marah karena ia sendiri merasa belum siap memiliki anak.
Bukan soal materi, tetapi kesiapan itu sendiri. Menjadi sosok ayah yang baik, waktu, didikan, semua itu harus dilakukan.
Melvin setuju saja karena Nindi memang tidak bekerja dan fokusnya jelas pada anak. Berbeda dari Gempita yang memang tengah berkarier.
Ibunya juga sangat menginginkan cucu, apalagi ayahnya. Lagipula ini sudah terlanjur. Tidak mungkin Melvin menyuruh Nindi menggugurkan janinnya.
Masalahnya kehamilan itu menyita waktu. Melvin tidak senang direpotkan. Saat ia memarahi Nindi, ibunya malah ceramah panjang lebar.
Ia harus melakukan ini dan itu agar bayi dalam kandungan Nindi sehat, begitu juga ibunya. Belum lagi persoalan penerus. Banyak sekali yang harus didengar. Memang punya anak itu, rezeki akan terus datang melimpah? Kalau tidak dicari, rezeki tidak akan datang.
Melvin berpikir sekarang dunia diisi oleh orang-orang yang lebih mementingkan diri sendiri, bahkan di luar negeri banyak yang tidak mau terikat pernikahan atau memiliki anak. Karena tadi, semasa tua belum tentu anak-anak yang dilahirkan dan dibesarkan itu mau merawat orang tua mereka. Melvin malah berpikir sebaiknya ia mencari uang sebanyak mungkin untuk masa tua.
Gempita marah, ini salahnya. Meminta maaf pasti membuat istrinya bosan mendengar. Tapi, inilah yang bisa Melvin ucapkan.
"Maafkan aku, Sayang." Melvin melingkarkan tangannya di perut Gempi. Ia memejamkan mata hingga kantuk menjemput.
Entah ini perasaan yang terlalu nyaman karena tinggal sendiri atau rasa malas Gempi yang harus melayani Melvin.
Ia bangun di pukul 5 pagi, rela ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Ya, memang rutinitas istri. Tapi, semenjak Melvin pulang, Gempita tidak perlu melakukan ini dan itu.
Bangun pukul 7 pagi, mandi, lalu berangkat ke kantor. Untuk sarapan soal gampang. Ia kadang memakan satu butir apel, lalu air putih.
Kalau sekarang, ia harus menyiapkan beberapa menu karena Melvin memang cerewet dan Gempi tidak menanyakan menu apa yang suaminya ini inginkan untuk di makan di pagi hari.
Alternatifnya adalah membuat menu sarapan sehat yang terdiri dari sereal, telur rebus, irisan avocado yang ditaburi wijen hitam. Serta membuat nasi goreng lengkap dengan sosis bakar dan telur ceplok.
Setelah selesai menyiapkan sarapan, Gempita lanjut membangunkan suami, menyiapkan pakaian serta air mandi hangat.
"Melvin, kamu tidak ke kantor hari ini? Cepat bangun." Gempita masih kesal lantaran pertengkaran semalam, dan ia enggan bertindak mesra sama sekali.
"Aku masih mengantuk." Melvin menarik selimut sampai batas leher.
"Ya, sudah."
Karena Melvin yang enggan bangun, Gempita yang akan mandi lebih dulu. Namun, saat mendengar suara lemari dibuka, Melvin mengintip.
Istrinya akan pergi dan ia butuh yang namanya kehangatan karena tadi malam tidak diberi jatah.
Melvin beringsut bangun saat Gempi sudah melangkah masuk kamar mandi. Ketika hendak menutup pintu, Melvin sengaja menghalangi.
"Kita mandi bersama." Melvin ikut masuk, menutup pintu kamar mandi, lalu menguncinya. "Mau menolak suamimu. Aku suamimu, loh."
Gempita menggeleng karena menolak pun tidak ada alasannya. Melvin memang suaminya dan sudah tentu kewajibannya mempersilakan pria itu untuk menyentuh.
Di kamar mandi, Melvin mendapatkan haknya. Rasa haus itu pudar, tetapi belum melepaskan dahaga. Gempita setengah hati melayaninya, padahal Melvin menginginkan istrinya ini bertindak seperti malam terakhir di Italia.
"Kamu pasti senang karena sebentar lagi punya anak." Gempi berkata begitu setelah selesai menuntaskan hasrat Melvin.
"Kalau aku bahas, kamu bakal marah lagi."
"Loh, aku cuma mau tanya aja, kok."
"Kamu mau hamil? Buang pil itu.
"Memangnya kamu bisa adil? Kalau aku pengen kamu, terus Nindi mau kamu gimana? Kamu, tuh, cinta sama Nindi? Jawab aku, Melvin."
"Capek aku bahas ini."
"Ceraikan Nindi, Sayang. Kamu cinta sama aku, kan? Kalau kamu merasa enggak puas, aku bisa perbaiki diri. Aku bakal lakuin semua yang kamu mau."
"Enggak semudah itu. Kamu tahu sendiri kalau Nindi hamil."
"Kalau kamu enggak cinta, itu gampang. Apalagi kalian berdua cuma nikah siri. Ayo, Sayang. Kita bisa mulai dari awal lagi. Aku bakal anggap semua kesalahan kamu enggak pernah ada."
"Gempita ...."
Gempi mengangkat tangan, ia mengangguk. "Oke, sudah kamu jawab. Meski kamu enggak menyadarinya, aku tahu."
"Sayang, aku cinta sama kamu."
"Aku enggak peduli lagi. Kamu mau pulang, sekalian enggak pulang juga enggak masalah buat aku. Perhatikan saja Nindi yang hamil itu."
"Sayang ...." Melvin memelas.
"Uang bulananku ditambahin."
"Apa?"
"Kamu enggak mau?"
"Oke ... aku bakal tambah uang bulananmu."
Gempita keluar lebih dulu saat ia selesai mandi. Melvin kembali merasa bersalah, meski amarah istrinya tidak meluap-luap seperti semalam.
Ketika sarapan bersama pun suasana di antara keduanya tidak mesra seperti dulu.
"Aku pulang. Tas kerjaku ada di tempat Nindi."
"Ya, pulang saja."
Melvin bangkit dari duduknya, ia meraih kepala Gempi dengan lembut, lalu mendaratkan kecupan di kening.
"Aku mencintaimu, Sayang."
Omong kosong! Begitulah pikiran Gempita. Ia tidak mengantar Melvin sampai luar, tetapi tetap melanjutkan makan.
Tengah menyuap buah, dering ponsel Gempi berbunyi. Sebuah nomor tidak dikenal baru saja masuk. Gempita langsung mengangkat panggilan tersebut, lalu mendengar suara dari si pemanggil.
"Apa?" jantung Gempita tiba-tiba berdetak begitu kencang. "Kamu ada di Indonesia?" Gempita langsung mengalihkan panggilan tersebut menjadi video. Ia ingin bukan sekadar bualan semata. Panggilan itu terjawab. Pria yang sempat menghabiskan waktu bersamanya ini memang berada di Indonesia. Karena Cal menunjuk gedung serta nama toko bertuliskan bahasa Indonesia.
"Kamu tahu ini daerah mana? Coba ingat-ingat. Ada di mana aku?" Cal bermain tebak-tebakan.
"Aku tidak tahu. Kamu punya kerjaan atau apa?"
"Kamu masih bertanya? Coba lihat ini." Cal menunjukan ruangan yang menurut Gempi sangat familiar. "Kamu masih ingat?"
"Kamu di apartemen kita dulu?"
Cal terlihat tertawa dalam layar kamera. "Aku sudah bilang akan mengejarmu dan sekarang aku sudah di sini. Gempi, kamu akan menjadi milikku."
Panggilan telepon tersebut langsung diputus. Jantung Gempita berdegup kencang. Ia kira Cal tidak akan merealisasikan ucapannya itu. Tapi, lihat kenyataan sekarang. Cal telah kembali dengan tujuan mengejar seorang wanita.