Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Kumat
Seperti biasa, Hanung terbangun di sepertiga malam terakhir. Keadaan masih sangat sepi, menandakan belum ada yang bangun. Ia pun mengambil wudhu dan melaksanakan sholat malam.
Saat Hanung akan melakukan sholat yang kedua, ia seperti mendengar suara gesekan di depan pintu. Karena penasaran, Hanung mendekat kearah pintu dan suara di telinganya terdengar seperti suara gesekan benda tumpul.
Hanung melihat kearah Ning Zelfa yang masih pulas, rasa tidak tega untuk membangunkannya. Ia pun berinisiatif untuk melihatnya. Dengan pikiran bahwa pesantren itu pasti aman, Hanung perlahan membuka pintu.
"Tidak ada orang?" gumam Hanung. Tetapi suara itu semakin jelas di telinganya.
Saat ia mengedarkan pandangannya diruangan yang temaram, Hanung menemukan sesosok orang yang duduk di pojokan sofa ruang keluarga. Perlahan Hanung berjalan mendekat dan mendapati Gus Zam dengan kayu dan pisau pahat dikedua tangannya. Hanung bernafas lega. Ia pun duduk sedikit jauh dari posisi Gus Zam.
"Gus Zam tidak tidur?" tanya Hanung dengan lirih.
"Gus Zam sedang mengukir apa?" tanya Hanung lagi karena tidak ada jawaban.
Setelah menunggu beberapa menit, Hanung akhirnya menyerah. Ia pun berdiri dan berbalik.
"Hanung." panggil Gus Zam.
"Ya." Hanung kembali menatap kearah Gus Zam.
"Hanung."
"Ya. Saya Hanung."
"Tik." suara saklar lampu.
"Hanung, kamu sedang apa?" tanya Bu Nyai yang berjalan mendekat.
"Gus Zam, Umi." jawab Hanung sambil menunjuk ke arah pojokan.
"Adib?" Bu Nyai pun mempercepat langkah beliau.
Segera Bu Nyai duduk di sebelah Gus Zam. Tanpa diminta, Hanung menjelaskan bagaimana ia menemukan Gus Zam. Bu Nyai berterimakasih kepada Hanung dan menggenggam tangan Gus Zam yang dingin.
"Kamu belum tidur sama sekali, Nak?" tanya Bu Nyai.
"Hanung."
"Hanung disini, Nak. Kamu mau berbicara dengannya?"
"Hanung."
Bu Nyai merasa ada yang tidak beres dari Gus Zam. Beliau meminta Hanung untuk memanggilkan Pak Kyai. Segera Hanung menuju kamar Pak Kyai dan meminta beliau menemui Bu Nyai dan Gus Zam diruang keluarga.
"Kenapa, Mi?" tanya Pak Kyai yang tergopoh-gopoh, karena beliau baru saja selesai berdzikir.
"Adib, Bi! Adib kumat!" Segera Pak Kyai memegang kedua tangan Gus Zam dan melihat mata Gus Zam yang tidak fokus.
"Obatnya, Mi!" Bu Nyai berlari ke bufet yang ada di ruang keluarga dan membuka laci.
Bu Nyai kembali dengan botol obat ditangannya. Hanung yang melihat hal tersebut pun segera mengambil air kemasan yang ada di meja dan menyerahkannya kepada Bu Nyai.
Dengan Pak Kyai yang memegang tangan Gus Zam, Bu Nyai memasukkan dua pil kedalam mulutnya dan memberikan air. Lalu memaksa Gus Zam untuk menelannya. Melihat hal tersebut, Hanung mengeratkan tangannya di mukena yang masih ia kenakan. Beberapa saat kemudian, Gus Zam melemah dan Pak Kyai berusaha memapahnya dibantu Bu Nyai untuk membawanya ke kamar.
"Hanung." panggil Gus Zam.
Hanung yang sedari tadi hanya mengikuti di belakang, tidak berani menjawab.
"Sedari tadi hanya nama Hanung yang diucapkannya, Bi." Bu Nyai pun mengulangi apa yang Hanung ceritakan kepada Pak Kyai.
"Apa kamu sempat bertemu dengan Adib sebelum tidur tadi, Nak?" tanya Pak Kyai.
"Tidak ada, Abi. Setelah masuk kamar bersama Ning Zelfa, Hanung tidak ada keluar lagi." kedua paruh baya itu pun bingung dengan penyebab kecemasan Gus Zam.
"Siti!" seru Bu Nyai kemudian.
"Kenapa Siti?" tanya Pak Kyai.
"Siti ada menggoda Adib dengan mengatakan Hanung tidak mau dengan suami pemalu." Pak Kyai mengucapkan istigfar berkali-kali, begitu juga dengan Hanung yang terkejut ada pembicaraan seperti itu.
Umi Siti memang orangnya suka bercanda. Tetapi untuk kali ini, sepertinya candaan Umi Siti mendatangkan bencana bagi Gus Zam yang notabene tidak bisa distimulasi seperti itu.
"Hanung." panggil Gus Zam lemah.
"Hanung, mendekat sini Nak!" Pak Kyai melambaikan tangan.
Dengan ragu Hanung mendekat dan duduk bertumpu lututnya. Pak Kyai menarik tangan Hanung dan mengarahkannya ke tangan Gus Zam. Seketika Hanung tersentak kala genggaman Gus Zam mengerat.
"Maaf Hanung. Kamu harus melihat sisi lemah Adib. Abi minta tolong, tetap genggam seperti ini sampai Adib tidur." Hanung mengangguk.
"Kamu pasti terkejut. Adib hidup layaknya kita. Tetapi ia memiliki gangguan mental pasca kejadian yang menimpanya. Ia tidak bisa berkomunikasi dengan baik, tidak bisa mendapatkan stimulasi berlebihan, ditempat ramai, ruangan gelap dan suara petir. Sulitnya pengobatan disebabkan kami tidak tahu penyebab pasti traumanya, karena Adib tidak mau bicara mengenai apa yang dialaminya. Psikiater pun hanya bisa memberikan terapi umum dan obat antidepresan, untuk kesembuhan hanya bergantung padanya." jelas Pak Kyai.
"Nanti jika kamu melihat Adib bergetar dan matanya tidak fokus, segera berikan obat antidepresan atau saat ia menggenggam erat tangannya." imbuh Pak Kyai.
"Sudah mau waktu subuh, Bi." kata Bu Nyai.
"Kami titip Adib dulu, Nung. Kami ada jadwal rutin setelah subuh. Nanti Abi minta Zelfa untuk menggantikan kamu."
"Iya, Abi." kata Hanung yang dibantu Bu Nyai berdiri dan duduk di kursi.
Hanung mencoba memposisikan duduknya agar nyaman karena tangan kanannya masih belum lepas dari genggaman Gus Zam. Pak Kyai dan Bu Nyai melihat sedih keadaan keduanya saat ini. Mereka berharap, kelak Hanung dan Adib bisa melalui pernikahan mereka layaknya pasangan normal.
Beberapa menit setelah kepergian Pak Kyai dan Bu Nyai, adzan subuh berkumandang. Gus Zam yang tadinya menutup mata, tiba-tiba terbangun dan segera duduk. Gerakan tersebut mengejutkan Hanung yang mengira Gus Zam sedang tidur.
"Gus Zam mau sholat?" tanya Hanung hati-hati.
Gus Zam mengangguk dan perlahan turun dari tempat tidurnya. Karena tangan Hanung masih digenggam Gus Zam, Hanung pun mengikutinya sampai didepan kamar mandi.
"Gus, tangan Hanung." cicit Hanung.
Sadar dengan suara Hanung, Gus Zam melihat kearah tangannya dan melepaskannya perlahan.
"Maaf, Hanung. Sakit tidak?" Hanung hanya menggelengkan kepalanya.
p? Saat Hanung ingin keluar dari kamar, Gus Zam menghentikannya dengan menarik mukena Hanung.
"Hanung, mau sholat disini?" tanya Gus Zam dengan suara lirih.
Tanpa berpikir macam-macam, Hanung setuju. Tetapi ia izin mengambil wudhu di kamar Ning Zelfa dan mengambil bawahan mukenanya. Gus Zam mengangguk setuju.
Beberapa menit kemudian, Hanung kembali ke kamar Gus Zam yang tetap terbuka dengan mukena lengkap dan sajadah. Hanung menggelar sajadahnya di belakang Gus Zam yang sudah siap. Segera Gus Zam memulai sholat berjamaah nya.
"Gus Zam.. Saya pamit dulu, Gus Zam istirahat lagi. Saya mau bantu-bantu Umi Siti di dapur." izin Hanung setelah selesai sholat.
"Tidak bisakah kamu tetap disini?" tanya Gus Zam lirih.
"Maaf, Gus. Kita masih belum.."
"Aku tahu."
Hanung merasa sedang berbicara dengan orang yang normal. Hanya perasaannya atau memang Gus Zam bisa?