"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ravien Invansia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
°Plorog°
Pagi itu terasa berat. Kabut masih menggantung, menolak pergi meski sinar matahari sudah mulai menyeruak. Jalanan basah, hujan semalam meninggalkan jejak yang tak enak dipandang. Udara dingin, menyelinap ke dalam tulang, seakan memaksa semua orang untuk terjaga dengan paksa.
Langkah-langkah kaki terdengar di trotoar. Orang-orang berjalan, mata kosong. Mereka berbicara di telepon, tapi bukan karena ada hal penting yang harus dikatakan, melainkan karena itulah yang harus dilakukan.
"Ya, Pak. Saya akan urus sekarang," ucap seorang pria. Suaranya keras, tapi tanpa jiwa.
Di sisi lain jalan, beberapa orang berlari. Musik di telinga mereka tak mampu menenggelamkan kebosanan yang mereka rasakan. Di sudut, seorang pengamen memetik gitarnya, nadanya tenggelam dalam kesunyian pagi. Kucing hitam berjalan, matanya tajam mengejar kupu-kupu biru yang terbang rendah.
Namun, di balik itu semua, ada sesuatu yang lebih gelap. Di sebuah gang sempit, tiga remaja berdiri. Gang itu sepi, basah, dan baunya busuk. Rei dan Ivan berdiri di sana, mengelilingi Ryan yang terjatuh. Seragam Ryan kotor, tubuhnya gemetar.
Rei menendang Ryan dengan keras.
"Dasar pecundang," kata Rei dengan suara dingin.
Ryan mengerang, mencoba menahan rasa sakit yang menusuk. Wajahnya memar, darah mengalir dari sudut bibirnya.
"Kau pikir bisa kabur dari kami?" Rei mendekatkan wajahnya ke Ryan. "Kau sendirian di sini."
Ryan menunduk, tak sanggup menatap mata Rei. Ketakutan mencengkeramnya. Tubuhnya terasa berat. Setiap kata yang ingin ia ucapkan terjebak di tenggorokan.
Ivan, yang berdiri di samping Rei, tertawa kecil.
"Lihat dia, Rei. Benar-benar menyedihkan."
Rei menyeringai, lalu menendang tas Ryan. Buku-buku berserakan di tanah. Ryan hanya bisa melihat tanpa bisa berbuat apa-apa. Rasa putus asa menyelimutinya, membuat napasnya terasa sesak.
Ivan menepuk bahu Rei. "Ayo, tinggalkan dia. Tidak ada gunanya."
Rei berdiri tegak. "Kau benar." la meludah ke tanah, lalu berbalik meninggalkan Ryan.
Ryan tetap terbaring di tanah, matanya kosong. Tangan gemetar mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan. Setiap gerakan terasa berat, seolah dunia telah runtuh di atasnya. Air mata mulai mengalir, tapi ia tak peduli lagi.
Dengan susah payah, Ryan berdiri. Pakaian dan tubuhnya kotor, penuh luka. la melangkah keluar dari gang, mencoba menghilang di keramaian yang tak peduli. Namun tiba-tiba, kepanikan melandanya.
"HP-ku..." suaranya hampir tak terdengar.
Ryan berlari kembali ke dalam gang dengan napas tersengal. Jantungnya berdetak cepat, bukan hanya karena rasa takut kehilangan ponselnya, tetapi karena bayang-bayang ketidakberdayaan yang semakin menghantuinya. Setiap langkah terasa seperti beban yang menggelayuti tubuhnya, seolah kaki-kakinya diseret ke dalam lumpur yang tak terlihat.
Setibanya di sudut gang, matanya cepat menyapu tanah kotor. Buku-bukunya berserakan, kertas-kertas robek terinjak-injak, tapi tak ada tanda-tanda ponsel. Rasa cemas semakin mencengkramnya.
"Di mana..." Ryan bergumam panik. Tangannya menyibak debu dan sampah yang teronggok di sana. "Aku tidak mungkin kehilangan ini. Ini satu-satunya..."
Matanya terpaku pada benda kecil yang memantulkan sedikit cahaya dari bawah kaleng bekas yang tergeletak di sudut. Harapan kecil muncul. Dia segera meraih ponselnya. Tapi ketika diangkat, layar retak besar menggores permukaan, menampilkan bayangan wajahnya yang kusut.
"Ya Tuhan," keluhnya pelan, suaranya hampir tidak terdengar.
Tak ada yang bisa dia lakukan selain meremas ponselnya erat-erat. Mungkin masih berfungsi, mungkin juga sudah rusak total. Tapi, di saat itu, masalah yang lebih besar adalah rasa putus asa yang kembali menyelimuti hatinya.
Dia berdiri di sana, terdiam sejenak. Gang sempit itu semakin mencekam, seolah-olah tembok-temboknya mendekat, memerangkapnya di dalam kegelapan yang abadi. Nafasnya berat, dadanya terasa sesak.
"Kau pikir ini akan berakhir?" Ryan bergumam, setengah kepada dirinya sendiri, setengah kepada keheningan gang.
Langkah-langkah berat terdengar mendekat dari ujung gang. Ryan menoleh cepat, jantungnya seakan berhenti sesaat. Tapi, bukan Rei atau Ivan yang muncul. Seorang pria tua dengan mata sayu dan wajah penuh kerut muncul dari balik bayangan, membawa kereta dorong yang penuh dengan barang-barang rongsokan.
Ryan mundur selangkah, mencoba menenangkan napasnya.
Pria tua itu berhenti sejenak, memandang Ryan dengan mata yang seolah menelanjangi jiwanya. Dia tidak berbicara, hanya tersenyum tipis, sebuah senyum yang lebih menyerupai cengiran tanpa niat baik. Ada sesuatu yang aneh dalam tatapannya, sesuatu yang membuat bulu kuduk Ryan meremang.
(intinya \= Orang mesum)
Ryan menggenggam erat ponselnya dan dengan cepat berbalik keluar dari gang. Ia tidak tahu siapa pria itu, tapi nalurinya mengatakan untuk tidak tinggal lebih lama. Dia melangkah keluar ke jalan raya, berusaha menghindar dari siapa pun yang mungkin melihat keadaan dirinya.
Saat ia kembali menyatu dengan keramaian kota, langkahnya melambat. Tubuhnya masih terasa sakit, tapi pikirannya berkecamuk lebih keras. Setiap langkah, setiap tatapan orang yang tak sengaja melihatnya, seakan-akan menghantam perasaannya yang sudah hancur. Di dalam kepalanya, pertanyaan yang sama terus berputar.
"Kenapa harus aku? Kenapa aku selalu jadi sasaran?"
Tapi jawaban yang ia harapkan tak pernah muncul. Dunia terus berjalan, dan tak ada yang peduli dengan luka yang ia bawa. Ryan tahu, ini bukan akhir. Rei dan Ivan akan kembali. Mereka selalu kembali.
Tanpa sadar, langkah kakinya membawa Ryan ke sebuah taman kecil. Tempat yang biasanya ramai kini terasa kosong, sepi. Dia duduk di bangku tua, menghela napas panjang.
Sambil menatap ponselnya yang rusak, Ryan merasa dunia ini terlalu keras untuknya. Bukan hanya fisiknya yang luka, tapi juga hatinya. Tidak ada yang tersisa, hanya rasa sakit dan kekosongan yang menghantuinya setiap hari.
"Tidak ada yang bisa kulakukan..." gumamnya lagi. Tapi di dalam pikirannya, benih kemarahan perlahan tumbuh, bercampur dengan keputusasaan yang semakin mencekiknya.
Dia tahu, sesuatu harus berubah. Jika tidak, dia akan terus terjebak dalam siklus ini akan dihancurkan berulang kali tanpa pernah ada jalan keluar.
Saat matahari mulai tenggelam, Ryan masih duduk di sana, memikirkan segalanya. Tapi di balik pikirannya yang kacau, sebuah ide muncul. Sebuah pemikiran yang gelap, sesuatu yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Jika tak ada yang bisa menolongku... Mungkin aku harus melawan sendiri."
Karena MC ada di semua bab, pakai POV bisa lebih mudah. Tapi nggak juga gpp.
Yang saya kurang suka kalau cerita multiplot tapi pakai POV 1 yang berganti-ganti.
Bahasa cerita menurut saya udah bagus, baik itu narasi ataupun dialog.
btw, banyak orang di kehidupan nyata terwakilkan Ryan. Biasanya itu pengalaman penulis lalu di dunia fiksi dia ganti dg tema fantasi misal dapat sistem atau masuk ke dunia game.