Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 33 ~
Dewi Arimbi.
Tak peduli meski di terjang hujan, aku terus melajukan mobilku tanpa arah.
Aku tak tahu kemana akan singgah untuk menenangkan pikiranku yang carut marut.
Pulang ke rumah ibu tidak mungkin, pasti nanti beliau akan cemas melihatku seperti ini. Ke rumah mertua atau ayah Danu dan bunda Nina, yang sudah ku anggap seperti orang tuaku sendiri rasa-rasanya pun tak mungkin.
Ke ponpes Abi? Terlebih lagi ke sana, yang ada aku di suruh pulang oleh umi karena apapun alasannya seorang istri tak di benarkan meninggalkan suaminya tanpa mengabari. Aku pasti akan mendapat kultum dari umi tentang permasalahan dalam rumah tangga yang harus di selesaikan dengan kepala dingin.
Ke rumah Riska?
Tidak! Mertuanya tak menyukainya, nanti kalau aku kesana, takut aku di anggap merepotkan. Lagi pula, Riska pasti ada di rumah sakit menemani mertua laki-lakinya.
Benar-benar logika dan tubuhku tak bisa ku kendalikan.
Aku menepikan mobilku, menangis sejadi-jadinya dengan mendaratkan tangan di atas roda kemudi, kemudian menempelkan kening di lenganku.
Bertahan sejenak, isakanku kian menjadi ketika sekelebat ucapan Gesya terlintas di ingatanku.
Melepas rindu, apalagi??
Sungguh kalimat itu membuatku tak bisa berfikir dengan jernih.
Hampir setengah jam lamanya, dan meski air mata masih mengalir deras, tapi aku sudah bisa mengendalikan emosi serta tangisanku, aku kembali melajukan mobilku dengan kecepatan sedang.
Dengan berkeliling kota Surabaya dan setelah sebelumnya ku matikan ponselku, aku berharap akan mendapatkan ketenangan hati dan pikiranku kembali.
Aku ingin quality time agar ingatanku tak terus berpusat pada mas Bima dan juga Lala.
Berulang kali pula aku menarik napas panjang dan membuangnya dengan hembusan berat. Andai saja bisa, aku akan pergi sejauh mungkin dan tak akan pernah kembali.
Tapi bagaimana dengan Lala? Besarnya rasa sayangku padanya membuatku selalu menempatkan gadis kecil itu di urutan pertama, menjadi prioritas utama dalam hidupku.
Meski bukan ibu yang mengandung dan melahirkannya, tapi anak itu sudah ku besarkan dengan tanganku sejak usianya dua tahun. Ku didik dan ku sayangi dengan kasih sayang layaknya ibu kandung.
Lantas jika aku pergi, bagaimana kalau dia mencariku dan benar-benar tak bisa tanpaku?
Seperti yang selama ini dia menangis ketika aku tak kunjung pulang.
Bibirku bergetar menahan tangis. Menyadari ada air mata yang kembali meluncur, dengan cepat aku menghapusnya dari pipiku.
Sementara jarum jam terus berputar tanpa ada yang bisa menghentikannya, tahu-tahu sudah memasuki adzan maghrib. Aku mencari masjid untuk menunaikan kewajibanku sebagai umat muslim.
Aku juga ingin mengadu pada-Nya tentang semua yang ku alami.
Usai sholat, aku sengaja bertahan duduk di serambi masjid sambil menunggu Adzan isya.
Saat termenung, aku menimbang-nimbang apakah harus membuka ponselku atau tidak, tapi egoku masih ku biarkan memenangkan pertarungan ini.
Aku masih tak peduli dengan Lala. Tanpaku, aku yakin dia akan baik-baik saja. Dia bersama ayahnya yang begitu menyayanginya, ada banyak orang yang juga mencintainya. Akhirnya aku memutuskan untuk memasukkan kembali ponselku ke dalam tas.
Hujan sedikit reda ketika memasuki waktu Isya.
Aku kembali melanjutkan perjalanan usai beribadah, perjalanan yang aku sendiri tak tahu tujuannya.
Sampai di stasiun kereta api Gubeng, aku memarkirkan mobilku di area tempat parkir. Aku masuk ke ruang tunggu yang khusus untuk menunggu waktu keberangkatan kereta.
"Mau kemana bu?" Tanya seorang satpam.
"Saya hanya menunggu seseorang, dan satpam di luar tadi mengatakan kalau saya bisa menunggunya di sini"
"Ngomong-ngomong dari mana kereta yang di tunggu?"
"Dari Jogja, pak"
"Oh, masih satu jam lagi bu, silahkan menunggu"
"Terimakasih" Aku menunduk ramah, kemudian duduk.
Sebelum ku jawab pertanyaan dari satpam tadi, aku sempat melirik jadwal kereta kedatangan dari Jogja yang akan tiba pada pukul 21:50.
Setidaknya aku memiliki waktu sekitar satu jam untuk berfikir sambil mempersiapkan kalimat untuk adu debat dengan mas Bima.
Karena aku sangat yakin, mas Bima pasti akan menginterogasiku dengan tatapan tajam lengkap dengan ucapan-ucapan sarkasnya.
Mendekati jam kedatangan kereta dari Jogja, satpam tadi kembali menghampiri.
"Bu, kereta dari Jogja akan tiba sekitar tiga menit lagi, ibu bisa menjemputnya di pintu keluar. Ibu bisa keluar dari sini dan menuju ke sana"
"Oh, iya Makasih pak"
"Sama-sama, bu" sahutnya tersenyum.
Sebenarnya bukan maksud dia mengusirku dari ruang tunggu ini, dia hanya mengingatkanku sebab sebelumnya aku mengatakan kalau aku sedang menunggu kereta dari Jogja.
Saat aku keluar dari ruang tunggu, ternyata di luar hujan turun sangat deras.
Mengabaikannya, aku berlari menerjang hujan menuju tempat parkir yang letaknya lumayan jauh dari tempatku duduk tadi.
Sampai ketika di samping mobil, bajuku sudah basah kuyub, namun tak ku rasakan dingin menyelimutiku sebab entah kenapa, tiba-tiba aku merindukan putri kecilku.
Aku rindu Lala yang memilin dan memainkan helaian rambut panjangku ketika aku menidurkannya.
Ah, peri kecil bunda... Bunda merindukanmu, nak.
****
Duduk di dalam mobil, tiba-tiba sisi baik dan jahatku berperang.
Pulanglah, Bi! Lala menunggumu di rumah.
Jangan pulang, Bi! Biarkan Bima menelan egonya, beri pelajaran untuk pria yang tak pernah melihatmu.
Pulang saja dan jangan turuti egomu, ini salah. Bicarakan baik-baik permasalahanmu, jika harus berpisah, pisahlah secara baik-baik.
Tidak Arimbi! Pria seperti Bima tidak pantas di baikin, dia harus membayar lunas penderitaan batinmu selama dua tahun.
Jangan lakukan Bi! Itu akan membuatmu menyesal di kemudian hari.
Aarrrggghhh....!!!
Reflek aku berteriak dengan nafas memburu. Hawa dingin yang tadi ku rasakan, berganti menjadi panas yang seakan langsung membuat bajuku seketika kering.
Aku harus pulang, demi Lala, bukan demi mas Bima.
Menghela napas, aku mencari benda tipis di dalam tasku, ku nyalakan ponsel yang sempat ku matikan. Aku ingin mengecek apakah mas Bima menghubungiku atau tidak.
Jika tidak, sudah jelas dia benar-benar tak menghiraukanku.
Butuh waktu hampir satu menit agar ponsel menyala sempurna.
Saat sudah menyala, ada banyak panggilan tak terjawab dari mas Bima dan juga papi.
Beberapa pesan beruntun juga di kirim dari ponsel ayahnya Lala.
Mas Bima : "Aku sudah di sekolah Lala sejak tadi, ada di mana kamu, kenapa belum jemput Lala? " (16:40 Wib)
Mas Bima : "Lala menanyakanmu, dia bahkan tidak mau makan karena menunggumu" (19:25 Wib).
Mas Bima : "Segeralah pulang jika sudah membaca pesanku, Lala terus menangis mengkhawatirkanmu" (21:22 Wib).
Mas Bima : "Katakan dimana kamu, biar ku jemput" (21:35 Wib).
Membaca pesan mas Bima, tekadku sudah bulat untuk pulang.
Ku pikir aku bisa memenangkan egoku, tapi setelah tahu kalau Lala mengkhawatirkanku, lagi-lagi aku membiarkan egoku kalah telak dengan sempurna.
Aku harus pulang, Lala menungguku, dia membutuhkanku. Ingat Lala nggak salah, yang salah itu ayahnya, kamu cukup tidak peduli dengan mas Bima.
Abaikan saja dia.
Ku tancapkan gas menuju rumah mas Bima, saat sampai di depan gerbang, aku langsung turun karena ku kira mas Jim sudah pulang.
Aku kembali menerjang hujan untuk membuka gerbangnya.
Namun dari dalam ada seseorang yang membukanya untukku.
Mas Jim...!
"Bu Arimbi" Sapanya dengan nada tinggi dan sedikit terkejut. Mungkin karena kondisiku basah kuyup.
"Loh, mas Jim?" teriakku yang berpadu dengan suara hujan.
"Saya di pesan pak Bima untuk berjaga malam ini, bu. Pak Bima dan Lala ada di rumah pak Rio"
"Makasih mas Jim" Aku mengurungkan niat memasukan mobil ke halaman rumah, sebab aku mau putar balik untuk menuju ke rumah mertuaku menyusul Lala.
Kembali menginjak pedal gas, ku jalankan mobilku membelah jalanan, hingga sampai di depan rumah mertuaku, seorang satpam membuka gerbang untuku.
Begitu turun, aku langsung berlari dan mengetuk pintu yang menjulang dengan gaya khas eropa.
"Assalamu'alaikum" Sapaku saat pintu terbuka, lalu mengecup punggung tangan papi mertuaku.
"Wa'alaikumsalam, Arimbi!"
Bersamaan dengan suara papi, sepasang netraku mendapati mas Bima berjalan menghampiriku yang masih berdiri di ambang pintu.
Ada amarah tersorot dari kilat matanya, namun juga ada kecemasan serta ketakutan yang tergambar jelas di raut wajahnya yang tegas.
Begitu mas Bima tepat berdiri di hadapanku, dengan cepat pria itu meraih pergelangan tanganku, kemudian menarik dan membawaku berjalan melewati ruang keluarga.
"Kendalikan emosimu, Bim!" Perintah papi yang melangkah mengekor di belakang kami.
"Ini urusan rumah tanggaku pi, lebih baik papi nggak usah ikut campur" Kata mas Bima yang masih mencengkram pergelangan tanganku, membawaku naik ke lantai atas.
Saat langkah kami sampai di dalam kamar, kamar milik mas Bima saat dia masih lajang, kamar yang selalu di sediakan mami ketika kami menginap di sini, mas Bima menyentakkan tanganku dengan agak sedikit melempar, kemudian berbalik menutup dan mengunci pintu kamar.
Tanpa mengatakan apapun, dia berjalan melewatiku menuju ke arah kamar mandi dan membanting pintunya dengan kasar.
Sementara aku terdiam dengan mata berkaca-kaca, menatap punggung mas Bima yang hilang di balik pintu kamar mandi.
Tak berapa lama, terdengar suara kran air di nyalakan.
Aku menunduk, mengusap titik bening yang menetes dari kelopak mata, lalu mengelus pergelangan tanganku yang tadi di cengkram dengan sangat kuat. Sampai-sampai cengkramanan itu meninggalkan jejak merah di sana.
Bersambung.
Note :
Maaf yang menginginkan Arimbi agar jangan pulang dulu, saya nggak kabulin. Karena ada banyak alasan.
Karakter Arimbi yang pendiam namun pintar menghanyutkan, baik, bijak dan dewasa. Jadi nggak mungkin Arimbi menuruti egonya.
Dia yang jebolan pesantren, tahu batasan-batasan seorang istri. Jangankan kabur tanpa kabar selama dua atau tiga hari, meninggalkan suami beberapa jam saja tidak di benarkan dalam agama. Iya kan?? Apapun masalahnya, salah jika kita pergi dari rumah.
Arimbi yang seorang ASN, rasanya nggak etis kalau harus main minggat-minggatan.. 😁😁😁 Suaminya yang juga seorang TNI, jelas membuat Arimbi berfikir seribu kali, karena dia pasti nggak ingin nama baiknya serta nama baik sang suami sebagai seorang prajurit Bintara tercoreng.
Sudah ada banyak novel yang protagonis wanitanya main minggat, terus protagonis pria kelimpungan mencarinya lalu ngemis-ngemis supaya kembali.
Tidak dengan mas Bima yang memiliki karakter dingin serta ego dan gengsinya berada di puncak Rinjani. Seakan nggak sudi, Bima mengemis cinta dan terlihat lemah di depan Arimbi. Nggak sudi!!!!
Tapi dengan kejadian ini, Bima sudah cukup menyesal dan merasa bersalah, kok. Hanya beberapa jam saja sudah membuatnya menderita. Apalagi pas Lala mengatakan nggak mau lihat ayah. Asal kalian tahu, rasanya Bima mau mati. Hiikksss...
Dan dari situlah Bima berusaha menutupi rasa bersalah dengan diam-diam merubah sikapnya pada Arimbi secara perlahan.
Karena jelas mas Bima gengsi kalau harus meminta maaf secara terang-terangan pada istri polosnya.
Lalu bagaimana argumen Arimbi untuk mendebat sang suami??
Tunggu next part...
Yang belum favorit, di fav dulu biar nggak ketinggalan berita.
Yang udah fav tapi bosan, jangan pake lama langsung klik unfav..
😘😘😘😘😘
Semangat berkarya