Rosa kembali ke Bandung setelah enam tahun menghindari Papa dan Rama, Kakaknya. Selain kembali beradaptasi dengan sekolah baru dan menguatkan hatinya untuk bertemu Rama, Rosa yang kaku juga dikejutkan dengan kedatangan Angkasa. Kakak kelasnya yang adalah anggota geng motor.
Perasaannya dibuat campur aduk. Cinta pertamanya, kebenciannya pada Rama dan Papa, juga rasa kehilangan yang harus kembali dia rasakan.
Bagaimana Rosa yang sulit berekspresi menghadapi semuanya?
Apakah Rosa bisa melaluinya? Apakah Rosa bisa mengembalikan perasaan damainya?
Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noey Ismii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Liburaaan!
Nenek memeluk erat Rosa yang baru datang. Matanya menelusuri wajah cucunya yang sudah empat bulan ini tidak dilihatnya. Pandangannya menangkap ekspresi baru dalam wajah Rosa. Senyumnya sekarang adalah senyum yang tak bisa ditemukan nenek selama enam tahun ini.
Nenek mengelus pelan kepala sang cucu. Dengan penuh sayang, nenek tersenyum,
“Akhirnya cucu kesayangan nenek kembali,” katanya dengan haru. Bukan hanya Rosa yang kembali, tapi senyumnya juga.
Gadis di pelukan nenek mengangguk, “Aku kangen nenek.”
“Nenek sudah lega sekarang, Rosa,” kata Nenek kemudian.
Rosa melepaskan pelukannya. “Aku pindah lagi, ya Nek?” tanyanya. Matanya berkaca-kaca. Tapi senyum masih terukir di wajahnya.
Gelengan kepala nenek pelan, tapi Rosa bisa melihatnya. “Kamu sudah kembali, itu yang paling penting,” kata Nenek lagi.
“Nenek udah sehat beneran, kan?” tanya Rosa. Dia meneliti wajah nenek dan menggenggam tangannya. Melihat sekali lagi kepala nenek yang sudah penuh dengan rambut putih. Keriput-keriput di wajahnya. Matanya yang menatapnya dengan lembut. Tangan nenek yang hangat menggenggamnya. Aroma nenek yang membuatnya bisa tidur lagi jika mimpi buruk.
Dan suara nenek yang selalu menenangkannya.
Rosa akan berpuas-puas menempel di nenek selama liburan ini. Dia tidak akan menjauh dari nenek sedetik pun.
Lalu cowok itu membuyarkan kesenangannya yang masih berpeluk-peluk dengan Nenek.
“Nenek, cucu ganteng nenek juga datang,” Rama menerobos setelah menurunkan semua bawaan mereka. Dia merebut tangan nenek yang ada di genggaman Rosa. “Nenek sehat?” tanyanya sambil mencium tangan nenek dengan hormat.
Rosa merengut.
Tawa nenek terdengar, “Sehat, Sayang, Rama sehat?”
Rama tersenyum dan mengangguk, “Maaf aku baru datang,” katanya dengan cengirannya. Tangannya membenarkan letak kacamatanya yang melorot.
Tangan nenek mengelus pipi Rama, kemudian ke kepalanya, “Gak apa-apa. Anak-anak sekarang kan sibuk belajar. Kamu tahun ini sudah ujian kan?”
Rama menggeleng, “Belum, aku baru kelas dua. Tahun depannya lagi, Nek,” jawabnya masih menerima tangan nenek yang mengusap kepalanya.
“Oh iya,” nenek terkekeh, “Papa kalian sehat juga?”
“Sehat, Nek, nanti jemput kita pas pulang ke Bandung.” Rama masih menggenggam tangan Nenek. “Maafin aku ya, Nek,” katanya tiba-tiba.
Rosa melihat perubahan tatapan Rama. Dia mengenal Rama yang jahil, yang sering menggodanya, yang tersenyum cerah, yang selalu khawatir padanya. Tapi tatapan ini, Rosa baru melihatnya. Tatapan penuh luka.
Nenek tersenyum, membawa Rama ke pelukannya, “Enggak, Rama, gak ada yang perlu dimaafkan. Rosa udah kembali. Kalian udah bersama lagi. Jaga Rosa, jaga Papa. Kalian keluarga. Inget itu,” kata Nenek.
Rama menggangguk. Dia merasakan kehangatan nenek. Usapan tangan nenek di kepalanya.
Perasaan Nenek yang sampai kepadanya. Rama tidak pernah merasa sedamai ini sebelumnya. Hatinya selalu penuh dengan kecemasan. Tapi begitu nenek memeluknya, dia luruh.
Air matanya jatuh begitu saja. Sesak di dadanya terasa terbebas. Dia bisa bernapas di pelukan nenek. Aroma nenek juga memberinya ketenangan. Jadi dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja.
Mata Rosa melihat ketulusan Nenek dan kepasrahan Rama. Dia mendengar isakan kecil Rama. Nenek tersenyum, melirik Rosa yang memandang kepadanya dengan alis yang bertaut.
Rama melepaskan diri. Membersihkan hidungnya yang berair. Dia melepaskan kacamata, mengusap kedua mata dengan punggung tangannya, lalu memakai kembali kacamata. Dia tersenyum. “Makasih, Nek,” katanya. Suaranya sedikit serak.
Kepala nenek mengangguk, “Udah makan?” tanyanya.
“Udah di jalan tadi, Nek, kita tau bakal kemaleman nyampenya,” jawab Rama.
Rosa masih menatap Rama. Beragam perasaan berkecamuk di kepalanya. Dia masih marah pada Rama, tapi melihat Rama menangis membuatnya sedih. Dia membenci Rama, tapi di sudut hatinya yang lain dia juga bisa mengerti Rama juga sama sepertinya. Dia tidak mau mengakui Rama, tapi setiap hari bertemu dan dimanjakan Rama membuatnya jadi membutuhkannya juga.
Menarik napas panjang. Rosa berdiri. “Aku beres-beres dulu, Nek. Rama,” melirik Rama yang masih berlutut di hadapan Nenek. Berdeham karena salah memanggilnya, “Kak Rama pake kamar depan aja, ya?”
“Aku dimana aja bisa,” katanya. Matanya menatap Rosa yang juga menatapnya.
Pandangan mereka bertemu. Rosa segera berlalu. Rama bisa mendengar Rosa menarik kopernya.
“Rama.”
Suara Nenek mengembalikan Rama pada wanita tua di hadapannya. Tersenyum, Rama mengangguk, “Iya, Nek?”
“Terima kasih.”
Rama menggeleng.
“Rosa sudah kembali? Nenek liat senyumnya,” kata Nenek. Dia teringat dengan senyum paksa yang selalu diberikan Rosa sebelum kedatangannya hari ini.
Kembali Rama menggeleng. “Belum, Nek. Liat sendiri gimana dia liat aku tadi,” Rama nyengir.
“Aku belum berhasil,” akunya.
Nenek mengangguk. “Gak apa-apa. Pelan-pelan aja. Kalian punya banyak waktu.”
Rama ikut mengangguk.
“Kamu baik-baik aja?” tanya Nenek.
Pertanyaan Nenek tepat sasaran. Rama bergeming. Dia sendiri tidak tahu apakah dia baik-baik saja atau tidak. Dia sendiri selalu meyakinkan diri bahwa dia tidak apa-apa. Dia baik-baik saja.
Akhirnya Rama mengangguk.
“Selama Rosa baik-baik aja. Aku juga akan baik-baik aja,” katanya dengan senyuman lebarnya.
Tapi tatapan Nenek kali ini tidak dengan senyum. Nenek tahu, Rama juga masih belum menemukan dirinya.
-o0o-
[Kak Asa : Pagi, Sa, hari ini ada jadwal pergi? Rama pernah bilang mau naik gunung. Jadi?]
Rosa baru kembali ke kamar setelah sepagian tadi membatu Rama membuat kue. Kemarin mereka belanja ke pasar. Rama bilang Uwa gak perlu masak banyak-banyak. Rama akan masak untuk mereka.
Tadinya Uwa sangsi,tidak percaya dengan ucapan Rama. Tapi setelah melihat sigapnya Rama dan mencicipi makanannya, Uwa tersenyum dan membiarkan Rama memakai dapur selama dua minggu mereka di sana.
Membaca chat dari Angkasa sejak pagi tadi, Rosa segera mengetik balasannya. Sepulang dari Festival sekolah waktu itu, Angkasa mengutarakan perasaannya.
Dia bilang dia bahagia saat bersama Rosa. Dia bahagia saat melihat Rosa. Dia ingin menjadi yang bisa membuat Rosa tersenyum. Dia menyukai bagaimana Rosa memanggil namanya. Angkasa suka setiap waktu yang mereka lalui.
Rosa bilang dia juga menyukai Angkasa. Bagaimana baiknya Angkasa padanya. Tapi, untuk menjalin hubungan, Rosa masih tidak tahu harus bagaimana.
Saat itu Angkasa hanya tersenyum, “Aku akan nunggu.”
Rosa merasa perasaannya dihargai, pemikirannya didengarkan. Jadi dia bilang, dia akan menjawabnya saat mereka bertemu lagi setelah libur.
Rosa membalas chat Angkasa.
[Rosa : Belum, kak, Rama malah sibuk di dapur seharian. Bikin kue. Masak buat makan. Nemenin nenek di mushola. Kemarin malah ngegodain Tiara terus.]
Ponsel Rosa berdering setelah dia menekan ikon Send. Dia tersenyum.
“Halo, Kak Asa,” sapanya.
“Hai, Cantik,” suara Angkasa terdengar riang,
“Bikin ribut apa hari ini dia?” tanyanya. Angkasa tahu Rosa pasti sedang cemberut.
“Rama bikin brownies. Terus masak ayam goreng buat siang ini. Dia juga ditempelin terus sama Andi. Semalem Rama ngasih pinjem hape buat main. Jadi hari ini Andi ngekorin terus,” Rosa menceritakan bagaimana Rama langsung menjadi pusat perhatian.
Ira bahkan melirik-lirik Rama seharian kemarin. Kata Ira, Kak Rama ganteng banget mirip artis. Rosa langsung memasang wajah jijiknya. Lebih ganteng Angkasa kemana-mana, pikirnya. Tapi langsung membuat jantungnya berdebar. Apaan sih, dia protes sendiri pada hatinya.
Terdengar suara tawa Angkasa, “Dia tau banget gimana caranya jadi pusat perhatian.”
Rosa mengangguk setuju, “Iya, Kak, capek banget aku liat tingkahnya,” katanya sambil menghembuskan napas. “Kak Asa, ada jadwal apa hari ini?”
“Em, nanti sore mau jalan sama Mama. Dan , oh, aku lupa bilang. Mama bilang makasih buat buketnya kemarin. Cantik banget kayak Rosa, katanya.”
Rosa tersipu. “Sama-sama. Salam buat Mama, ya, Kak Asa. Hati-hati jangan ngebut, ya.”
“Iya, aku hati-hati. Biar bisa jadi pacar kamu dua minggu lagi,” jawaban Angkasa sukses membuat pipi Rosa merah jambu.
“Kak Asa.”
“Iya, Sayang?”
Rosa seketika kehilangan kata-katanya.
“Aku pergi dulu, Sa. Mama minta bantuin guntingin daun kering di depan,” Angkasa pamit setelah terdengar suara Mama di belakangnya. “Selamat liburan. Aku gak akan gangguin liburan kamu, deh.”
Rosa tertawa kecil, “Iya, Kak Asa, makasih loh. Hati-hati perginya,” jawabnya sambil menjauhkan ponsel dari telinganya.
Rosa masih mematung. Angkasa sukses membuat Rosa tidak bisa berkata-kata. Dia tersenyum. Ada yang menggelitik di perutnya. Jantungnya sendiri sudah berdentum tak tentu arah sejak tadi. Tangannya mengipas wajahnya yang terasa terbakar.
-o0o-