Sebuah ramalan kuno mengguncang keseimbangan antara para Akasha dan para Moksa, mereka tinggal di pusat alam semesta bernama Samavetham. Ramalan itu meramalkan kelahiran seorang Akasha terkuat di sebuah planet kecil, yang akan membawa perubahan besar bagi semua makhluk hidup. Ketika para Moksa berusaha menggunakan pohon Kalpataru untuk mencapai ramalan tersebut, para Akasha berupaya mencegah kehancuran yang akan dibawanya.
Di Bumi, Maya Aksarawati, seorang gadis yatim piatu, terbangun dengan ingatan akan mimpi yang mencekam. Tanpa dia sadari, mimpinya mengisyaratkan takdirnya sebagai salah satu dari 12 Mishmar, penjaga dunia yang terpilih.
Ketika ancaman dari organisasi misterius semakin dekat, Maya harus berhadapan dengan kekuatan baru yang bangkit di dalam dirinya. Dibantu oleh reinkarnasi Mishmar yang lain, Maya harus menemukan keberanian untuk melawan atau menghadapi konsekuensi yang dapat mengubah nasib seluruh alam semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Feburizu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LOLOS
Setibanya di kota, Sebastian yang kelelahan mencari tempat untuk bersembunyi. Matanya menyapu setiap sudut jalan yang diterangi lampu kota, hingga pandangannya tertuju pada kedai bir "Krouvi Pub." Tempat itu tampak hangat dan nyaman, kontras dengan dinginnya malam yang menggigit. Tanpa ragu, dia melangkah masuk, berharap menemukan pertolongan dan tempat untuk mengatur pikirannya yang kacau.
Di dalam, suasana kedai penuh dengan obrolan hangat dan tawa pengunjung, semerbak aroma bir bercampur dengan kayu perapian. Sebastian, dengan langkah tergesa dan mata penuh kecemasan, langsung menuju bartender yang tengah sibuk melayani pelanggan. "Bisa pinjam telepon? Ini darurat," pintanya, suaranya serak karena kelelahan dan ketegangan.
Bartender, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah, mengangguk dan menyerahkan teleponnya. Dengan tangan gemetar, Sebastian menekan tombol panggilan, menunggu sambungan dengan napas terengah-engah, merasakan detik-detik yang berlalu seolah lambat.
"Halo?" suara Dr. Emma terdengar ragu-ragu di ujung sana, namun kehadirannya memberi sedikit ketenangan pada Sebastian.
"Dr. Emma, apa kau baik-baik saja?" Sebastian bertanya dengan cepat, berusaha menyembunyikan ketakutannya.
"Dr. Sebastian... apa itu kau?" suara Emma terdengar terkejut, seolah tak percaya mendengar suara yang tidak ia duga.
"Iya, ini aku," jawab Sebastian singkat, tak ingin membuang waktu berharga.
"Apa kau baik-baik saja? Di mana kau sekarang? Kita dalam bahaya..." belum selesai emma berbicara, dengan suara yang dipenuhi kepanikan.
"Tree of Life, ya aku tahu," potong Sebastian, suaranya tegas. "Aku tak bisa meneleponmu lebih lama. Temui aku di Bandara Helsinki-Vantaa. Aku sudah menyiapkan paspor dan lainnya. Aku juga sudah menyiapkan untuk adikmu. Cepatlah!" Seruan itu penuh urgensi, seolah setiap detik menambah beban yang menekan bahunya.
Setelah menutup telepon, Sebastian mengembalikan telepon kepada bartender dan mengucapkan terima kasih singkat sebelum bergegas keluar menuju bandara. Di luar, angin malam menyambutnya kembali. Namun, langkahnya kini lebih tegas, didorong oleh harapan dan tujuan yang jelas. Ia berusaha tetap waspada di tengah keramaian kota, matanya waspada terhadap setiap gerakan mencurigakan di sekitar.
“Taxi!“
Panggil Sebastian sambil mengangkat tangannya ke atas untuk menghentikan mobil kuning yang sedang mendekat.
Perjalanan menuju Bandara Helsinki-Vantaa terasa panjang, meski sebenarnya singkat. Setiap suara sirene terdengar dari dalam taxi, membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Namun, tekadnya tak tergoyahkan. Sesampainya di bandara, Sebastian menunggu dengan cemas, matanya sesekali melirik ke arah pintu masuk, berharap Emma dan Olivia segera tiba.
Setelah menanti beberapa saat, akhirnya Emma dan Olivia tiba. Mereka menemukan Sebastian duduk dengan wajah lelah namun penuh tekad, memegang tabung laboratorium yang ada di tangannya erat-erat, seolah itu adalah nyawanya sendiri.
"Dr. Sebastian!" seru Emma, berlari menemui Sebastian dengan Olivia mengikutinya. Keduanya tampak lega, namun juga dibayangi rasa cemas yang belum sepenuhnya hilang.
Sebastian menoleh, matanya yang lelah berbinar dengan harapan saat melihat rekannya itu. Ia bangun dan berjalan cepat menuju Emma dan Olivia, merasa sedikit lega bahwa mereka akhirnya bersama.
"Itu... bukankah itu Proyek Elysium?" Emma bertanya, matanya terpaku pada tabung yang memancarkan cahaya biru lembut.
Sebastian mengangguk. "Iya, hanya ini yang bisa kubawa lari," jawabnya, suaranya penuh keteguhan.
"Lalu, ke mana kita akan pergi?" tanya Emma, penasaran dan sedikit khawatir tentang langkah selanjutnya.
Sebastian menjawab dengan keyakinan yang baru ditemukan. "Kita akan ke Indonesia, negara asalku. Seharusnya kita akan aman di sana," katanya, menawarkan secercah harapan di tengah ketidakpastian.
Olivia yang bingung hanya bisa diam, namun di matanya terpancar kepercayaan pada keputusan kakaknya itu. Dengan langkah mantap, mereka bersama-sama menuju gerbang keberangkatan pesawat.
Di balik kaca jendela bandara, pesawat yang akan membawa mereka ke tempat yang lebih aman sudah menunggu, dan dengan setiap langkah, mereka semakin dekat dengan kebebasan.