THE TREE OF KALPATARU (Mrityu Dhumenavrtah)

THE TREE OF KALPATARU (Mrityu Dhumenavrtah)

BAYANGAN DARI KEMUSNAHAN

PROLOG

Di pusat alam semesta, melayang sebuah dunia yang berkilau bagai permata: Samavetham. Kota-kotanya mengambang di antara awan keemasan, dengan menara-menara kristal yang menjulang menembus langit berwarna ungu kemerahan. Di sini, dua ras penghuni Samavetham hidup berdampingan: para Akasha yang abadi dan para Moksa yang fana.

Para Akasha dengan sayap energi berpendar keemasan mengendalikan kekuatan alam semesta dalam telapak tangan mereka. Tubuh mereka memancarkan cahaya keabadian, dan suara mereka bergema dengan kekuatan yang dapat menggetarkan bintang-bintang. Di bawah mereka, para Moksa, makhluk yang diberkahi kekuatan besar namun tetap fana, hidup dengan kemampuan yang jauh melampaui manusia biasa.

Namun di balik kemegahan Samavetham, tersimpan rahasia gelap yang mengancam keseimbangan alam semesta. Sebuah pohon kuno bernama Kalpataru menyimpan kekuatan yang dapat mengubah takdir, kekuatan yang membuat siapapun yang memakan buahnya mendapatkan keabadian dan kekuatan tanpa batas. Tetapi ada harga yang harus dibayar. Untuk menanam benih Kalpataru, sebuah planet harus dikorbankan, seluruh kehidupannya akan tersedot, meninggalkan kehampaan yang abadi.

Ambisi untuk menguasai alam semesta mulai membutakan baik Akasha maupun Moksa. Beberapa dari mereka berkonspirasi, mencari cara untuk menanam Kalpataru di planet-planet yang kaya akan kehidupan. Bumi, dengan keragaman dan kekayaan energi kehidupannya, menjadi salah satu target utama mereka.

Para Akasha yang masih setia menjaga keseimbangan alam semesta tidak tinggal diam. Mereka menciptakan sistem pertahanan dengan menganugerahkan Saurya, kekuatan ilahi, kepada dua belas manusia terpilih di setiap planet. Para penjaga ini, yang dikenal sebagai Mishmar, bereinkarnasi dari masa ke masa, membawa dalam diri mereka kekuatan untuk melindungi dunia mereka dari kehancuran.

Di sebuah kamar sempit Panti Asuhan Darma di kota Kalynda, seorang gadis kecil berusia delapan tahun bermimpi buruk. Maya, dengan rambut hitam legam dan mata secerah langit pagi, menggeliat gelisah dalam tidurnya, keringat dingin membasahi gaun tidur lusuhnya yang telah memudar.

Dalam mimpinya, Maya berdiri di tengah sebuah kota yang tak ia kenali. Gedung-gedung pencakar langit yang biasanya menjulang megah kini hancur berkeping-keping, bagai mainan raksasa yang dihempaskan dengan brutal. Langit di atasnya membentang merah darah, tanpa matahari, tanpa awan, hanya kegelapan yang sesekali dihiasi kilatan petir ungu yang membelah cakrawala.

Maya merasakan tanah basah dan lengket di bawah kakinya. Ketika ia memberanikan diri untuk memandang ke bawah, jeritan tertahan di tenggorokannya. Mayat-mayat bergelimpangan di sekitarnya: pria, wanita, anak-anak, orang tua. Tubuh mereka terpelintir dalam posisi tidak wajar, wajah mereka membeku dalam ekspresi teror yang tak terlukiskan.

Asap hitam mengepul dari reruntuhan, membawa aroma kematian yang memualkan. Di kejauhan, suara-suara mencekam menggema, campuran antara jeritan ketakutan dan raungan makhluk yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Pohon-pohon raksasa dengan akar-akar hitam menjalar di seluruh kota, menghisap kehidupan dari apapun yang disentuhnya, meninggalkan jejak kehampaan yang mengerikan.

Di tengah kengerian ini, tubuh kecil Maya berdiri gemetar. Gaun tidurnya yang lusuh berkibar ditiup angin panas yang membawa abu dan debu. Namun ada yang berbeda, cahaya keemasan aneh menyelimuti tubuhnya, menciptakan kubah pelindung yang memisahkannya dari kehancuran di sekelilingnya. Tanah bergetar di bawah kakinya, berdenyut dengan ritme yang terasa familiar namun asing.

Suara-suara berbisik dalam bahasa kuno mengelilinginya, bergema dalam benaknya seperti kenangan dari kehidupan yang telah lama terlupakan. Dari retakan bumi yang menganga, sehelai selendang misterius muncul, melayang-layang dengan anggun. Selendang itu berpendar dengan cahaya yang menenangkan, kontras dengan kengerian di sekelilingnya.

"Hanya kau yang bisa mengakhiri ini semua," bisik suara itu dalam benaknya, bergema dengan kekuatan yang membuat seluruh tubuhnya bergetar. "Nasib seluruh alam semesta ada di tanganmu."

Tepat setelah kata-kata itu terucap, Maya merasakan perubahan mendadak di sekelilingnya. Udara menjadi sangat berat, seolah gravitasi bertambah ribuan kali lipat. Cahaya keemasan yang menyelimuti tubuhnya berpendar semakin terang, kontras dengan kegelapan yang semakin pekat di sekelilingnya.

Kemudian, dalam sekejap mata, semuanya terjadi.

Ledakan dahsyat meledak dari pusat kota, menciptakan gelombang energi destruktif yang menyapu segalanya. Maya menyaksikan dengan mata terbelalak saat gelombang kehancuran itu mendekat. Sebuah dinding api raksasa membubung tinggi ke langit merah, disertai pusaran angin yang menerbangkan puing-puing dan mayat-mayat di sekelilingnya. Cahaya putih menyilaukan muncul dari tengah ledakan, mirip seperti jamur raksasa yang tumbuh dalam hitungan detik.

Panas yang tak tertahankan menyengat kulitnya. Maya bisa merasakan kekuatan ledakan itu menghancurkan segala yang disentuhnya, mengubah beton menjadi debu, melelehkan baja seperti lilin, dan menghapus eksistensi apapun yang berada dalam radiusnya. Gelombang kehancuran itu bergerak semakin dekat, semakin dekat.

Tepat sebelum energi pemusnah itu mencapainya, selendang misterius yang melayang di hadapannya bersinar terang, menciptakan kubah pelindung di sekeliling Maya. Namun bahkan pelindung itu tak mampu menahan kekuatan ledakan sepenuhnya. Maya bisa merasakan tubuhnya terangkat, terhempas oleh gelombang kejut yang luar biasa.

Maya terbangun dengan tersentak, napasnya memburu tak beraturan. Selimut tipis pemberian panti asuhan jatuh ke lantai saat ia bangkit dengan panik. Telinganya masih berdenging dengan suara ledakan dari mimpinya, dan kulitnya masih bisa merasakan sisa-sisa panas yang membakar.

Dalam keremangan kamar, suara dengkur halus teman-teman sekamarnya menjadi satu-satunya penghiburan. Maya memeluk lututnya, berusaha menenangkan jantungnya yang masih berdebar kencang. Bayangan-bayangan mengerikan dari mimpinya masih menari-nari di benaknya: mayat-mayat yang bergelimpangan, langit merah darah, dan pohon mengerikan yang menghisap kehidupan.

Ia melirik ke jendela berkisi, tempat sinar bulan masih mengintip malu-malu di antara awan malam. Masih terlalu dini untuk bangun, jam dinding tua di sudut kamar menunjukkan pukul dua pagi. Maya mengambil selimutnya yang terjatuh dan kembali berbaring, matanya masih terbuka menatap langit-langit yang retak.

Perlahan, kantuk kembali menyergapnya. Meski takut mimpi itu akan kembali, tubuh kecilnya yang lelah tak kuasa melawan. Sebelum kesadarannya sepenuhnya menghilang, Maya merasakan kehangatan aneh menyelimuti tubuhnya. Sisa-sisa cahaya keemasan dari mimpinya, mungkin? Atau mungkin hanya imajinasinya saja.

Dalam kegelapan kamar panti yang sunyi, Maya akhirnya terlelap kembali. Kali ini, tidurnya lebih tenang, tanpa mimpi. Namun takdir yang telah terbangun tak bisa tertidur kembali. Sementara gadis kecil itu terbuai dalam pelukan Morpheus, roda-roda takdir terus berputar. Pertempuran antara cahaya dan kegelapan akan segera dimulai, dan Maya, tanpa ia sadari, akan segera terbangun dalam dunia yang tak pernah sama lagi.

Terpopuler

Comments

Samsul Ono

Samsul Ono

jgn segan mengidentifikasi daerah? sekitaran. Mojopahit ( Mojokerto ), misal Pasuruan, alas pertapaan Indrokilo-Arjuno, Gunung Welirang, Cangar, Gresik, Tuban, Jombang, Malang, Bondowoso, Alas Purwo, Banyuwangi dll yg dlm sejarah kerap jadi ajang pertempuran prajurit Mjphit

2025-01-12

3

Lily

Lily

keren nih keknya/Casual/

2025-01-10

0

Didinekadewiastutik

Didinekadewiastutik

yah ngulang /Speechless/

2025-01-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!