Masa lalu yang kelam mengubah hidup seorang ALETHA RACHELA menjadi seseorang yang berbanding terbalik dengan masa lalunya. Masalah yang selalu datang tanpa henti menimpa hidup nya, serta rahasia besar yang ia tutup tutup dari keluarganya, dan masalah percintaan yang tak seindah yang dia banyangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Jadian
Malam itu, suasana rumah Aletha terasa sangat berbeda. Kehangatan yang belum pernah ada sebelumnya menyelimuti ruang tamu yang biasanya sunyi dan sepi, memberikan kesan bahwa ada sesuatu yang baru, sesuatu yang penting, yang tengah terjadi. Aletha duduk di sofa dengan punggung tegak, matanya terfokus pada lantai yang dingin, sesekali mengangkat pandangannya ke luar jendela besar yang menghadap ke halaman rumah. Angin malam yang berhembus pelan membawa aroma segar dan menenangkan, seolah alam ikut bersimpati dengan perasaan yang sedang mengaduk di dalam hatinya. Namun, meskipun udara malam begitu sejuk, hatinya terasa begitu bergemuruh, penuh kecemasan yang tak bisa ia bendung.
Dafit duduk di sampingnya, jauh berbeda dari sikapnya yang biasa—tenang dan penuh kendali. Wajahnya terlihat serius, namun ada tatapan lembut yang terpancar dari matanya, sebuah tatapan yang justru membuat Aletha merasa cemas sekaligus nyaman, seperti ada sebuah ketegangan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Mereka berdua tahu, malam ini adalah malam yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Ada sebuah keputusan yang harus diambil, ada hal yang harus diungkapkan, dan yang lebih penting lagi, mereka tidak bisa lagi menghindar dari kenyataan yang sudah lama mereka coba tutupi.
Aletha menatap tangan Dafit yang terletak di atas meja kopi, seakan mencari keberanian dari sana, mencari petunjuk untuk melangkah maju. Tapi ia merasa seperti ada beban yang terlalu berat untuk diangkat, sebuah rasa takut yang telah mengakar sejak lama, bahkan mungkin lebih dalam dari yang ia sadari. Ketakutan itu bukan hanya tentang perasaan yang tak terbalas, tetapi juga tentang segala hal yang belum ia ketahui tentang masa depan mereka. Masa depan yang selalu ia bayangkan penuh dengan ketidakpastian, yang membuatnya terus-menerus ragu untuk melangkah. Mungkin, ia terlalu banyak berpikir tentang kemungkinan yang belum terjadi, terlalu terfokus pada apa yang bisa salah, daripada melihat potensi yang bisa terjadi jika ia mencoba melangkah ke depan bersama Dafit.
“Aletha,” suara Dafit pecah memecah keheningan yang tebal, terdengar begitu rendah namun penuh dengan arti yang mendalam. “Lo tahu kan, gue nggak pernah mau ngerem lo? Gue selalu ingin lo jadi diri lo sendiri. Gue nggak pernah pengen lo takut sama perasaan lo.”
Aletha menoleh, sedikit terkejut mendengar kata-kata itu. Dafit selalu terlihat begitu tenang, seperti pria yang tak mudah terpengaruh oleh apapun, tetapi kali ini, ada kehangatan yang sangat nyata dalam suaranya, seolah ia sudah memutuskan sesuatu yang besar, sesuatu yang tak bisa diubah lagi. “Tapi gue takut, Angkasa,” jawab Aletha, suaranya hampir seperti bisikan yang terperangkap di tenggorokan. “Gue takut semuanya nggak akan seperti yang kita bayangkan. Gue takut kalau... kita nggak siap.”
Dafit mengangkat bahu, senyum tipis terlukis di wajahnya, meskipun tidak bisa menyembunyikan keseriusan dalam matanya. “Siapa sih yang siap? Gue sendiri juga nggak tahu apa yang bakal terjadi besok. Tapi gue tahu satu hal—gue nggak mau nunggu lagi. Gue nggak mau kita hidup dalam ketakutan terus-menerus. Lo nggak perlu siap banget untuk memulai, Tha. Lo cuma perlu mau mencoba.”
Aletha merasakan beban di dadanya, sebuah perasaan yang membuatnya terjebak di antara dua dunia. Di satu sisi, ia ingin menyerah pada perasaan yang begitu dalam terhadap Dafit, tetapi di sisi lain, keraguan dan ketakutan akan masa depan membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh. Mereka berdua tidak berbeda jauh dalam hal ini—sama-sama takut akan kehilangan, sama-sama cemas jika semuanya tidak berjalan seperti yang diinginkan. Namun, untuk pertama kalinya, Aletha menyadari bahwa ketakutan itu bukan alasan untuk mundur. Ketakutan adalah bagian dari perjalanan, bukan penghalang untuk memulai perjalanan itu.
“Lo benar, Angkasa,” kata Aletha, suaranya lebih mantap, seolah menemukan secercah keberanian yang selama ini ia cari. “Gue juga nggak mau hidup dalam ketakutan terus. Gue juga nggak mau ragu terus-menerus, nunggu-nunggu sesuatu yang nggak pasti.”
Dafit menatapnya dengan mata penuh harapan dan ketulusan. Ia tidak mengatakan apapun, hanya menunggu, memberi ruang untuk Aletha memilih apa yang terbaik untuk dirinya. Ia tahu, ini adalah langkah besar yang tidak bisa dipaksakan. Namun, ia juga tahu bahwa mereka berdua sudah berada di titik yang sama. Mereka sudah tak bisa lagi melangkah mundur. Apa pun yang terjadi, ini adalah langkah pertama yang tidak bisa mereka ambil kembali.
“Aletha,” ujar Dafit akhirnya, suaranya lembut, namun penuh keyakinan dan keberanian. “Gue tahu ini mungkin kedengarannya cepat, tapi gue nggak mau menunggu lebih lama. Gue suka sama lo. Gue nggak mau lagi takut, nggak mau lagi berpura-pura. Lo mau nggak kita coba mulai dari sini? Kita coba jalani semuanya, bareng-bareng?”
Aletha menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Kata-kata itu datang begitu natural, begitu tulus, dan begitu mendalam. Seolah Dafit sudah siap untuk menghadapinya tanpa syarat, siap menjalani semua yang mungkin terjadi, apa pun itu. Hatinya terasa hangat, dan perlahan-lahan semua ketakutan yang membelenggunya mulai mencair. Mungkin ini memang saat yang tepat. Mungkin ia tak perlu terlalu banyak berpikir atau merencanakan masa depan. Mungkin perasaan itu sudah cukup untuk membuatnya yakin. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tidak tahu apakah semuanya akan berjalan lancar seperti yang mereka inginkan, tetapi satu hal yang pasti, perasaan itu—dan keinginan untuk mencoba bersama Dafit—telah cukup untuk menghapus keraguannya.
“Aku... aku juga suka banget sama lo, Angkasa,” jawab Aletha akhirnya, suaranya bergetar namun tulus. “Gue nggak mau takut lagi. Gue nggak mau nunggu-nunggu lagi. Gue mau kita coba, bareng-bareng.”
Dafit tersenyum lebar, matanya bersinar dengan kebahagiaan yang tulus. Ia meraih tangan Aletha dengan lembut dan menggenggamnya erat, seolah memastikan bahwa mereka tak akan terlepas lagi. “Gue nggak sabar. Gue nggak sabar buat ngejalanin ini sama lo, Tha. Gimana pun yang terjadi nanti, gue yakin kita bisa ngadepin semuanya bersama.”
Aletha merasa perasaan yang selama ini dipendam akhirnya terungkap dengan jelas. Ada rasa lega yang mendalam, seolah beban yang bertahun-tahun dipikulnya akhirnya terangkat. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tidak tahu apakah mereka akan selalu bahagia, tetapi untuk malam itu, ia tahu satu hal—mereka berdua siap untuk mencoba, untuk saling mendukung, dan untuk bersama. Tanpa ketakutan, tanpa keraguan.
Suasana malam di luar jendela tampak lebih indah dari sebelumnya, seolah alam turut merayakan momen itu. Bintang-bintang di langit tampak begitu terang, memberikan restu yang tidak tampak, tetapi dapat dirasakan oleh keduanya. Aletha menarik napas panjang, melepaskan keraguan yang selama ini mengikatnya, dan merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa segala sesuatu yang ia takuti selama ini bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi sesuatu yang harus dihadapi.
Dafit, yang duduk di sebelahnya, memperhatikan dengan penuh perhatian. Ia tidak perlu berkata banyak lagi. Senyum mereka sudah cukup menjelaskan segalanya. Ini adalah awal dari sesuatu yang baru—sesuatu yang mereka berdua tidak tahu pasti ujungnya, tetapi yang mereka yakini akan membawa mereka ke arah yang lebih baik, lebih bahagia. Tanpa ketakutan, tanpa ragu.
“Aku nggak mau ninggalin lo,” kata Dafit, hampir seperti bisikan yang penuh makna. “Kita bakal melalui ini bersama. Gue janji.”
Aletha tersenyum dan mengangguk, matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, ia merasa tenang, tidak hanya karena perasaan yang ada di hatinya, tetapi juga karena kenyataan bahwa mereka akan melalui semuanya bersama. Itu adalah hal yang paling penting—karena mereka tahu, apapun yang terjadi, mereka tidak akan sendirian.