Di sebuah kota yang tampak tenang, Alvin menjalani hidup dengan rutinitas yang seolah-olah sempurna. Seorang pria berusia awal empat puluhan, ia memiliki pekerjaan yang mapan, rumah yang nyaman. Bersama Sarah, istrinya yang telah menemaninya selama 15 tahun, mereka dikaruniai tiga anak: Namun, di balik dinding rumah mereka yang tampak kokoh, tersimpan rahasia yang menghancurkan. Alvin tahu bahwa Chessa bukan darah dagingnya. Sarah, yang pernah menjadi cinta sejatinya, telah berkhianat. Sebagai gantinya, Alvin pun mengubur kesetiaannya dan mulai mencari pelarian di tempat lain. Namun, hidup punya cara sendiri untuk membalikkan keadaan. Sebuah pertemuan tak terduga dengan Meyra, guru TK anak bungsunya, membawa getaran yang belum pernah Alvin rasakan sejak lama. Di balik senyumnya yang lembut, Meyra menyimpan cerita duka. Suaminya, Baim, adalah pria yang hanya memanfaatkan kebaikan hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aufklarung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Bab 5
Malam itu begitu dingin, langit mendung seolah menyimpan rahasia yang akan segera terungkap. Sarah, seorang wanita muda yang baru saja kembali dari luar negeri, turun dari pesawat dengan perasaan campur aduk. Selama bertahun-tahun tinggal di luar negeri, ia menjalani hidup penuh gemerlap, jauh dari keluarga dan teman-teman lamanya di tanah air. Malam ini, Sarah memutuskan untuk langsung pergi ke klub malam favoritnya, tempat yang pernah menjadi panggung kegembiraannya di masa lalu.
Klub malam itu terletak di pusat kota, gemerlap lampunya terlihat dari kejauhan. Musik yang menggema dari dalam bangunan membuat adrenalin Sarah berdegup kencang. Ia ingin merayakan kepulangannya dengan cara yang paling ia sukai – berdansa, minum, dan melupakan segala beban hidup untuk sementara waktu. Tanpa berpikir panjang, ia masuk ke dalam klub, memesan minuman favoritnya, dan mulai menikmati malam itu.
Di sudut lain kota, Baim, seorang pria muda dengan kehidupan penuh gejolak, sedang bersiap pergi ke klub yang sama. Namun, berbeda dari biasanya, malam ini pikirannya dipenuhi dengan pertengkarannya bersama Meyra, istrinya. Meyra adalah seorang guru TK yang juga bekerja sebagai pelayan kafe untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Meski tulus mencintai Baim, Meyra sering merasa diabaikan karena kebiasaan buruk suaminya. Malam itu, Baim memutuskan untuk melarikan diri dari masalah dengan tenggelam dalam dunia malam yang akrab dengannya.
Ketika Sarah meneguk gelas demi gelas minumannya, ia mulai kehilangan kendali atas dirinya. Musik, cahaya lampu yang berkilauan, dan aroma alkohol membawanya ke dalam keadaan euforia. Namun, di tengah keramaian itu, ia merasa ada kekosongan yang sulit dijelaskan. Barangkali, itu adalah rasa sepi yang selama ini ia tutupi dengan gemerlap dunia malam.
Sementara itu, Baim tiba di klub dan langsung bergabung dengan kerumunan yang sedang berpesta. Ia meneguk minuman keras tanpa peduli seberapa banyak yang sudah masuk ke tubuhnya. Dalam pikirannya, suara Meyra yang memintanya berubah terus berputar, membuatnya semakin ingin melarikan diri dari kenyataan.
Jam menunjukkan pukul dua dini hari ketika Sarah memutuskan untuk meninggalkan klub. Kepalanya terasa berat, langkahnya tertatih-tatih menuju tempat parkir. Ia hampir tidak bisa menjaga keseimbangan, tetapi ia tetap bersikeras ingin pergi. Sementara itu, di dalam klub, Baim juga memutuskan untuk pulang. Dengan kondisi yang sama mabuknya, ia berjalan menuju motornya di area parkir.
Di tempat parkir yang remang-remang itu, takdir mempertemukan mereka dengan cara yang tragis. Sarah berjalan dengan langkah gontai, matanya sedikit terpejam. Ia tidak menyadari bahwa Baim, yang baru saja menyalakan motornya, melaju dengan kecepatan tinggi tanpa memperhatikan sekitarnya. Dalam hitungan detik, sebuah kecelakaan tak terhindarkan. Tubuh Sarah terpental beberapa meter, sementara motor Baim terguling di atas aspal dingin.
Suasana berubah mencekam. Beberapa pengunjung klub yang mendengar suara keras itu segera berlari keluar untuk melihat apa yang terjadi. Di tengah kerumunan itu, Sarah tergeletak tak berdaya. Darah mengalir dari kepalanya, membasahi aspal. Napasnya tersengal-sengal, dan pandangannya mulai memudar. Baim, yang terjatuh dari motornya, mencoba berdiri dengan susah payah. Rasa mabuk membuatnya sulit memahami apa yang baru saja terjadi.
Ambulans datang beberapa menit kemudian setelah seseorang menghubungi layanan darurat. Sarah dibawa ke rumah sakit dalam kondisi kritis, sementara Baim ditahan oleh polisi yang tiba di lokasi kejadian. Di dalam ambulans, Sarah hanya bisa memikirkan satu hal: keluarganya. Ia ingin meminta maaf, ingin mengatakan bahwa ia merindukan mereka. Namun, kata-kata itu tak pernah sempat terucap. Beberapa saat setelah tiba di rumah sakit, Sarah menghembuskan napas terakhirnya.
Berita kecelakaan itu segera menyebar, mengejutkan banyak orang, termasuk keluarga Sarah. Ibunya menangis histeris ketika menerima kabar bahwa anak perempuan satu-satunya telah tiada. Ayahnya hanya bisa terdiam, mencoba menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Namun, di balik semua kesedihan itu, ada satu orang yang merespons tragedi ini dengan cara yang tidak biasa – Alvin, suami Sarah.
Ketika Alvin menerima kabar tentang kematian istrinya, ia hanya terdiam sejenak. Wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi. “Oh, begitu,” ucapnya singkat kepada orang yang membawa kabar tersebut. Tidak ada air mata, tidak ada amarah, hanya ketenangan yang terasa tidak wajar. Orang-orang di sekitarnya heran melihat reaksi Alvin yang begitu tenang, seolah-olah ia tidak terpengaruh oleh kehilangan itu.
Hari pemakaman Sarah tiba. Hujan turun deras, seolah langit ikut berduka. Banyak teman dan kerabat yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir. Di tengah isak tangis dan doa-doa yang dipanjatkan, Alvin berdiri di pojok tanpa banyak bicara. Ketika beberapa orang mencoba menghiburnya, ia hanya mengangguk pelan dan berkata, “Terima kasih sudah datang.” Tidak ada tanda-tanda kesedihan mendalam yang biasanya terlihat pada seseorang yang kehilangan pasangan hidupnya.
Setelah pemakaman selesai, Alvin kembali ke rumah mereka yang kini terasa hampa. Namun, ia tidak menunjukkan perubahan besar dalam rutinitasnya. Ia tetap pergi bekerja seperti biasa, tetap berbicara dengan nada tenang, dan tidak pernah membahas tentang Sarah. Beberapa teman dekatnya merasa khawatir. “Apakah kamu baik-baik saja, Vin?” tanya salah seorang dari mereka suatu hari. Alvin hanya tersenyum tipis dan menjawab, “Saya baik-baik saja.”
Sementara anak- anak mereka Rey, Rheana , dan Chessa menangisi kepergiaan mama nya tapi tidak seperti kehilangan yang mendalam karena mereka terbiasa ditinggalkan tanpa kabar oleh mama nya. Rey memandangi mamanya yang terbujur kaku dan kemudian memeluk kedua adiknya. Rey merasa bahwa mamanya adalah seorang mama yang tidak peduli pada mereka. Di usianya yang 14 tahun dia juga sudah bisa menilai bagaimana perilaku mamanya.
Namun, di sisi lain, Baim menghadapi konsekuensi dari perbuatannya. Di kantor polisi, ia duduk dengan kepala tertunduk, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Polisi memberitahukan bahwa ia akan didakwa atas kelalaian yang menyebabkan kematian seseorang. Baim tidak menyangkal, ia tahu ini adalah akibat dari keputusannya malam itu.
Dalam keputusasaan, Baim menghubungi Meyra. Telepon itu menggetarkan hati Meyra yang sedang beristirahat setelah pulang dari pekerjaannya di kafe. "Mey," suara Baim terdengar parau di ujung telepon, "Aku... aku butuh bantuanmu. Aku di kantor polisi." Meyra terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata suaminya. Meski hatinya terluka, ia tahu bahwa ini adalah saat yang genting. Meyra segera bersiap, meninggalkan rasa letihnya demi mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Perjalanan Meyra ke kantor polisi dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang berkecamuk. Ia bertanya-tanya bagaimana hidup mereka bisa sampai ke titik ini. Sebagai istri yang selalu berharap suaminya berubah, Meyra merasa ini adalah pukulan terakhir yang memaksanya untuk menghadapi kenyataan pahit. Ia tahu, setelah ini, tidak ada yang akan sama lagi.