DASAR MANDUL!
6 tahun sudah, Hanabi Lyxia harus mendengarkan kalimat tak menyenangkan itu dikarenakan ia belum bisa memberikan keturunan.
Kalimat sumbang sudah menjadi makanannya sehari-hari. Meskipun begitu, Hana merasa beruntung karena ia memiliki suami yang selalu dapat menenangkan hatinya. Setia, lembut bertutur kata dan siap membela saat ia di bully mertuanya.
Namun, siapa sangka? Ombak besar tiba-tiba menerjang biduk rumah tangga nya. Membuat Hana harus melewati seluruh tekanan dengan air mata.
Hana berusaha bangkit untuk mengembalikan harga dirinya yang kerap dikatai mandul.
Dapatkah wanita itu membuktikan bahwa ia bukanlah seorang wanita mandul?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATM25
Hana tersentak, kala seseorang membekap mulutnya.
"Ssst, diam!" bisik pria itu tepat di telinga Hana.
Manik hazel milik wanita itu mengerjap, kedua kakinya lemas dan gemetar. Dengan mengumpulkan seluruh keberanian, Hana berontak sekuat tenaga kala seseorang yang membekap mulutnya membawa dirinya ke sebuah lorong yang sempit.
KRAUK!
"Aaargghh ...!" Pria itu menjerit saat Hana mengigit tangannya.
Secepat kilat jemari pria itu membekap mulutnya sendiri, sementara tangannya yang lain tetap mencengkram erat pergelangan Hana yang terus-terusan berontak.
"Lepas! Lepasin ...!" bentak Hana.
"Diamlah, Hana! Ini gue ... Gavriil!" Pria itu mendesis di pucuk telinga Hana.
Hana terdiam, mematung dengan detak jantung yang berdebar.
"Gav ... Gavriil?" Hana berusaha memutar tubuhnya. Namun, aksinya gagal karena sedang berada di lorong yang sempit.
"Iya, ini gue! Sekarang ... lo diam dulu, Damar ada di sini!" beritahu Gavriil.
Hana mengangguk setuju dan berusaha bersikap tenang, meskipun sedikit kekhawatiran menyelimuti hati kecil wanita itu.
Nafas Hana sedikit sesak karena harus berhimpitan dengan tubuh Gavriil, yang berdiri menempel tepat di belakang tubuhnya. Sebagai wanita yang masih memiliki suami, tentu saja ia merasa risih dengan pose seperti itu.
Begitu pun juga dengan Gavriil, pria itu sebenarnya merasa tak nyaman menempel bagai ngengat di tubuh sahabatnya. Ia merasa sudah seperti pria mesum, apalagi, kini tongkat saktinya juga sudah mulai bangun.
Bulir-bulir keringat dingin menetes dari kening pria gagah itu. Ia cemas jika Hana menyadari, saat ini di belakang tubuhnya ada yang berdiri tegak menantang bumi.
'Plisss Gunawan, plisss ...! Tidur lu buruan, jangan betingkah! Jangan bikin gue malu di depan Hana!' Di dalam hati, Gavriil memohon pada Gunawan. Gunawan merupakan nama panggilan untuk tongkat saktinya yang memiliki arti Gundul dan Menawan.
Sementara Hana, wajah wanita itu sudah bersemu merah saat merasakan ada yang menonjol di belakang tubuhnya.
Hana menggeleng-gelengkan kepalanya saat kejadian malam panas bersama Gavriil mulai terkenang kembali.
"Gav, lo geseran ke sebelah sana dong. Sesek banget dada gue," pinta Hana.
"I-iya, Han!" wajah Gavriil pun tak kalah merah, ia paham, Hana sudah menyadari ada yang mengganjal di belakang tubuhnya.
Gavriil segera bergeser dari posisinya, meskipun sangat kesulitan.
'Gunawan, lu bener-bener tega ya ama gue? Malu gue sumpah!' jerit Gavriil di dalam hati.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Saya ingin gugatan ini dibatalkan! Saya tidak mau tau ...!" Kilat amarah menyala-nyala di mata Damar, saat petugas membenarkan bahwa sang istri baru saja mendaftarkan gugatan cerai.
Pernyataan dari petugas membuatnya murka, apalagi ia kini sangat lelah karena sejak tadi sudah mengelilingi banyak tempat yang kemungkinan akan di kunjungi sang istri.
Kantor pengadilan merupakan tempat terakhir yang ada dalam list untuk mencari keberadaan sang istri. Amarah dan sesal, semuanya bercampur menjadi satu. Pria itu kini hanya bisa berandai-andai.
'Andai saja tempat ini ku urutkan menjadi tempat pertama yang aku kunjungi, pasti aku bisa menghalangi Hana untuk mendaftarkan gugatan cerai ini!' batin Damar.
"Maaf, Pak Damar. Yang bisa membatalkan gugatan ini, ya, hanya Bu Hana. Bukan orang lain," jawab petugas dengan sopan.
BRAKK!
"Orang lain katamu?!" Damar menggebrak meja di depannya. "SAYA SUAMINYA, SAYA BERHAK MENOLAK GUGATAN TERSEBUT!"
Petugas berseragam batik itu tetap mengulas senyuman ramah, mengatup dua tangan di dada dengan sopan.
"Benar yang anda katakan, Pak. Benar, anda berhak menolaknya. Namun, bukan di sini, bukan di ruang pendaftaran ini. Melainkan di ruangan persidangan nanti. Sebaiknya anda sekarang menenangkan diri, lalu pulang dan menunggu. Dalam tiga hari, surat panggilan akan datang ke alamat anda, Pak."
"Anda mengusir saya? Anda tidak tau siapa saya? Jangan main-main anda ya! -- Saya ini artis terkenal!"
"Mohon maaf, saya tidak kenal, dan tidak mau kenal. Jadi, silahkan anda pergi, tolong jangan buat kegaduhan di sini, karena anda sendiri yang akan rugi nanti nya." Peringat Petugas dengan tegas.
Damar mengacungkan telunjuknya pada petugas. Mengucapkan segala sumpah serapah dengan angkuh, sebelum akhirnya ia angkat kaki dari tempat tersebut.
Sementara itu, di dalam mobil yang tengah melaju kencang, Gavriil dan Hana duduk terdiam. Sudah setengah jam mereka berhasil meninggalkan kantor pengadilan agama, saat mengetahui Damar tengah ribut-ribut di ruangan petugas.
Gavriil fokus menyetir, sedangkan Hana, sejak tadi ia hanya melamun. Entah apa yang sedang dipikirkan wanita itu, sampai-sampai ia tak sadar keroncongan perutnya nyaring terdengar.
Gavriil melirik Hana yang duduk di samping kursi kemudi, wanita itu masih mematung sambil memejamkan mata.
'Hana tidur? Perutnya keroncongan begitu, atau dia pingsan gara-gara nahan laper?' batin Gavriil.
Bagai terhipnotis, telunjuk dokter tampan itu mencubit pipi Hana sampai wanita itu tersentak.
Gavriil pun mengerjap panik saat bola mata mereka beradu.
"K-kita makan dulu yuk, Han ...!" ajak Gavriil gugup.
Hana mengangguk setuju, apalagi perutnya kini terasa perih.
"Mau makan apa?" Tanya Gavriil sambil melihat-lihat tempat kuliner di lokasi sekitar.
"Terserah," jawab Hana singkat.
Gavriil memutar setir sambil berfikir.
"Sate?"
"Enggak ah, semalam kan kita-kita baru makan sate."
"Jadi mau makan apa?"
"Ya, terserah ...."
Gavriil mengerucutkan bibirnya.
"Bakso?"
"Enggak ah, lagi gak pengen."
"Ayam bakar madu?"
"Ogah, lagi mual ...!"
"Jadi mau makan apaaaaa, Hanabi?" Gavriil menepikan mobilnya ke bahu jalan.
"Terserah," jawab Hana lagi.
Pria yang nyaris frustasi itu memutar bola matanya.
'Terserah, terserah, terseraaaaah! Yak, jawaban apalagi yang ku harapkan dari kaum wanita?! Sudah pasti TER-SE-RAH ...!' batin Gavriil.
Berkali-kali pria itu menghembuskan nafasnya.
"Lo pengen nasi atau yang kuah-kuah?"
"Kuah-kuah, pedes!"
'Okay, udah ada bayang-bayang. Tinggal gue puter otak aja ini!' batin Gavriil tak menyerah.
Kening pria itu berkerut, memikirkan bagaimana cara membongkar rumus terserah dari wanita yang duduk di sampingnya. Bola mata Gavriil membulat, wajahnya sumringah.
"Kuah-kuah, pedes? Ah, gue tau lo pengen makan apaan!"
"Apa?"
"Coba lo tebak isi otak gue, Han. Kalau tebakan lo bener, gue bakalan traktir lo sepuasnya!"
"Traktir? Serius lo?"
Gavriil mengangguk cepat. "Buruan lo tebak!"
"Ramen pedes ya?!" jawab Hana cepat.
"Bener banget, ramen pedes! Kok lo tau apa yang gue pikirin?" Gavriil cengengesan.
"Ih seriusan jawaban gue bener? Kok bisa sih?" Hana menyipitkan matanya.
"Iya dong, kan isi otak kita sama! Gue tuh tau lo lagi kepengen makan ramen!" Gavriil tersenyum bangga.
"Keren, keren! Hebat banget lo, Gav!" puji Hana.
Gavriil mengusap-usap pucuk hidungnya yang sudah kembang kempis, tak tahan menerima pujian dari Hana.
'Akhirnya kalimat keramat TER-SE-RAH sudah terselesaikan!'
Gavriil kembali mengemudi, menuju kedai ramen yang sempat terlewat beberapa menit yang lalu.
Tak berselang lama, setelah sampai pada tempat yang di tuju, tiga mangkuk ramen tersaji di atas meja. Ya, tiga mangkuk, satu milik Gavriil. Sedangkan dua mangkuk lainnya, milik Hana.
"Makan yang banyak ya, Bumil ...!" ucap Gavriil.
Hana terkekeh sembari mengusap perutnya. "Thankyou traktiran nya ya, Om Gavriil ...!"
Gavriil mengulas senyuman dan menatap lekat manik hazel milik Hana.
'Om ... Ya, sepertinya jatah ku di dunia ini hanya mendapat gelar OM. Orang yang memiliki masa lalu kelam seperti ku, sudah pasti tak layak menjadi orang tua di masa depan kelak!' batin Gavriil sedih.
Sembari menyeruput sesendok ramen, Gavriil melontarkan sebuah pertanyaan demi menjawab rasa penasaran nya. "Han, kenapa sih ciwi-ciwi kalau ditanyain mau makan apa, selalu aja jawabnya terserah?"
Mendengar pertanyaan Gavriil, sontak saja tawa Hana pecah.
"Astaga, bisa-bisanya lo nanyain ini," Hana terkekeh.
"Gue serius ini ...!" Gavriil cemberut.
Hana manggut-manggut.
"Kalau ciwi-ciwi lain ya, menurut gue sih karena mereka beneran gak tau mau makan apa, atau ... mereka itu pengen kalian para cowok yang pilih makanan nya. Supaya kalian itu bisa menyesuaikan dengan kondisi ekonomi kalian saat itu. Karena ya, kalau semisalnya cewek yang milih makanannya, terus ternyata salah pilih, makanannya mahal bagi si cowok? Nanti malah bikin cowok jadi insecure. Makanya, jawaban teraman para ciwi-ciwi di luar sana ya, terserah. Tapi, itu hanya menurut gue ya, he ... he ...!" Hana menyengir bagai kuda.
Gavriil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Itu ciwi-ciwi di luar sana ya? Kalau Neng cakep di hadapan gue sekarang?"
Hana tergelak. "Lo ketularan David ya, Gav?"
"Serius gue!" wajah Gavriil bersemu merah.
"Ok, ok, ha ... ha ... -- Kalau gue sih, karena semenjak Ibu meninggal ... gue udah gak pernah dikasih ruang untuk memilih kemauan gue sendiri, Gav. Jadi ... ya ... udah terbentuk gitu aja," balutan kesedihan tak dapat Hana sembunyikan dengan baik dari wajahnya.
Gavriil tertegun mendengar jawaban Hana, wajahnya seolah dapat merasakan kesedihan yang sama.
Melihat Hana kembali menyeruput sesendok ramen, Gavriil pun melakukan hal yang sama. Sesekali pria itu melirik ke area tempat mobilnya terparkir, yang dapat di lihat dari balik kaca.
Selagi melirik ke luar kaca, kedua alis pria itu bertaut. Gavriil meletakkan sendoknya, lalu merogoh ponsel di dalam saku. Lekas ia membidik ke area parkir.
"Han, itu Tuti kan?" Gavriil menunjuk dengan ujung bibirnya yang mengerucut.
Hana menoleh pada yang dimaksud, sontak saja bola mata hazel itu membulat.
Di sana, tepat di depan mobil Gavriil, Tuti menyodorkan sebuah amplop cokelat pada pria asing. Sang pria menyambarnya dengan wajah sumringah.
Gesit pria berjaket kulit itu membuka amplop tersebut, lembaran uang merah membuat pria itu tertawa girang. Membuat Hana semakin penasaran.
"Apa yang mereka bicarakan?" gumam Hana.
*
*
*