Ini kelanjutan kisah aku istri Gus Zidan ya, semoga kalau. suka🥰🥰🥰
****
"Mas, saya mau menikah dengan Anda."
Gus Syakil tercengang, matanya membesar sempurna, ia ingin sekali beranjak dari tempatnya tapi kakinya untuk saat itu belum mampu ia gerakkan,
"Apa?" Ia duduk lebih tegap, mencoba memastikan ia tidak salah dengar.
Gadis itu menganggukan kepalanya pelan, kemudian menatap Gus Syakil dengan wajah serius. "Saya bilang, saya mau menikah dengan Anda."
Gus Syakil menelan ludah, merasa percakapan ini terlalu mendadak. "Tunggu... tunggu sebentar. mbak ini... siapa? Saya bahkan tidak tahu siapa Anda, dan... apa yang membuat Anda berpikir saya akan setuju?"
Gadis itu tersenyum tipis, meski sorot matanya tetap serius. "Nama saya Sifa. Saya bukan orang sembarangan, dan saya tahu apa yang saya inginkan. Anda adalah Syakil, bukan? Anak dari Bu Chusna? Saya tahu siapa Anda."
Gus Syakil mengusap wajahnya dengan tangan, mencoba memahami situasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Pertanyaan yang sulit
Suasana di pasar semakin panas saja,di tambah orang yang berbelanja berlalu lalang membuat udara semakin pengap, suara bising dari pedagang yang menawarkan dagangannya membuat Sifa semakin tidak betah berlama-lama di dalam pasar.
"Ini sudah semua kan? Kita keluar yuk, Farah." ajak Sifa sembari menarik tangan Farah dan Farah hanya bisa pasrah mengikuti langkah cepat Sifa yang memimpin langkah mereka.
"Hehhhhh, akhirnya." Sifa merasa lega begitu keluar dari pintu masuk pasar, "Ini sebenarnya hari apa sih, kenapa pasarnya ramai sekali," keluhnya kemudian membuat Farah tersenyum padanya.
"Setiap hari seperti ini, apalagi kalau pagi hari. Sebenarnya itu tidak begitu ramai di bandingkan jam-jam orang berbelanja." jawab Farah menjelaskan membuat Sifa faham jika Farah mungkin begitu familiar dengan situasi-situasi seperti ini.
Sifa memiringkan kepalanya, mengamati wajah Farah yang terbilang sedikit eksotis, meskipun begitu ia cukup manis dan menarik untuk di lihat, "Emang jam-jam orang belanja jam berapa?"
Farah tersenyum, memalingkan wajahnya saat menyadari Sifa tengah memperhatikan wajahnya, "Jam lima sampai jam enam, biasanya jam segitu ibu-ibu pergi ke pasar."
Sifa menghela nafas, Jam segitu enakan tidur, batin Sifa sembari mengibaskan tangannya yang terasa pegal karena membawa tas belanjaan yang lumayan penuh. Farah yang menyadarinya segera mengedarkan pandangan, mencari sesuatu yang bisa mereka duduki.
"Itu di sana ada penjual es campur, bagaiman kalau kita duduk di sana sebentar sembari minum es campur?" tanya Farah menawarkan diri.
Sifa menatap gerobak penjual es campur itu, penampakannya begitu menggoda dengan warna warni di dalam kaca, ada hijau,merah, hitam dan buah segar yang di potong kecil-kecil, membuat tenggorokannya semakin terasa kering, kemudian ia melihat dompetnya, sisa uangnya tidak banyak, hanya beberapa lembar uang dua ribuan.
"Tenang saja, aku yang traktir." ucap Farah kemudian sepertinya menyadari kebingungan Sifa, Sifa sebenarnya enggan untuk mengiyakan, tapi tenggorokannya butuh asupan air.
"Biar aku aja, aku masih punya uang." jawab Sifa berbasa-basi, Mungkin uangnya masih cukup untuk beli dua porsi es campur, batinya kemudian.
Farah tersenyum, "Tidak pa pa, aku saja. Anggap saja aku traktir kamu, karena aku penggen ngobrol banyak sama kamu, bagaimana? Deal kan."
Akhirnya kali ini Sifa bisa tersenyum lega, setidaknya ia tidak akan pulang dengan jalan kaki jika Farah yang mentraktirnya, "Baiklah, deal."
Mereka pun berjalan beriringan menuju penjual es campur, memilih kursi plastik sebagai tempat duduk, Sifa meletakkan tas belanjaannya di samping tempat duduknya selagi Farah memesan es pada sang penjual. Setelah beberapa saat, Farah kembali menghampiri Sifa dan Sifa segera menggeser kursi plastik kosong di dekatnya agar mereka lebih nyaman saat mengobrol.
"Tadi mau ngobrolin apa?" tanya Sifa kemudian begitu Farah duduk.
Farah tersenyum dan melihat pada penjual es yang tengah sibuk meracik isisna es campur pada dua buah mangkok yang kebetulan itu milik mereka berdua, "Nanti saja, setalah minum es campur. Kamu pasti sangat haus. Kita sudah menyusuri pasar selama hampir dua jam."
Sifa menganggukkan kepalanya pelan, "Iya, aku sampai nggak sadar. Pantas tenggorokanku kering."
"Ndamel es mboten, mbak?" teriakan penjual es menghentikan obrolan mereka. Farah pun bertanya pada Sifa untuk memastikan.
"Sifa, pakek es nggak?" tanyanya dan Sifa pun menganggukkan kepalanya.
"Engkang setunggal ndamel es, setunggal e maleh mboten usah." jawab Farah sopan membuat Sifa ternganga. meskipun ia termasuk kelahiran Blitar, tapi untuk berbahasa Jawa tulen ia masih kagok memilih menggunakan bahasa nasional atau malah lancar berbahasa Inggir.
"Wahhh kamu hebat, Farah. bisa bahasa Jawa halus gitu." puji Sifa.
Farah pun tersenyum, "Itu bukan bahasa Jawa halus, Sifa. Hanya saja boso, untuk menghormati orang yang lebih tua."
"Tapi tetap aja, itu bagiku luar biasa. Aku yang bahasa sehari-hari aja nggak begitu bisa."
Farah mengerutkan keningnya, ia menangkap sesuatu yang ganjil dari wanita di depannya itu, "Kamu bukan orang sini asli?" tanyanya kemudian.
"Orang sini, lahir di sini, usia lima tahun aku tinggal sama nenek aku di jakarta. Dan setelah SMP aku ke inggris sama orang tua aku, baru kembali lagi ke sini satu tahun lalu. Jadi aku harap kamu bisa maklum." ujar Sifa merasa tidak enak hati.
Farah menganggukkan kepalanya, "Ohhh, pantes aja. Aku sedikit kaget waktu kamu bicara pakek bahasa indonesia. Aku pikir kamu bukan orang sini aja."
"Yahhh, begitulah."
Obrolan mereka kembali terhenti saat bapak penjual es mengantarkan pesanan mereka ke meja,
"Monggo mbak, ayu-ayu." ucap penjual es krim dan Sifa hanya bisa tersenyum. meskipun ia faham dengan yang di katakan penjual es krim, ia tidak bisa membalasnya dengan bahasa Jawa.
"Matur nuwun, pak." jawab Farah. Kemudian bapak itu meninggalkan mereka.
"Ayo, minumlah." ajak Farah dan Sifa pun segera menyerupit es nya, tenggorokannya terasa lega begitu es itu melewati batang tenggorokannya yang sudah begitu kering.
Akhirnya .....
Farah sesekali melihat ke arah Sifa, ia seperti tengah menahan sesuatu yang ingin segera ia katakan pada Sifa tapi rasanya masih tercekat di tenggorokan.
"Em..., Sifa." ucapnya begitu mengumpulkan keberanian.
Sifa menghentikan suapannya, kini es di dalam mangkuk itu hanya tinggal beberapa sendok lagi, "Iya, ada apa?"
Farah menggigit bibir bawahnya, mencoba mengurangi rasa cemasnya, "Emm, bagaimana kamu bertemu sama mas Syakil?" tanyanya dengan cepat, "Em, maksud aku, bagaimana kalian bisa menikah?" ralatnya kemudian. Hal yang paling membuatnya penasaran adalah sehari setelah keluarganya datang ke rumah sakit untuk membatalkan pernikahan ia mendengar kabar jika syakil telah menikah dengan seorang gadis. Apa mungkin sebelumnya mereka memang sudah saling kenal lama? atau memang sebelumnya ada hubungan istimewa yang ia tidak tahu? berbagai pertanyaan bergemuruh di kepalanya.
Sifa terdiam, mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan Farah. Ia tidak mungkin mengatakan jika ia menikah dengan Syakil karena insiden itu, atau mengatakan jika ia yang menabrak Syakil hingga kakinya lumpuh dan ia harus bertanggung jawab.
Kringgggg kringgggg kringgggg
Tiba-tiba ponsel Sifa berdering membuat Sifa merasa lega akhirnya bisa terbebas dari pertanyaan Farah, "Ada telpon, aku angkat dulu ya." ijinnya sembari merogoh tas kanva yang menggantung di bahunya dan ternyata dari Syakil.
Dengan cepat Sifa menggeser tombol terima dan menempelkan di daun telinganya, "Hallo mas, ada apa?" ucapnya dengan cepat.
"Assalamualaikum, Sifa. Kamu di mana?" suara di seberang sana, Farah yang tidak sengaja mendengar suara itu, harinya tiba-tiba mencelos. Rasanya masih tidak terima, suara itu yang biasanya menanyakan kabar setiap hari padanya dalam satu bulan ini menghilang bak ditelan bumi dan kini hadir lagi tapi bukan untuknya, untuk wanita lain.
"Waalaikumsalam, mas Syakil. Sifa ada di kedai es campur di depan pasar, sama_,"
"Aku ke sana." jawab Syakil cepat bahkan Sifa belum sempat menyelesaikan ucapannya, "Assalamualaikum."
Klek
Suara telpon di matikan bahkan sebelum Sifa menjawab salamnya.
"Mas Syakil udah nyariin." ucap Sifa kemudian sembari memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas, tapi sepertinya Sifa tidak menyadari perubahan rona wajah Farah saat itu.
Bersambung
malu 2 tapi mau🤭
saranku ya sif jujur saja kalau kamu yg nabrak syakil biar gak terlalu kecewa syakil nya
pasti dokter nya mau ketawa pun harus di tahan....
krn gak mungkin juga lepas ketawa nya...