Ini tentang pengguna Nerkhuzogh antar Negeri Atas Angin. Dunia makin dipenuhi ras Liz-ert yang ingin menguasai Dunia.
Para Liz-ert itu hendak menjadikan manusia sebagai ternak mereka.
Untunglah di berbagai negeri masih ada para pemuda yang di pilih Dewa, Dewi yang membekali Nerkhuzogh.
Bersama mereka dipertemukan dan saling membantu mengatasi masalah yang dibuat para Liz-ert.
100% Fiction
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tenth_Soldier, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kuil Shonti Selamat, Sponyal Mulai Digempur
Mitsuko Izumi menghela napas panjang, tangannya masih erat menggenggam katana suci peninggalan kakeknya. Tubuhnya berlumuran keringat dan debu, namun matanya tetap berkilat penuh tekad. Di sekelilingnya, para yokai sahabatnya berusaha sekuat tenaga menahan serangan Liz-ert yang tersisa.
Okuni Itsumo, yokai Rokuro Kubi, tampak terengah-engah dikepung oleh segerombolan Liz-ert. Lehernya yang panjang melesat ke sana kemari, menghindari serangan musuh yang semakin gencar. Melihat sahabatnya dalam bahaya, Mitsuko segera bertindak.
Dengan cepat, dia mengaktifkan *Víz nerkhuzogh*, kekuatan warisan yang memungkinkannya memanipulasi air. "Kipo, bantu aku!" serunya pada Kappa hijau yang berada tak jauh darinya.
"Baik!" sahut Kipo, lalu menyemburkan air deras dari mulutnya.
Mitsuko mengangkat tangannya, mengendalikan air tersebut hingga membentuk tangan raksasa. Dengan ayunan dahsyat, tangan air itu menghantam para Liz-ert, menghempaskan mereka ke berbagai arah. Okuni terselamatkan.
Sementara itu, di belakang kuil Shontinya, Diablo si Shinigami, Retsuzen si Oni perkasa, dan Zhasi sang kitsune ahli ilusi telah menumpas musuh di area mereka. Kini mereka bergerak ke bagian depan kuil untuk membantu Mitsuko.
"Dari tadi kami hanya melawan sisa-sisa. Rupanya di sinilah medan tempur sesungguhnya," ucap Retsuzen sambil mengencangkan sabuk pelindungnya.
Zhasi menyeringai. "Aku akan membuat mereka melihat neraka sebelum mati," katanya, lalu tangannya bergerak menciptakan ilusi mengerikan.
Di udara, Yoshimitsu, yokai Tengu, terbang melesat sambil menembakkan panahnya ke arah para Liz-ert. Panah itu, yang diperkuat ilusi Zhasi, membuat musuh terjebak dalam ketakutan mereka sendiri.
"Akhirnya kita menang..." gumam Mitsuko setelah pertarungan sengit berakhir. Semua sahabatnya tampak lelah, namun mereka berhasil mempertahankan kuil.
Namun, jauh di seberang lautan, bahaya lain telah menanti.
**NEGERI SPONYAL**
Matahari bersinar terik di langit Sponyal. Di dalam sebuah arena latihan, tiga pemuda tengah beradu keahlian dengan rapier mereka. Ignacio Salvatore, Felipe, dan Eduardo bergerak lincah, saling menangkis dan menyerang.
"Lebih cepat, Felipe! Kalau kau segan, musuh akan menusukmu lebih dulu!" seru Ignacio sambil melancarkan serangan ke arah sahabatnya.
Felipe menghindar dengan sigap, lalu tertawa. "Kau selalu serius, Ignacio."
"Kali ini dia benar," Eduardo menimpali. "Bukankah dia sudah memberitahu kita tentang penglihatannya?"
Ignacio mengangguk. Beberapa hari lalu, *Aurora*, penglihatan dari *nerkhuzogh*-nya, telah memperingatkannya tentang serangan pasukan Liz-ert yang akan datang.
"Kita harus siap. Kota ini akan menjadi medan perang," katanya mantap.
Keesokan harinya, peringatan Ignacio menjadi kenyataan.
Suara dentuman menggetarkan tanah. Getaran itu semakin lama semakin kuat. Penduduk desa berteriak panik, berlarian menyelamatkan diri.
Ignacio dan dua temannya saling berpandangan. "Inilah saatnya!" teriaknya.
Mereka bergegas ke alun-alun kota. Di sana, pemandangan mengerikan tersaji di depan mata mereka. Satu Liz-ert raksasa, dengan tubuh penuh sisik, melangkah maju. Nafasnya membara, matanya merah menyala.
Di belakangnya, gerombolan Liz-ert dalam berbagai ukuran menyebar, siap meneror kota.
"Kita tidak bisa mundur!" Eduardo menghunus rapiernya.
"Tepat! Kita adalah torero, bukan pengecut!" sahut Felipe.
Ignacio mengangkat rapiernya tinggi. "Demi Sponyal, kita lawan mereka!"
Tak lama, pasukan kerajaan tiba, bergabung dalam pertempuran sengit.
Liz-ert Raksasa itu mengayunkan tinjunya, menghancurkan bangunan di sekitarnya. Ignacio dan kedua temannya melompat menghindar.
"Kita harus mengincar kakinya! Buat dia kehilangan keseimbangan!" seru Ignacio.
Felipe dan Eduardo mengangguk. Mereka berlari cepat, menyerang kaki Liz-ert raksasa dengan rapier tajam mereka. Namun, kulit makhluk itu begitu keras.
"Tak mempan!" seru Felipe.
"Tidak... lihat baik-baik!" Eduardo menunjuk bagian yang mulai retak akibat serangan mereka.
Ignacio menyeringai. "Kita teruskan!"
Bersamaan dengan itu, pasukan kerajaan juga bertarung melawan gerombolan Liz-ert. Suara dentingan pedang menggema di udara.
Liz-ert raksasa mengamuk, mencoba menginjak ketiga torero muda itu. Namun mereka terlalu cepat. Ignacio melihat celah dan berlari ke belakang makhluk itu, lalu menusukkan rapiernya tepat di sendi kakinya.
"Rasakan ini!" teriaknya.
Liz-ert raksasa meraung kesakitan, tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan.
Saat itu juga, Felipe dan Eduardo melancarkan serangan terakhir. Dengan sekuat tenaga, mereka menusukkan rapier mereka ke bagian dada makhluk itu.
Raungan terakhir Liz-ert raksasa menggema di seluruh kota sebelum tubuh raksasanya roboh menghantam tanah.
Gerombolan Liz-ert yang tersisa mulai ketakutan. Pasukan kerajaan dengan mudah menumpas mereka yang tersisa.
Ignacio menghela napas panjang, melihat sekelilingnya. Kota mereka selamat, meski banyak yang hancur.
"Kita berhasil..." gumamnya.
Felipe menepuk pundaknya. "Tapi perang ini belum berakhir, sahabatku."
Ignacio mengangguk. "Ya, kita harus bersiap. Ini baru permulaan."
Dari kejauhan, mata-mata Liz-ert yang selamat mengamati jalannya pertempuran. Mereka segera berlari kembali ke tempat asal mereka, membawa kabar buruk bagi pemimpin mereka.
Perang besar semakin dekat.
Bersambung...