para pemuda yang memasuki hutan yang salah, lantaran mereka tak akan bisa pulang dalam keadaan bernyawa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novita Ledo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Kembali ke Dalam Kegelapan
_
Bertahun-tahun telah berlalu sejak peristiwa malam itu. Hutan Giripati tetap menjadi wilayah yang dihindari. Penduduk desa membangun pagar tinggi, melarang siapa pun masuk ke dalam hutan. Namun, meski penjagaan diperketat, bisikan-bisikan dari dalam hutan semakin sering terdengar.
Di dalam hutan, Arga berubah. Wajahnya yang dulu penuh semangat kini dihiasi garis-garis kelelahan. Tubuhnya lebih kurus, tetapi matanya memancarkan kekuatan yang tidak biasa—seperti seseorang yang telah menyatu dengan sesuatu yang lebih tua dan gelap.
Ia bukan lagi sekadar penjaga. Ia adalah bagian dari hutan.
Pada malam tertentu, saat bulan purnama, Arga berdiri di bawah sisa-sisa pohon raksasa yang telah hancur. Ia bisa merasakan kehadiran sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya. Kegelapan itu tidak pernah pergi. Ia hanya tertidur, menunggu saat yang tepat untuk bangkit kembali.
“Aku tahu kau di sini,” gumam Arga pelan, menatap ke dalam bayangan pohon-pohon di sekitarnya. “Apa yang kau tunggu?”
Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang memeluk malam.
Namun, ia tahu. Kegelapan tidak butuh alasan untuk kembali. Dan kali ini, ia tidak akan datang sendiri.
Kedatangan Para Pengembara
Suatu hari, sekelompok pengembara datang ke desa. Mereka adalah pemburu harta karun yang mendengar legenda tentang pohon kegelapan. Dengan senjata modern dan peralatan canggih, mereka yakin bisa mengeksplorasi Hutan Giripati tanpa masalah.
Penduduk desa memperingatkan mereka, tetapi peringatan itu hanya dianggap cerita rakyat.
“Bagaimana mungkin kita takut pada hutan?” kata pemimpin mereka, seorang pria bernama Arya. “Kami punya senjata. Kami punya peta. Kami akan baik-baik saja.”
Malam itu, mereka memasuki Hutan Giripati.
Tidak ada yang mendengar kabar dari mereka selama berhari-hari. Tetapi penduduk desa mulai mendengar sesuatu yang baru—bukan lagi bisikan, tetapi jeritan. Jeritan manusia, bercampur dengan suara tawa mengerikan yang bergema di seluruh desa.
Penduduk tahu, sesuatu telah berubah. Hutan tidak lagi hanya menyimpan kegelapan. Ia mulai menyebar.
Pertemuan Terakhir
Di dalam hutan, Arga bertemu para pengembara. Mereka semua terjebak, wajah mereka dipenuhi rasa takut. Senjata-senjata mereka tidak berguna melawan akar-akar hidup yang menyerang mereka dari segala arah.
“Siapa kau?!” Arya berteriak ketika melihat Arga mendekat.
“Orang terakhir yang bisa menyelamatkan kalian,” jawab Arga datar. “Tapi kalian harus pergi sekarang.”
“Apa yang terjadi di sini?” Arya memegang pistolnya erat-erat. “Kami hanya mencari pohon itu. Harta karun.”
“Harta?” Arga tertawa pahit. “Tidak ada harta di sini, hanya kematian. Dan sekarang kalian telah membangunkannya.”
Sebelum Arya bisa bertanya lebih jauh, tanah di sekitar mereka berguncang. Dari kegelapan, akar-akar hitam besar muncul, melilit salah satu pengembara dan menariknya ke dalam tanah. Jeritannya menggema, tetapi hanya sesaat.
“Hutan ini hidup,” kata Arga sambil menyiapkan pisaunya. “Dan kalian telah menjadi makanannya.”
Arga memutuskan untuk melawan. Ia tahu ia tidak bisa menyelamatkan semuanya, tetapi ia bisa mencoba memperlambat kegelapan agar para pengembara memiliki kesempatan untuk melarikan diri.
Namun, kegelapan kali ini jauh lebih kuat. Pohon raksasa yang dulu ia hancurkan mulai tumbuh kembali. Dari cabang-cabangnya, sosok-sosok yang dikenalnya muncul lagi: Dinda, Andre, Citra, dan Bima. Mereka berdiri di sana, tubuh mereka dipenuhi akar-akar yang menjalar.
“Kau tidak bisa melarikan diri, Arga,” suara Dinda bergema. “Kau adalah milik kami.”
Arga menyerang tanpa ragu. Ia memotong akar yang mencoba meraihnya, tetapi jumlah mereka terlalu banyak.
Salah satu pengembara, Arya, mencoba membantu dengan menembakkan senjatanya, tetapi peluru-peluru itu hanya menembus akar tanpa melukai mereka.
“Kabur sekarang!” Arga berteriak. “Ini bukan pertarungan kalian!”
Arya enggan meninggalkan Arga, tetapi ia tahu bahwa mereka tidak punya peluang. Ia memimpin sisa kelompoknya untuk melarikan diri, meninggalkan Arga sendirian di tengah kegelapan yang semakin menelan hutan.
Pengorbanan Terakhir
Ketika para pengembara berhasil keluar dari hutan, mereka hanya bisa mendengar satu suara: ledakan besar yang mengguncang Hutan Giripati. Asap hitam tebal membubung ke udara, menutupi langit.
Arga telah menggunakan bom yang dibawa para pengembara untuk menghancurkan dirinya dan pohon kegelapan.
Namun, penduduk desa tahu ini hanya sementara. Hutan Giripati adalah tempat di mana kegelapan selalu menemukan jalan kembali.
Dan mereka tahu, suatu hari nanti, suara bisikan itu akan kembali memanggil:
“Arga… kembalilah…”
Kegelapan yang Tak Pernah Mati
Namun, saat malam tiba setelah ledakan itu, penduduk desa dikejutkan oleh fenomena aneh. Langit yang seharusnya dipenuhi bintang tertutup oleh kabut tebal yang menjalar ke seluruh desa. Suara bisikan kembali terdengar, namun kali ini lebih dekat, lebih nyata. Di setiap sudut rumah, di setiap celah jendela, suara itu bergema seperti ribuan nyawa yang berteriak serentak.
Di tengah malam yang mencekam, seorang anak kecil bernama Sari tiba-tiba hilang dari kamarnya. Orang tuanya hanya menemukan jejak kaki kecil yang menuju ke arah hutan. Ketika mereka mencoba mencarinya, akar-akar hitam mulai menjalar keluar dari tanah di tepi desa, meraih apa saja yang ada di dekatnya. Mereka tahu, hutan itu tidak lagi hanya menjadi masalah bagi yang masuk ke dalamnya. Hutan itu sekarang mulai keluar mencari mereka.
Ketika fajar menyingsing, desa itu tampak kosong. Rumah-rumah ditinggalkan begitu saja, pintu-pintu terbuka lebar, dan tidak ada satu pun tanda kehidupan. Dari kejauhan, di tengah kabut yang masih menggantung, terlihat bayangan tinggi seperti siluet pohon raksasa yang baru. Pohon itu tampak lebih besar dan kelam dari sebelumnya, dahan-dahannya seperti tangan yang menjulur ke desa, siap merenggut siapa pun yang mencoba melarikan diri. Bisikan itu masih terdengar, menggema di udara pagi:
“Arga… kau tidak bisa melarikan diri dari kami…”
__