Dipinang adiknya, tapi dinikahi kakaknya. Loh!! Kok bisa? Terdengar konyol, tapi hal tersebut benar-benar terjadi pada Alisya Mahira. Gadis cantik berusia 22 tahun itu harus menelan pil pahit lantaran Abimanyu ~ calon suaminya jadi pengecut dan menghilang tepat di hari pernikahan.
Sebenarnya Alisya ikhlas, terlahir sebagai yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan tidak dapat membuatnya berharap lebih. Dia yang sadar siapa dirinya menyimpulkan jika Abimanyu memang hanya bercanda. Siapa sangka, di saat Alisya pasrah, Hudzaifah yang merupakan calon kakak iparnya justru menawarkan diri untuk menggantikan Abimanyu yang mendadak pergi.
*****
"Hanya sementara dan ini demi nama baikmu juga keluargaku. Setelah Abimanyu kembali, kamu bisa pergi jika mau, Alisya." ~ Hudzaifah Malik Abraham.
Follow ig : desh_puspita
******
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 - Harus Ada Action-Nya
Belum sempat normal detak jantung Alisya pasca Hudzai menarik pinggangnya, kini semakin menjadi manakala pria itu melakukan hal yang lebih tidak terduga lagi.
Walau memang tidak begitu lama, tapi yang tadi Hudzai lakukan memang hanya kecupan, tapi tetap saja jiwa Alisya dibuat seolah porak-poranda.
Tubuhnya sampai terasa dingin, lidah Alisya kelu dan tak lagi dapat bicara. Selama Hudzai masih bertahan di posisi yang sama, selama itu juga Alisya menahan napas saking gugupnya.
"Yang mana saja, Sayang, terima kasih sudah mau direpotkan," ucap Hudzai memilih salah-satu baju di tangan kanan sang istri secara acak, yang mana saja.
Usai membuat jantung Alisya seolah berhenti sejenak, dia berlalu tanpa kata. Alisya yang ditinggal sampai bingung, dia bertanya-tanya dalam kesendirian seraya menyentuh bibirnya beberapa saat.
"Yang tadi apa? Aa' Hudzai beneran cium, 'kan?"
Sembari menatap punggung Hudzai yang kian menjauh, pertanyaan itu masih begitu membekas di benaknya. Ada beberapa opsi, sekadar latihan atau sebagai ucapan terima kasih.
Akan tetapi, jika kecupan itu adalah ungkapan terima kasih, rasanya tidak mungkin. Kembali pada kemungkinan pertama, lebih meyakinkan karena seingat Alisya, tadi siang memang Hudzai seolah dipandang cupu oleh semua anggota keluarganya.
Tidak hanya oleh anggota keluarganya yang laki-laki, tapi perempuan juga demikian. Bahkan, Mama Syila sendiri memohon pengertian andai Hudzai tak berinisiatif sebagai laki-laki.
"Iya-iya, aku rasa latihan ... tapi, kenapa bisa sesantai itu? Dia juga tidak gugup setelahnya? Atau memang sudah latihan? Tapi sama siap_ck, apa yang kamu pikirkan, Alisya."
Tidak ingin gila sendirian usai mendapat kecupan dadakan dari sang suami, Alisya menggeleng cepat dan berusaha memikirkan sisi positifnya.
Masuk akal sebenarnya jika Hudzai mulai belajar, toh itu juga hal baik baginya. Seperti kata Umi Zalina, satu-satunya hal yang bisa dilakukan di posisi mereka hanya satu, berusaha menerima.
Jadi, bisa jadi hati Hudzai memang sangat terbuka dan benar-benar menerimanya sebagai istri. Ya, begitu pikir Alisya berusaha menyederhanakan dugaannya.
Dan, jika Hudzai telah belajar maka dirinya juga demikian. Walau memang agak bingung harus memulai dari mana, tapi sebagai wanita Alisya akan mengikuti alurnya.
Beberapa saat setelah silahturahmi bibir itu digelar secara tiba-tiba, Hudzai kembali dalam keadaan sudah berpakaian lengkap juga dengan wajah dan lengannya tampak basah. Kemungkinan kembali berwudhu karena kebetulan sudah mendekati waktu magrib.
Sejenak, Alisya terbius dengan ketampanannya. Dalam keadaan diam, wajah datar dan tanpa senyuman begitu ketampanan Hudzaifah seolah bertambah dua kali lipat, sungguh.
Bukan berarti dia menyukai Hudzai yang tampak dingin, tapi memang jika sudah begitu auranya lebih terpancar saja di mata Alisya. Padahal Haura bilang Hudzai tanpa senyuman terlalu menakutkan.
"Jangan terlalu lama menatapku, berat tanggung jawabku sampai kamu jatuh cinta lebih dulu."
"Heh?"
Alisya mengerjap pelan, rasanya sejak tadi Hudzai sama sekali tidak melihat ke arahnya. Lantas, apa maksud ucapannya? Apa mungkin sengaja menyindir? Tapi, kenapa bisa sepeka itu, pikirnya.
"Aa' ngomong sama siapa?"
"Sama hantu," sahut Hudzai tanpa menatap lawan bicaranya.
Maklum saja dia masih fokus mengeringkan rambut yang terpaksa dia basahi akibat drama on-fire padahal tidak sedang digoda atau semacamnya.
"Wah ... Aa' punya kemampuan untuk berkomunikasi dengan mereka?" tanya Alisya sekali lagi dan untuk yang kali ini, Hudzai sampai menghentikan kegiatannya.
Entah siapa yang salah dan dimana letak salahnya, sama sekali Hudzai tidak menduga jika Alisya akan meganggap serius jawabannya.
"Hantu apa yang secantik itu," gumam Hudzai seraya menggeleng pelan.
"Apa A'?"
"Tidak!!"
"Heum?" Penasaran dengan apa yang tadi dia dengar, Alisya mendekar dan sontak membuat Hudzai mengangkat kedua tangannya.
"Jangan mendekat, kamu mau apa?"
"Mau tanya saja, tadi Aa' bilang apa? Neng kurang dengar soalnya."
"Yang mana?"
"Yang barusan," jawab Alisya berusaha membuat Hudzai agar dapat mengingat ucapannya.
"Yang mana sih? Rasanya tidak bilang apa-apa."
"Ih, adaaaaa ... sebelum Neng nyamperin Aa' loh," jelasnya sekali lagi dan Alisya rasa sudah sangat jelas dan dapat dimengerti.
Hudzai yang menanggapi juga seolah berpikir keras dan berusaha memenuhi rasa penasaran Alisya.
Tidak sebentar, tapi cukup lama dan justru berakhir dengan. "Lupa," jawabnya singkat, padat dan berakhir helaan napas kasar dari Alisya.
Susah payah menunggu, sudah sesabar itu tapi berakhir penasaran juga. Melihat reaksi sang istri yang tampak sebal, Hudzai tertawa pelan.
Jurus pura-pura lupanya sangat berguna, sungguh Hudzai tidak mengira bahwa sang istri akan mendengar suaranya. Padahal, menurut keyakinan Hudzai, dia sudah bicara dalam hati, bukan lewat lisannya.
.
.
"Tapi aku benar-benar penasaran ... maksud A' Hudzai cium tadi apa ya?"
Sempat sedikit lebih tenang bahkan menarik kesimpulan beberapa waktu lalu. Akan tetapi, selepas shalat Isya dan masih duduk di atas sajadah, Alisya lagi dan lagi memikirkan hal yang sama.
Alasan kenapa Hudzai menciumnya seolah menjadi misteri. Tanpa sebab jelas, mendadak hatinya goyah bahkan sempat terpikir akan melakukan shalat istikharah untuk menemukan jawabannya.
Padahal andai dia memiliki keberanian tinggal tanya saja. Akan tetapi, anehnya saat ini Alisya merasa belum sedekat itu untuk membahas sesuatu yang sifatnya teramat intens.
Itulah kenapa dia memilih untuk memendam sendiri dan berakhir dilema dalam kesendirian. Cukup lama Alisya melamun, baru setelah pintu kamar dibuka dari luar dia menoleh dan beranjak dari atas sajadah.
"Assalamualaikum."
"Waaalikummussalam, Aa' pulang?"
Sembari menghampiri sang suami dengan langkah panjang, Alisya mengulas senyum penuh makna. Seolah kehadirannya memang ditunggu dengan sengaja dan sejak waktu yang lama.
"Iya, agak lama ya?"
"Tentu saja, sudah jam berapa tuh ... Aa' kemana dulu?"
Tak segera menjawab, Hudzai tersenyum simpul dan mengajaknya untuk segera masuk. Kemungkinan besar memang tidak langsung pulang dari masjid, melainkan belanja lebih dulu.
Hal itu dapat dibuktikan dengan kantong plastik berwarna putih yang Hudzai bawa dan cukup membuat Alisya penasaran apa isinya.
"Aa' dari mana?"
"Temenin Kak Azka beli roti buat Athar ... sekalian saja," ucap Hudzai kemudian memberikan kantong belajaan itu pada sang istri segera.
"Ini apa?"
"Buat kamu, buka saja," titah Hudzai dan ya, hal itu Alisya anggap lampu hijau hingga dia memeriksa satu persatu barang belanjaan sang suami.
Cukup banyak, berbagai snack dan ice cream ada di sana. Sungguh perhatian kecil yang membuat Alisya merasa sangat berharga.
"Masya Allah, Aa' banyak sekali ... ini buat Neng semua?"
Hudzai mengangguk mantap. "Buat siapa lagi kalau bukan kamu?"
Mata Alisya seketika berkaca-kaca, terlalu banyak luka hingga membuatnya mudah sekali terharu dengan hal-hal semacam ini.
"Masya Allah, A' Hudzai terima kasih ya!!" serunya mulai berani mengenggam tangan sang suami malam ini.
Tak hanya itu, dia juga sengaja mendekat dan terus menatap lekat wajah tampan Hudzaifah yang kini bertopang dagu tatkala Alisya sedang bicara.
"Terima kasih saja?" tanya pria itu menaikkan alis.
"Hem? Te-terus Neng harus gimana?"
"Ya minimal harus ada action-nya ... jangan cuma pakai kata."
"Action? Apalagi itu?"
.
.
- To Be Continued -