Hati siapa yang tak bahagia bila bisa menikah dengan laki-laki yang ia cintai? Begitulah yang Tatiana rasakan. Namun sayang, berbeda dengan Samudera. Dia menikahi Tatiana hanya karena perempuan itu begitu dekat dengan putri semata wayangnya. Ibarat kata, Tatiana adalah sosok ibu pengganti bagi sang putri yang memang telah ditinggal ibunya sejak lahir.
Awalnya Tatiana tetap bersabar. Ia pikir, cinta akan tumbuh seiring bergantinya waktu dan banyaknya kebersamaan. Namun, setelah pernikahannya menginjak tahun kedua, Tatiana mulai kehilangan kesabaran. Apalagi setiap menyentuhnya, Samudera selalu saja menyebutkan nama mendiang istrinya.
Hingga suatu hari, saudari kembar mendiang istri Samudera hadir di antara carut-marut hubungan mereka. Obsesi Samudera pada mendiang istrinya membuatnya mereka menjalin hubungan di belakang Tatiana.
"Aku bisa sabar bersaing dengan orang yang telah tiada, tapi tidak dengan perempuan yang jelas ada di hadapanku. Maaf, aku memilih menyerah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Bukan ini
Samudera yang mengkhawatirkan keadaan anaknya pun segera berlari menuju ruangan sang anak. Namun saat pintu terbuka, yang terlihat adalah sang putri yang sedang tertidur dalam buaian Tatiana. Ia menggendong Ariana penuh kasih. Kepala Ariana tampak bersandar nyaman di dada Tatiana. Tak dapat Samudera pungkiri, memang sifat Tatiana begitu keibuan. Bahkan hanya dalam hitungan hari, putrinya sudah bisa begitu dekat dengan perawat tersebut.
"Ah, dokter Samudera. Ariana baru saja tertidur. Sebentar, saya akan membaringkannya," ujar Tatiana gelagapan saat melihat keberadaan Samudera yang sudah masuk kembali ke ruangan itu.
Dengan perlahan dan hati-hati, Tatiana mencoba membaringkan tubuh Ariana, namun tanpa diduga, Ariana kembali menangis saat tubuhnya hendak dibaringkan. Bahkan kedua tangannya tampak mencengkeram erat baju Tatiana.
Samudera lantas mencoba mengambil alih Ariana, tapi bukannya diam ataupun senang, balita itu justru makin mengencangkan tangsinya. Ibu Samudera yang kembali masuk ke ruangan itu pun sampai panik mendengar tangisan itu.
"Coba biarkan Tatiana menggendong Ana!" ujar ibu Samudera.
Dengan sedikit gugup, Tatiana kembali mencoba mengambil alih Ariana, dan benar saja, hanya dalam hitungan detik, tangis balita itupun mereda. Bahkan ia kembali tidur dengan nyenyak setelahnya.
"Maaf sudah merepotkan mu," ujar Samudera yang sebenarnya merasa tak enak hati. Padahal ini jam pulang Tatiana setelah berganti shift dengan sesama rekannya. Tapi karena Ariana yang tidak mau dirawat perawat lain membuat Tatiana terpaksa menunda kepulangannya.
"Ti-tidak masalah, dok," ujar Tatiana sambil mengulas senyum.
Ibu Samudera merasa takjub dengan apa yang dilihatnya. Hal itu menguatkan keinginannya untuk menjadikan Tatiana sebagai menantunya. Ia yakin, Tatiana bisa menjadi seorang istri sekaligus ibu yang baik bila menikah dengan Samudera.
Setelah bujukan demi bujukan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, akhirnya sebulan kemudian Tatiana pun berhasil mereka nikahkan dengan Samudera.
Tatiana awalnya tidak menyangka dilamar orang tua Samudera, tapi karena ia sudah lama memendam cinta, ia pun menerima tanpa pikir panjang terlebih dahulu. Ia tak masalah Samudera belum mencintainya. Ia pun tak masalah kalau Samudera masih terpenjara dalam cinta mendiang istrinya. Sebab Tatiana yakin, perlahan tapi pasti, cinta itu akan tumbuh subur di kemudian hari.
...***...
Kembali ke masa kini, tanpa terasa dua tahun setelah Tatiana menikah dengan Samudera. Tatiana merasa hidupnya bahagia meskipun sikap Samudera masih sama dinginnya. Tapi setidaknya, Samudera mengacuhkannya. Bahkan Samudera mencukupi segala kebutuhannya.
Namun namanya perempuan, kadangkala selalu terbebani dengan rasa penasaran. Adakah Samudera mencintainya? Adakah Samudera mengasihi dirinya seperti dirinya yang bukan hanya mencintai, tapi juga begitu mengasihi Samudera dan putri sambungnya.
Di usia pernikahan kedua tahun ini, Tatiana belum juga dikaruniai seorang anak. Bukan karena ada gangguan dalam rahim, tapi ini atas permintaan Samudera sendiri.
"Minum obat ini!" Ujar Samudera setelah mereka melewati malam pertama.
"Ini," mata Tatiana terbelalak saat melihat apa yang Samudera berikan padanya.
"Iya. Ini pil kontrasepsi. Maaf, bukannya aku tidak mau memiliki anak darimu, hanya saja aku belum siap," ujar Samudera kala itu.
Sebenarnya hari Tatiana sedikit sakit. Tapi mengingat kalau Samudera akhirnya mau menyentuhnya setelah satu bulan pernikahan, Tatiana harus menepis rasa sakit itu.
Ya, Samudera baru menyentuh Tatiana setelah satu bulan pernikahan. Tatiana tidak menuntut pun memaksa hak batinnya tersebut. Ia sadar, Samudera belum mencintai dirinya. Ia maklum. Oleh sebab itu, saat ia mendengar Samudera belum mau memiliki anak darinya, ia berusaha menerima. Ia yakin, setelah Samudera mulai mencintainya, ia pun pasti mau memiliki anak darinya.
"Mas, mau langsung sarapan?" tanya Tatiana saat melihat Samudera turun dari lantai dua.
Samudera yang sedang membenahi dasinya pun menoleh, kemudian mengangguk.
Tatiana tersenyum kemudian ia pun segera melangkah ke meja makan. Di sana Ariana sudah duduk dengan manis menunggu kedua orang tuanya.
"Anak ayah sudah lapar?" tanya Samudera setelah melabuhkan kecupan di puncak kepalanya.
"Iya, ayah. Perut Aja udah kucuk-kucuk dari tadi," ujar Ariana yang kini sudah berusia 5 tahun lebih.
Samudera terkekeh. Kemudian matanya bersirobok dengan netra Tatiana yang terkesima dengan tawanya. Samudera pun segera menarik sudut bibirnya yang tadi merekah menjadi datar. Tatiana tersenyum miris, bahkan untuk menikmati tawa suaminya saja ia seakan tidak berhak.
'Benarkah aku bahagia? Apakah ini kebahagiaan yang ku cari?'
Tatiana tak ingin menunjukkan sisi rapuhnya pada anak dan suaminya. Jadi ia segera memperbaiki ekspresi wajahnya agar terlihat ceria.
"Mas mau makan pakai apa?"
Di meja terhidang nasi uduk, telur dadar, kering tempe, tumis bihun, dan opor ayam.
"Apa saja, terserah," ucapnya datar.
Entah mengapa, rasa bahagia yang dulu Tatiana gaung-gaungkan asal bisa hidup bersama Samudera kian terasa hambar.
Bukan ini. Bukan seperti ini bahagia yang ia cari. Tapi, ia sangat mencintai Samudera. Meskipun ia tak pernah ada di hati Samudera, tapi untuk kehilangannya, Tatiana lebih tak sanggup.
Membayangkan Samudera direnggut darinya saja membuat dadanya sesak, apalagi kalau ia benar-benar kehilangan. Mungkin Tatiana akan mati.
Dengan tetap mempertahankan senyumannya, Tatiana pun mulai menyendokkan nasi beserta lauk-pauknya ke atas piring Samudera. Setelahnya, ia juga menyendokkan nasi, telur dadar, bihun tumis, dan opor ayam untuk Ariana.
"Emmm ... Enak. Masakan bunda emang yang paling enak," puji Ariana dr tersenyum lebar. "Benarkan ayah?" ujarnya pada sang ayah.
Samudera terperanjat, kemudian ia mengangguk tanpa bersuara.
...***...
Ketiga orang itu akhirnya telah menyelesaikan sarapan paginya. Seperti biasa, Ariana akan pergi ke sekolah diantar Samudera sebelum pergi bekerja. Tatiana pun segera membantu Ariana bersiap, setelahnya ia segera beranjak ke depan.
"Mas," panggil Tatiana.
"Hmmm ... "
"Itu ... dasinya," ujar Tatiana gugup. Ia pun segera berdiri di hadapan Samudera untuk memperbaiki dasinya yang belum rapi.
Samudera memandangi wajah Tatiana. Saat Tatiana ingin mengangkat wajahnya, Samudera pun segera memalingkannya wajahnya ke arah lain.
"Terima kasih," ucap Samudera datar.
'Bahkan untuk memandang wajahku saja, kau tak mau, Mas.'
Setelah mobil Samudera menghilang dari pandangannya, pandangan Tatiana mengabur.
"Sudah dua tahun, sudah dua tahun aku menunggu, apakah di dalam hatimu belum juga ada namaku, Mas. Sampai kapan aku harus menunggu? Sampai kapan? Apa sampai aku merasa lelah? Lelah jiwa dan raga."
Tatiana tak dapat membendung air matanya lagi. Ia pun segera masuk ke dalam rumah, kemudian berjalan menuju kamar. Ia menutup pintu kamarnya, tubuhnya pun luruh seiring luruhnya rinai hujan dari pelupuk matanya.
Tatiana mencengkeram baju di dada kanannya. Sakit. Itu yang ia rasakan.
Tiba-tiba ponselnya berdering nyaring. Tatiana pun segera berjalan menuju nakas dan mengambil ponselnya.
"Halo, assalamu'alaikum, Bu," ucap Tatiana saat panggilan terhubung.
"Nduk, kamu kenapa? Kamu sakit?" tanya ibu Tatiana saat mendengar serak suara sang putri.
"I-iya, Bu. Tiana agak batuk ini," dusta Tatiana.
"Oh. Syukurlah. Ibu pikir kamu habis nangis, Nduk. Tapi yo ndak mungkin kan, secara kamu tuh bahagia banget bisa nikah sama nak Samudera," kekeh ibu Tatiana membuat Tatiana tersenyum miris.
"Oh, ya, ibu kenapa telepon Tiana?"
"Oh, Ndak apa-apa kok, Nduk. Ibu cuma kangen aja."
Tatiana tersenyum, "ya udah, nanti setelah jemput Ariana, Tiana ke sana ya, Bu. Tiana juga sudah kangen sama ibu. Tiana rasanya ingin banget cerita ke ibu bagaimana rumah tanggaku sebenarnya, tapi aku takut membebani ibu. Aku takut ibu sedih," ujarnya.
"Apa ndak merepotkan, Nduk?"
"Nggak kok, Bu."
"Ya udah, tapi hati-hati di jalan ya, Nduk. jangan lupa izin sama Nak Sam juga. Ingat, ridho istri itu ada dalam ridho suami."
"Iya, Bu. Tiana ingat kok."
Setelah bercakap-cakap sebentar, Tiana pun memutuskan panggilan itu.
...***...
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...