Difiar Seamus seorang penyihir penyedia jasa pengabul permintaan dengan imbalan sesuka hatinya. Tidak segan-segan Difiar mengambil hal berharga dari pelanggannya. Sehingga manusia sadar jika mereka harus lebih berusaha lagi daripada menempuh jalan instan yang membuat mereka menyesal.
Malena Safira manusia yang tidak tahu identitasnya, pasalnya semua orang menganggap jika dirinya seorang penjelajah waktu. Bagi Safira, dia hanyalah orang yang setiap hari selalu sial dan bermimpi buruk. Anehnya, mimpi itu merupakan kisah masa lalu orang yang diambang kematian.
Jika kalian sedang putus asa lalu menemukan gubuk tua yang di kelilingi pepohonan, masuklah ke dalam penyihir akan mengabulkan permintaan kalian karena mereka pernah mencicipi rasanya ramuan pengubah nasib yang terbukti ampuh mengubah hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gaurika Jolie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Denah Lokasi Bar Penyihir
Jam menunjukkan pukul 9 malam. Sepanjang hari wanita yang sebelumnya putus asa dengan kehidupan, kini memanfaatkan waktu seharian untuk tidur karena telah menemukan alasan baru untuk bangkit. Saat ini dirinya sedang melihat berita perkembangan kasus pembunuhan istri pertama.
Seseorang mengirim link internet yang mengunggah berita tentang para pelaku yang sudah ditangkap. “Yes! Yohan dan istrinya kena pasal berlapis!”
Betapa bahagianya Safira malam ini karena ucapannya terbukti benar. Orang yang mengirim link internet kembali mengirim pesan.
[Terima kasih, Dek, udah bantu singgung tentang masalah pembunuhan di awal. Padahal keluarga udah pasrah polisi nggak sigap menangani laporan yang aku ajukan. Seperti ada keajaiban jasad Mama ditemukan sebelum kita ke sana.]
Safira membalas pesan itu penuh kegembiraan karena keberuntungan dimulai hari ini. Dirasa semua sudah beres, Safira kembali menatap dirinya dari pantulan cermin.
Pipi dia pegang seraya memamerkan deretan gigi yang rapih. “Mau ketemu dua cowok tampan harus cantik.”
Dengan cepat Safira menyambar tasnya di meja lalu menuju tempat kerja yang baru. Dirinya langsung sadar jika tidak tau arah tempat bar penyihir.
“Aku ingat habis dari rumah sakit jalan lurus terus!”
Safira memutuskan naik taksi menuju ke rumah sakit. Sepanjang jalan berada di dalam taksi, dirinya masih membaca berita yang mengabarkan penangkapan suami-istri yang membunuh istri pertama di luar negeri. Safira masih geleng-geleng kepala.
“Selain mesum, Yohan juga psiko!”
Banyak komentar yang mengutuk mereka karena merasa miris oleh tindakan mereka yang terlampaui batas. Hanya karena harta mereka rela menghabisi nyawa seseorang. Kini, mereka harus mendapatkan ganjaran atas perbuatan yang telah dilakukan.
Taksi pun berhenti, Safira langsung membayar. Setelah di luar dia hanya ingat berjalan lurus dari arah kanan gerbang rumah sakit.
“Seingat ku sepanjang jalan hanya ada ruko-ruko atau bangunan rumah. Mana mungkin ada rumah yang seperti berada di hutan!”
Walaupun dia meragukan ingatannya, kakinya tetap melangkah mengikuti kata hatinya. “Bisa-bisanya aku jalan sambil melamun.”
Beberapa kilo meter telah Safira tempuh, tetapi tidak ada tanda-tanda gubuk di tengah-tengah pepohonan. “Sebenarnya gubuk itu nyata nggak, sih!”
Lain sisi, Difiar yang menunggu kedatangan Safira hanya bisa mengetuk-ngetuk meja. Samuel yang sibuk mengetik di depan laptop hanya melirik sekilas.
“Safira biar aku jemput, dia pasti nggak tau jalan ke sini,” ujar Samuel yang hendak beranjak dari tempat duduk, tetapi ketukan jari Difiar berhenti sehingga Samuel duduk kembali.
“Kamu menyukainya?”
Samuel tentunya mengangguk mantap. “Dia orang yang pernah aku katakan waktu itu, manusia yang bisa baca kartu tanda pengenal waktu cari pekerja. Dia berani banget ngusir anjing!”
“Orang yang buat kamu mau berhenti main perempuan?” Difiar menahan diri agar tidak menunjukkan kecemburuannya. Bagaimanapun Safira cinta pertamanya dan hanya untuknya.
Difiar hanya bisa mengembuskan napas, lalu membatin, ‘Nggak akan aku biarkan kamu mendapatkannya!’
“Iya! Makanya itu aku mau jemput dia. Bukannya udah aku kasih tau sebelumnya, huh?"
“Memang pekerjaan kamu udah selesai? Kalau udah nggak masalah kamu mau pergi ke manapun,” jawab Difiar menunjukkan wajah jutek.
Samuel kembali melirik. “Kenapa nggak kamu aja yang jemput, daripada nggak ada kerjaan.”
“Untuk apa? Nanti juga sampai.” Dalam hatinya Difiar juga mencemaskan Safira karena hampir tengah malam dia belum sampai.
“Kamu nggak cemas? Dia itu karyawan kamu, kalau ada apa-apa sama dia kamu mau tanggung jawab? Sekarang udah malam, rawan buat wanita jalan sendirian di tengah malam!” Samuel meninggikan suaranya hingga Difiar menggebrak meja.
“Dia bisa jaga diri. Lebih baik kamu gantiin pekerjaannya. Mungkin aja dia kabur, kita nggak tau busuknya Safira seperti apa,” ujar Difiar lalu teringat sesuatu. “Kamu mau pergi nanti jam 3 malam, kan? Pilihlah, selesaikan pekerjaan kamu atau menunda pesta nanti.”
Kepedulian terhadap gadis incarannya jadi teralihkan sehingga Samuel memutuskan naik ke kamarnya. “Aku kerjakan sekarang! Kamu beneran enggak peduli sama Safira?”
“Enggak. Memang aku pernah peduli sama kamu?”
Samuel membereskan barang-barangnya seraya mengangguk. “Benar, kamu nggak pernah peduli sama siapapun!”
Kembali pada usaha Safira yang masih mencari jalan menuju bar penyihir ternyata jam menunjukkan pukul 10 malam, seharusnya sudah ada di sana untuk siap-siap kerja. Akhirnya, Safira lari sekuat tenaga.
Kakinya tidak kuat lagi berlari. Akhirnya, dia duduk di tepi jalan. “Dari banyaknya orang di bumi ini, sepertinya hanya aku yang ke mana-mana jalan kaki dan lari. Kendaraan pribadi seperti barang mewah yang aku punya. Takdirku begini banget!”
Waktu terbuang sia-sia karena mengeluh tidak ada gunanya. Dia memilih jalan cepat sampai menempuh jarak satu jam. Tidak kuat berjalan lagi, kakinya berhenti di samping sungai. Keringatnya bercucuran, tetapi tidak masalah karena udaranya dingin.
Safira melihat sekitar yang di kelilingi pepohonan. Setelah sadar tempat tujuannya seperti sekarang ini, dirinya berjalan mengikuti arah, terlihat cahaya terang menyambutnya. Batinnya banyak berharap jika cahaya itu mengarah pada tempat tujuannya.
Cahaya itu perlahan redup menampilkan gubuk tua yang masih gelap. Safira tertatih-tatih karena menempuh perjalan dua jam. Ketika membuka pintu, dirinya merasa ada yang menarik pintu itu dari dalam hingga badannya lunglai.
Difiar yang juga tengah buka pintu terkejut melihat Safira yang hampir ambruk. Tangannya dengan cepat menangkap tubuh lemas itu agar tidak jatuh.
“Hey! Sekarang jam berapa? Kamu terlambat di hari pertama kerja!” tegur Difiar melihat Safira dengan tajam.
Safira memegang lengannya sebagai pegangan. “Anu—”
Melihat Safira dibanjiri keringat, tangan Difiar mengusap keringat di dahi Safira menggunakan lengan kaosnya. Mata Safira terpejam setelah sadar jarak mereka dekat.
Samuel yang baru turun dari lantai atas terkejut melihat Safira berada dalam dekapan Difiar. Hatinya merasa sakit jika ada hubungan di antara mereka.
“Kalian mesra-mesraan?”
Mendengar Samuel datang, Difiar mendorong Safira dan menjauh. Samuel langsung teleportasi menangkap badan Safira yang terhuyung.
Safira kesal karena jadi alat mainan mereka, karena takut dilempar lagi, Safira mendorong Samuel hingga dirinya berdiri sendiri.
“Dih, mana ada! Sama sekali nggak tertarik sama manusia!” balas Difiar menaruh tangannya di samping pinggang. “Kenapa jam segini baru datang?”
“Aku nggak tau jalan ke sini! Kenapa kalian nggak kasih tau dari awal!” jawab Safira dengan berteriak meluapkan kekesalan.
Pria angkuh itu mengedikan bahunya. “Kamu nggak tanya.”
Jawaban Difiar buat Safira mengingat usahanya. “Aku jalan cari tempat ini selama dua jam! Seharusnya kamu kasih tau karena aku nggak tau akhirnya gini!”
Difiar sampai mengerutkan dahi karena berisik. “Kamu punya hp kenapa nggak dipakai?”
Seketika Safira mengulum bibirnya. Safira membenarkan ucapan Difiar kali ini sebab dirinya mempunyai nomor penyihir itu.
“Kamu bisa hubungi aku kapan aja! Bar ini nggak ada denah lokasinya karena khusus ditemukan sama orang yang lagi putus asa!” Balasan dari Difiar seakan membuat Safira sia-sia protes.
“Kenapa kamu nggak cari aku? Seharusnya kamu memastikan kabar karyawan kamu karena belum datang,” cibir Safira seraya memutar kedua bola matanya.
“Kamu pikir aku buka pintu tadi mau tidur di kamar?” Difiar langsung diam tidak melanjutkan perkataan karena ada Samuel.
“Katanya nggak peduli sama Safira. Aku tadi menawarkan diri mau jemput tapi kamu nggak boleh dan suruh gantiin posisi Safira dulu. Berarti kamu mau ke luar niatnya jemput Safira?”
“Penyihir nggak punya belas kasihan sama manusia!”
Safira kesal lama-lama berdebat dengan Difiar yang tidak pernah selesai. Kakinya menuntun untuk duduk ke kursi sehingga Samuel mengambilkan air.
Mereka pindah tempat debat sekarang dimulai dari Difiar mengajukan pertanyaan, “Perjalanan kamu 2 jam dari rumah ke sini, berarti berangkat jam berapa?”
Setelah minum Safira menunjukkan 9 jarinya. “Shift malam biasanya segitu.”
Difiar mengembuskan napas melihat Safira sedikit marah. “Kamu tau habis matahari terbenam nggak?”
“Sekitaran jam 7 nggak, sih?” Safira berpikir yang langsung ingat keberangkatannya, dirinya hanya bisa tertawa kecil. “Aku kerjakan tugasku sekarang!”
“Terlambat!”
Safira merasa bersalah. “Maaf, ya, lain kali berangkat lebih awal. Terus aku setiap hari harus putus asa dulu biar bisa sampai sini?”
“Enggak, kok. Kamu kalau mau ke sini pilih jalan berlainan arah sama keinginan kamu, misalnya kamu mau ke kanan berarti kamu ambil kiri dan sebaliknya. Begitu terus sampai menemukan jalan. Biasanya hanya 5 menit aja,” terang Samuel seraya memperagakan.
Wanita berambut gelombang itu mengangguk-angguk paham walaupun hatinya masih jengkel mereka tidak memberitahu dari awal. “Semudah itu?”
“Iya, ini kan bar penyihir.”
Safira mengacungkan kedua jempolnya. “Makasih. Nama kamu siapa biar aku ingat?”
“Samuel. Jadi, kamu belum tau namaku? Parah!” Samuel protes sambil geleng-geleng kepala.
Difiar membuang pandangannya dari Safira karena dirinya lebih memilih menghadap Samuel ketika ada dirinya.
“Ikut aku!”