Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.
Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.
Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.
Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan
Tanpa sorak-sorai atau gemuruh kebahagiaan seperti kebanyakan pernikahan. Revan dan Karina berdiri di depan meja akad nikah, di sebuah rumah kecil yang tersembunyi dari gemerlap kota. Hanya ada penghulu, dua saksi, dan beberapa bunga sederhana yang menghiasi ruangan.
Karina mengenakan kebaya putih sederhana. Wajahnya yang biasa dipenuhi senyuman kini terlihat tenang, meskipun masih ada jejak kecemasan di matanya. Di sampingnya, Revan berdiri dengan setelan jas hitam. Ia terlihat tegas, namun ada kilatan kekhawatiran di balik sikapnya yang tenang.
"Revan Alvaro Mahendra," suara penghulu memecah keheningan, "apakah Anda menerima Karina Althafiyah binti Darto sebagai istri Anda, dengan maskawin berupa cincin emas ini dibayar tunai?"
Mata Karina melirik ke arah Revan, mencari kejujuran di wajah pria itu. Revan menarik napas panjang sebelum menjawab.
"Saya terima nikahnya Karina Althafiyah binti Darto dengan maskawin tersebut, tunai."
Kata-kata itu meluncur dari mulutnya dengan tegas, namun hati Revan masih dipenuhi kekalutan. Ia memutuskan untuk memenuhi janjinya, meskipun ia tahu cinta di antara mereka tidak akan pernah seperti yang Karina inginkan.
Karina tersenyum tipis, air mata mengalir di pipinya. Ia tahu pernikahan ini tidak seperti yang ia impikan, tetapi ia merasa telah memenangkan sebagian dari hatinya. Ia menggenggam tangan Revan erat setelah akad selesai, seolah tidak ingin melepaskannya lagi.
Setelah prosesi sederhana itu selesai, mereka duduk bersama di ruangan yang sama, terbungkus keheningan. Karina mencoba memulai percakapan, tetapi tiba-tiba ada dua orang wanita yang masuk ke dalam ruang pernikahan tersebut.
Ketegangan dalam ruangan kecil itu seketika berubah menjadi suasana yang penuh keterkejutan. Semua mata tertuju pada Mira, seorang wanita cantik dengan aura kuat, mengenakan gaun kasual berwarna krem. Tatapannya langsung tertuju pada Revan, kemudian pada Karina yang masih menggenggam tangan suaminya.
"Mira...?" suara Revan terdengar pelan, nyaris seperti bisikan. Ada keterkejutan dan rasa bersalah di wajahnya.
Mira melangkah mendekat dengan langkah tenang, tetapi ada ketegasan dalam gerakannya. Ia berhenti di depan meja akad nikah yang masih dipenuhi sisa prosesi tadi. Mata Mira menatap lurus ke arah Karina, lalu kembali kepada Revan.
"Jadi ini keputusanmu, Revan? Pergi tanpa memberi kabar kepada diriku," tanya Mira dengan nada yang terdengar tenang, tetapi menyimpan lapisan emosi yang sulit diartikan.
Ruangan menjadi sunyi. Kata-kata Mira menggantung di udara, membebani setiap orang di dalamnya. Revan menunduk, mencoba menyusun kalimat, tetapi yang keluar hanyalah helaan napas berat.
"Mira..." Revan akhirnya memanggil, suaranya nyaris berbisik. "Aku bisa jelaskan."
"Jelaskan?" potong Mira cepat. Ia melipat tangannya di dada, menatap Revan dengan sorot tajam. "Setelah semuanya selesai? Setelah kau menikahi perempuan lain tanpa memberitahuku? Kau pikir penjelasan apa pun bisa memperbaiki ini?"
Karina menundukkan kepala, merasa seolah kehadirannya semakin memperkeruh keadaan. Ia menggenggam ujung kebaya putihnya, mencoba menahan rasa gugup dan bersalah yang menderanya. Namun, ia tahu, ini bukan saatnya berbicara.
"Mira, dengarkan aku," kata Revan, mencoba mendekat. "Aku tidak berniat menyakitimu. Semua ini..."
"Semua ini apa, Revan?" sela Mira lagi, nadanya semakin meninggi.
"Tanggung jawab? Pengorbanan? Atau hanya keputusan egoismu yang mengorbankanku?"
Mira melanjutkan, suaranya bergetar antara marah dan terluka, "Wanita ini mirip dengan Nadira, hingga membuat dirimu harus menikahinya. Kau pikir aku tidak tahu?"
Revan terkejut mendengar nama itu disebut. Ia memalingkan wajah sejenak, mencoba mengendalikan emosinya. "Mira, kau salah paham..."
"Salah paham?" potong Mira.
"Sejak awal, aku sudah tak percaya sepenuhnya denganmu. Aku juga tidak ingin mengikuti kemauan Nadira. Aku terpaksa harus menuruti keinginannya, menikah dengan dirimu."
Revan menatap Mira dalam-dalam, rasa bersalah terpancar jelas di wajahnya. Ia menggeleng pelan, suaranya terdengar berat ketika ia berbicara, "Aku tidak tahu, Mira. Aku kira dirimu telah meninggal. Karena aku melihat sebuah berita... berita yang membahas tentang dirimu."
Kata-kata Revan membuat ruangan terasa semakin dingin. Mira tertegun sejenak, matanya melebar, tetapi segera berubah menjadi tatapan sinis. "Berita? Itu alasanmu? Kau lebih percaya apa yang kau lihat daripada mencari tahu sendiri?"
"Aku mencarimu, Mira," ujar Revan dengan nada tegas, suaranya penuh dengan rasa putus asa.
"Aku mencari tahu, tapi semuanya menunjukkan hal yang sama. Aku pikir aku telah kehilanganmu untuk selamanya."
Mira terdiam, tetapi matanya masih penuh emosi. Karina, yang merasa semakin tidak nyaman, akhirnya memberanikan diri angkat bicara.
"Maafkan aku..." ucap Karina lirih.
"Aku tidak tahu tentang hubungan kalian sebelumnya. Jika aku tahu...."
"Sudah cukup!" potong Mira, menatap Karina tajam.
"Ini bukan salahmu sepenuhnya. Tapi kau... kau adalah pengingat akan semua luka yang tidak pernah akan sembuh."
Revan berdiri diam di tengah kekacauan itu, merasa terjebak di antara masa lalu dan tanggung jawabnya saat ini. Hatinya dipenuhi penyesalan yang mendalam, namun ia tahu tidak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit yang telah ia sebabkan.
Mira menarik napas panjang, berusaha keras menenangkan dirinya. "Aku tidak akan memaafkan ini begitu saja, Revan. Kau telah merusak kepercayaan yang susah payah aku bangun. Dan kau, Karina... aku tidak tahu apakah ini pilihanmu atau sekadar takdir yang mempermainkan kita semua. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan melupakan ini."
Setelah mengatakan itu, Mira berbalik dan melangkah keluar dengan kepala tegak. Namun, sebelum pintu tertutup, ia berbisik lirih tanpa menoleh, "Jangan berharap aku kembali, Revan."
Keheningan menyelimuti ruangan. Revan menundukkan kepala, sementara Karina hanya bisa menatap kosong ke arah pintu. Hati mereka dipenuhi perasaan yang bercampur aduk, menyadari bahwa di balik setiap keputusan, selalu ada harga yang harus dibayar.
Di sudut ruangan yang tidak begitu terlihat, Arjuna dan Ratih berdiri dalam diam. Tatapan mereka penuh makna, mengamati bagaimana konflik itu berakhir. Wajah Arjuna menunjukkan sedikit senyum sinis, sementara Ratih menyandarkan tubuhnya pada dinding dengan ekspresi dingin.
"Sepertinya semuanya berjalan sesuai rencana," bisik Arjuna, suaranya hampir tidak terdengar. Matanya masih terpaku pada Revan yang terlihat terpukul dan Karina yang tampak patah semangat.
Ratih mengangguk pelan. "Aku sudah bilang, Revan tidak akan bisa menghindar dari konsekuensi ini. Sekarang, dia sendiri yang membangun kehancurannya."
Arjuna tertawa kecil, namun suaranya lebih seperti ejekan. "Dan wanita itu, Karina... dia pikir pernikahan ini adalah kemenangan? Betapa naifnya. Dia hanya pion dalam permainan yang lebih besar."
Ratih memandang Karina dengan tatapan tajam, seolah menembus lapisan luar kelembutan dan kepolosan yang terpancar darinya. "Dia akan belajar dengan cara yang sulit. Dunia ini tidak pernah memberi belas kasihan pada mereka yang lemah."
Mereka saling menukar pandangan penuh arti sebelum Arjuna melangkah maju, menghampiri meja tempat Revan dan Karina masih terdiam. Dengan gerakan santai namun penuh tekanan, Arjuna meletakkan tangan di bahu Revan.
"Sudah selesai, kan?" tanyanya dengan nada ringan, tetapi sarat sindiran.
"Ini hanya awal dari apa yang akan kau hadapi, Revan."
Revan mengangkat wajahnya, tatapannya penuh dengan campuran rasa marah, lelah, dan putus asa. "Apa yang kau inginkan, Arjuna?" tanyanya dengan nada rendah namun tegas.
Arjuna tersenyum miring. "Aku? Aku hanya ingin memastikan kau memahami konsekuensi dari tindakanmu. Kau tahu, hidup tidak selalu tentang mendapatkan apa yang kau inginkan."
Karina memandang mereka dengan bingung, tidak sepenuhnya memahami dinamika di antara kedua pria itu. Namun, ada sesuatu dalam sikap Arjuna yang membuatnya merasa tidak nyaman.
Ratih yang masih berdiri di sudut, mendekat dengan langkah anggun. "Sebaiknya kalian bersiap. Dunia tidak akan berhenti hanya karena kalian memutuskan untuk saling menghancurkan."
"Dan sekarang, Aku perintah dirimu untuk pergi, Karina. Kau pergi sekarang, kita sudah tak membutuhkanmu lagi."
Karina tertegun, tubuhnya membeku mendengar kata-kata Ratih yang begitu dingin dan tajam. Matanya perlahan mengalihkan pandangan ke arah wanita itu, mencoba mencari secercah belas kasihan, namun hanya menemukan kebencian yang membara.
"Tapi... aku..." Karina mencoba berbicara, namun suaranya tersendat di tenggorokan. Ia merasa tenggelam dalam lautan emosi yang tak bisa ia kendalikan.
Ratih mendekat, menatap Karina dengan sorot mata tajam yang membuat suasana semakin mencekam.
"Aku tidak ingin mendengar alasanmu. Kau hanya gangguan. Kau pikir dengan menikahi Revan, semuanya akan baik-baik saja? Kau salah besar," katanya, nadanya penuh Dengan kemarahan yang terpendam.
Revan bangkit dari duduknya, mencoba menghentikan Ratih. "Apa yang mama lakukan, dia sekarang istriku. Mama nggak...," ujarnya tegas, namun suara itu tidak mampu menggoyahkan keputusan Ratih.
Ratih mengangkat tangannya, menghentikan perkataan Revan. "Diam, Revan. Kau sudah membuat cukup banyak kekacauan. Jangan tambah lagi." Ia kembali memandang Karina, kali ini dengan tatapan yang lebih tajam.
"Kau pergi sekarang. Hidup kami tidak butuh drama tambahan."
Karina menunduk, menggigit bibirnya untuk menahan air mata. Tubuhnya terasa lemas, namun ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain.
Dengan langkah gontai, ia perlahan meninggalkan ruangan itu, kebaya putihnya seperti bayangan yang memudar di antara kegelapan.
"Karina, tunggu!" Suara Revan memecah keheningan.
Karina menoleh perlahan, matanya masih basah oleh air mata. Ia melihat Revan berdiri beberapa langkah darinya, napasnya terengah-engah, tetapi sorot matanya penuh tekad.
"Ayo kita pergi, Revan," ucap Karina, suaranya bergetar, namun ada ketegasan di dalamnya. Ia menghapus air mata palsu dari wajahnya, seolah menghapus keraguan terakhir yang tersisa.
Tanpa kata, Revan mengangguk. Dia tahu, ini adalah satu-satunya jalan. Mereka sudah terlalu lama merencanakan pelarian ini, dan tidak ada lagi ruang untuk mundur.