Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketegangan
Saat sarapan pagi ini, Imelda, ibu dari Damian, memperhatikan sesuatu yang mengganggunya. Dari sudut matanya, ia melihat pipi Annisa yang memerah. Entah karena matahari pagi yang baru saja menerobos jendela, atau... ada hal lain. Namun, wanita paruh baya itu tetap diam, memilih untuk tidak menanyakan apapun. Dia mengaduk kopinya perlahan, pikirannya berkelana jauh.
Sementara itu, Annisa, yang selalu mencoba menahan perasaan di hadapan keluarga ini, tetap tersenyum meski hatinya sedikit tercekat.
“Susu mu, sayang,” katanya lembut, sembari menaruh segelas susu putih di depan Clara, anak perempuan Damian.
Namun, bocah tujuh tahun itu tidak membalas dengan senyuman seperti biasanya. Ia hanya mengerutkan kening, lalu menggeser gelas susu itu menjauh dari dirinya.
“Aku sudah bilang, aku ingin jus pagi ini,” Clara berkata dengan nada yang tajam, suaranya bergetar dengan ketidaksabaran.
Annisa terpaku sejenak, senyum yang tadi melengkung di bibirnya perlahan memudar. Dalam hatinya, ia merasa gagal lagi, meski hanya soal minuman. Tapi ia tidak ingin membuat masalah besar dari itu.
“Maaf, sayang. Tante akan ambilkan jusmu,” ujarnya pelan, berusaha tetap tenang, meski ada sedikit rasa pedih di sudut hatinya.
Dengan gerakan lambat dan penuh hati-hati, ia berdiri dari kursinya, melangkah menuju dapur.
Imelda terus memandang Annisa, tapi kali ini dengan tatapan yang lebih tajam. Pipinya yang memerah tadi seolah memanggil perhatian Imelda kembali. Ada sesuatu yang tak terucap di udara, sesuatu yang mengganggu pikiran ibu itu. Namun, seperti sebelumnya, ia memilih untuk menahan diri, meskipun firasat buruk mulai merayapi hatinya.
Clara, yang masih duduk di meja, menyilangkan kedua tangannya di dada. Dia melirik neneknya dengan mata yang tak sepenuhnya polos seperti anak seumurannya.
"Kenapa Tante Annisa selalu salah, Nek?" suaranya dingin, mencerminkan ketidakpuasan yang entah dari mana asalnya. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya, mungkin kemarahan yang belum dia pahami sepenuhnya.
Imelda menghela napas panjang, mencoba mengatasi ketegangan yang mulai merambat di antara mereka. “Tante Annisa hanya ingin yang terbaik untukmu, sayang,” jawabnya, dengan senyum yang dipaksakan.
Namun, pikirannya terus berputar, menimbang apakah seharusnya dia mulai bertanya lebih dalam tentang apa yang terjadi di rumah ini.
Sejak Annisa menjadi istri Damian, Imelda, ibu mertuanya, tidak pernah benar-benar memperhatikan keberadaan Annisa di rumah. Imelda jarang berinteraksi dengan menantunya itu, seolah Annisa hanyalah bayangan di rumah besar mereka.
Imelda tahu bahwa pernikahan Annisa dengan Damian tidak didasari oleh cinta yang tulus, terutama dari pihak Damian. Yang ia lihat, Damian memperlakukan Annisa dengan dingin, sering kali tak acuh dan bahkan terlihat seperti tidak peduli pada perasaan istrinya. Imelda pun menyadari bahwa Clara, cucunya yang berusia tujuh tahun, memperlakukan Annisa jauh dari yang seharusnya dilakukan seorang anak kepada ibu sambungnya.
Bagi Clara, Annisa lebih seperti pembantu rumah tangga daripada sosok pengganti ibunya, Arum, yang telah meninggal. Meski Imelda tahu semua ini, ia memilih untuk tidak terlibat lebih jauh. Dalam pikirannya, mungkin ini adalah nasib yang harus dijalani Annisa, apalagi sejak awal pernikahan ini terjadi bukan karena cinta, melainkan karena amanah yang ditinggalkan oleh Arum untuk menjaga Damian dan Clara.
Tetapi pagi ini, ada perasaan berbeda yang muncul dalam hati Imelda. Untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit kasihan melihat Annisa. Pagi itu, saat Annisa dengan sabar melayani Clara yang merengek karena tidak mau sarapan, ada kilatan simpati yang melintas di benak Imelda. Ia memperhatikan dengan lebih seksama bagaimana Annisa terus tersenyum meski jelas terlihat lelah, berusaha memenuhi setiap keinginan Clara tanpa pernah mengeluh.
Imelda menyadari betapa berat beban yang dipikul Annisa—menjadi istri dari pria yang tak mencintainya, serta harus menghadapi anak kecil yang memperlakukannya seperti pelayan. Meski demikian, Imelda tetap diam, masih terpaku dalam kebiasaannya untuk tidak terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga putranya.
Namun, perasaan kasihan itu terus menggelayut di pikirannya, mengusik hati kecilnya yang selama ini ia biarkan tertutup.
Terlebih lagi, pagi ini Imelda menangkap sesuatu yang lebih mengganggunya—pipi Annisa tampak kemerahan, seperti ada bekas tamparan seseorang.
Imelda tertegun sesaat, mencoba menyangkal apa yang baru saja dilihatnya. Pikirannya mulai berputar, bertanya-tanya dari mana bekas itu berasal. Damian mungkin memang tidak menyukai Annisa, tetapi putranya tidak mungkin melakukan hal sekejam itu, bukan?
Imelda selalu melihat Damian sebagai sosok yang dingin, namun ia tak pernah membayangkan Damian akan bertindak kasar secara fisik. Tapi bekas di wajah Annisa terlalu jelas untuk diabaikan. Muncul rasa tak nyaman di hati Imelda, seolah-olah selama ini ada sesuatu yang ia abaikan, sesuatu yang mungkin jauh lebih gelap dari sekadar sikap acuh Damian terhadap istrinya.
Namun, seperti biasanya, Imelda menahan diri untuk bertanya lebih lanjut. Mungkin Annisa hanya terbentur sesuatu, pikirnya, mencoba meredakan kecemasan yang mulai mengusik benaknya.
Tapi tatapan Annisa yang sejenak menunduk ketika Imelda memandangnya membuatnya tidak bisa sepenuhnya percaya pada penghiburan itu. Terlebih saat Annisa membungkuk untuk menghidangkan makanan di meja, Imelda kembali menangkap sesuatu yang tidak biasa—pipi Annisa memerah, seolah ada bekas tamparan.
"Annisa," panggil Imelda, suaranya terdengar tenang tapi penuh tanya. "Pipimu... kenapa bisa seperti itu?"
Annisa tersentak sedikit, lalu menyentuh pipinya dengan gerakan gugup. “Oh, ini, Bu? Tidak apa-apa. Saya hanya terbentur tadi pagi saat terburu-buru menyiapkan sarapan.” Senyumnya muncul, tapi matanya menghindari tatapan Imelda.
Imelda mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres. "Terbentur? Bagaimana bisa? Damian tidak—" Imelda menghentikan dirinya.
Ia tahu putranya tidak pernah menunjukkan kasih sayang yang mendalam pada Annisa, tapi memukul? Itu terlalu sulit untuk dipercaya.
Annisa buru-buru memotong, suaranya tenang tapi tegang, "Mas Damian tidak melakukan apa-apa, Bu. Dia sibuk dengan pekerjaannya tadi malam dan pagi ini."
Imelda memandangi Annisa sejenak, merasakan ada sesuatu yang lebih besar yang disembunyikan menantunya itu. Namun, seperti kebiasaannya, ia menahan diri untuk tidak mendorong lebih jauh.
"Baiklah," katanya akhirnya, meskipun keraguan tetap mengganjal dalam hatinya. "Kalau ada sesuatu, kau bisa ceritakan padaku."
Annisa tersenyum tipis, "Terima kasih, Bu," jawabnya, lalu dengan cepat melanjutkan tugasnya.
Namun, Imelda tahu, di balik senyum itu, ada sesuatu yang Annisa tidak ingin, atau tidak bisa, katakan.
Tak lama setelah percakapan dengan Annisa, Imelda mendengar langkah kaki Damian memasuki ruang makan. Damian, seperti biasanya, tampak tenang dan berwibawa dengan wajah dingin yang sudah sering dilihatnya. Ia langsung menuju meja, seolah tak menyadari ketegangan yang baru saja terjadi di antara Annisa dan Imelda. Saat ia duduk, Imelda memutuskan untuk mencoba mencari tahu lebih banyak.
“Damian,” panggil Imelda dengan nada tenang, meskipun dalam hatinya ia merasa was-was. “Ada sesuatu yang ingin Ibu tanyakan.”
Damian mendongak dari piringnya, alisnya sedikit terangkat. “Ada apa, Bu?”
“Annisa... pipinya memerah pagi ini, katanya dia terbentur. Kau tidak tahu apa-apa soal itu?” Imelda bertanya, menatap tajam putranya, mencoba mencari reaksi apapun dari wajahnya yang dingin itu.
Damian menoleh sekilas ke arah Annisa yang berdiri di dekat dapur, sebelum menjawab dengan datar, “Tidak. Aku tidak tahu. Mungkin dia memang terbentur, seperti yang dia bilang.”
Annisa yang mendengar percakapan itu tampak tegang, tapi Damian tidak menunjukkan tanda-tanda emosi.
Imelda menatapnya lebih dalam, mencoba menembus pertahanan Damian. “Kau tidak... memukulnya, kan?”
Damian tertawa kecil, seolah pertanyaan itu tidak masuk akal. “Memukul? Ibu serius? Tentu saja tidak. Aku mungkin tidak sehangat yang Ibu harapkan, tapi aku tidak akan sekejam itu.” Ucapannya terdengar tajam, seperti tersinggung oleh pertanyaan ibunya.
Imelda terdiam sejenak, matanya berpindah dari Damian ke Annisa. "Baiklah," katanya akhirnya, meskipun perasaan tidak nyaman masih menggantung di benaknya.
Damian memang tidak memperlihatkan tanda-tanda bersalah, tapi sesuatu tetap terasa salah. Annisa diam di tempatnya, menunduk, berusaha menghindari pembicaraan lebih lanjut, dan itu semakin membuat Imelda tak tenang.
“Kalau ada sesuatu, kau harus memberitahu Ibu, Damian,” ucap Imelda, kali ini nadanya sedikit lebih tegas. "Dan Annisa juga, jangan ragu untuk bicara."
Damian hanya mengangguk ringan. “Tentu, Bu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Damian melirik Annisa sekilas dengan sorot mata tajam, dan Imelda tidak melewatkan momen itu. Meski singkat, tatapan Damian cukup membuat Annisa semakin canggung. Dia menunduk, seolah berusaha menghilang dari pandangan. Rasa kesal jelas terpancar di wajah Damian, meskipun dia tidak mengatakannya secara langsung.
“Aku sudah bilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Bu,” kata Damian lebih tegas, suaranya sedikit lebih keras dari sebelumnya, menandakan ketidaksenangan. "Annisa sudah cukup dewasa untuk mengurus dirinya sendiri."
Imelda memperhatikan ketegangan di antara mereka. "Tapi, Damian, aku hanya ingin memastikan. Kalian hidup bersama, dan aku tidak ingin ada yang terluka, baik secara fisik maupun emosional."
Damian mendesah, suaranya dingin dan jelas-jelas kesal. “Ibu terlalu khawatir. Annisa tahu batasannya.” Sekali lagi, tatapan Damian mengarah pada Annisa, kali ini lebih menusuk, seolah memperingatkannya untuk tidak membuat masalah lebih lanjut.
Annisa tetap diam, tangannya yang memegang piring tampak bergetar sedikit, namun ia berusaha menyembunyikannya. "Tidak apa-apa, Bu," ucap Annisa pelan. “Mas Damian benar, saya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Imelda menghela napas dalam, merasa ada yang salah tapi juga tahu bahwa percakapan ini tidak akan membawa hasil apa-apa jika dilanjutkan.
Namun, sorot kesal Damian dan sikap Annisa yang terlalu menahan diri membuatnya semakin curiga. "Baiklah," kata Imelda akhirnya, meski hatinya masih diliputi keraguan.