"Kak, ayo menikah?" Vivi yang masih memakai seragam putih merah itu tiba-tiba mengajak Reynan menikah. Reynan yang sudah SMA itu hanya tersenyum dan menganggapnya bercanda.
Tapi setelah hari itu, Reynan sibuk kuliah di luar negri hingga S2, membuatnya tidak pernah bertemu lagi dengan Vivi.
Hingga 10 tahun telah berlalu, Vivi masih saja mengejar Reynan, bahkan dia rela menjadi sekretaris di perusahaan Reynan. Akankah dia bisa menaklukkan hati Reynan di saat Reynan sudah memiliki calon istri?
~~~
"Suatu saat nanti, kamu pasti akan merindukan masa kecil kamu, saat kamu terluka karena cinta..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9
Vivi keluar dari kamar mandi lalu naik ke atas ranjang. Dia melihat Reynan yang masih menatap kosong langit-langit kamarnya. "Aku boleh kan tidur di sini?" tanyanya.
Reynan tak menjawabnya. Dia hanya melirik Vivi sesaat, lalu membuang pandangannya dari Vivi lagi.
"Malam pertama tidur dengan Kak Rey." Vivi tertawa kecil, tapi Reynan sama sekali tidak mempedulikannya. Akhirnya dia mengambil guling dan memeluknya sambil menatap Reynan dari samping. Dia bisa melihat luka hati yang sangat dalam dari raut wajah Reynan. Dia pasti akan berusaha membuat Reynan tersenyum dan melupakan Lena. Kemudian dia memejamkan kedua matanya.
Reynan tak juga tertidur. Pikirannya melayang jauh. Sebelumnya dia sangat bahagia akan menikah dengan Lena tapi kecelakaan itu merenggut semuanya. Dia juga sangat kecewa dengan Lena yang ternyata tidak bisa menerima kondisinya dan memilih pergi meninggalkannya. Setelah harapan yang Lena berikan padanya sangat besar, ternyata semua itu hanya palsu.
Tanpa sadar air mata itu meleleh, dia sudah tidak punya lagi semangat hidup. Apa yang bisa dia lakukan dengan kondisi tubuhnya yang cacat?
Tiba-tiba jari Vivi menghapus air mata Reynan. Seketika Reynan menoleh dan menatap Vivi yang ternyata belum tidur.
"Aku tahu, cobaan yang Kak Rey hadapi saat ini sangat berat. Kak Rey jangan menyerah. Kak Rey harus bisa melalui ini semua. Akan ada pelangi setelah badai menerjang." Vivi menyingkirkan guling yang menghalanginya, lalu dia mendekatkan dirinya dan memeluk perut Reynan.
Reynan akan menyingkirkan tangan itu tapi urung karena Vivi kembali memejamkan matanya dan tertidur. Dia memandangi paras cantik itu. Tak pernah terpikirkan olehnya, dia akan menikah dengan Vivi, gadis kecil yang mengajaknya menikah saat Vivi masih memakai seragam SD.
Reynan kembali menatap langit-langit kamarnya hingga akhirnya dia tertidur dengan nyenyak.
...***...
Saat matahari baru bersinar, Vivi sudah membuka tirai jendela. Dia juga sudah menyiapkan susu hangat untuk Reynan meskipun Reynan masih tertidur lelap.
"Kak Rey." Vivi menekan hidung Reynan lalu menyusuri wajahnya agar Reynan cepat terbangun.
Reynan hanya menepis tangan Vivi.
"Kak Rey, ayo bangun. Kita jalan-jalan, udara pagi sangat bagus untuk kesehatan."
Reynan membuka matanya dan menatap Vivi. "Kamu lupa kalau aku tidak bisa jalan."
"Astaga, maksudnya Kak Rey duduk saja. Aku yang dorong."
Reynan tak menyahutinya. Dia kembali memejamkan matanya karena biasanya dia memang belum bangun.
"Kak Rey, ayo bangun! Kita hirup udara sejuk sambil terapi tipis-tipis."
Reynan tak juga bangun. Akhirnya Vivi menaiki tubuh Reynan dan duduk di bawah perut Reynan.
"Ahh!!" Seketika Reynan membuka kedua matanya lebar.
"O, o, ternyata yang bangun bukan orangnya. Tapi itunya."
"Vivi turun!" Reynan menarik lengan Vivi agar turun dari atasnya. Apa Vivi tidak mengerti jika di pagi hari itunya jelas lebih dulu bangun daripada orangnya. "Jangan pernah bertindak seenaknya!"
"Ya, aku gak sengaja. Maaf. Sakit gak?" tanya Vivi dengan polosnya, meski dalam hatinya berdebar-debar. Ternyata meskipun kaki Reynan lumpuh tapi organ pentingnya tidak ikut lumpuh. Tiba-tiba Vivi tertawa sendiri.
"Kamu bayangin apa?" tanya Reynan. Dia kini duduk dan meraih kursi rodanya.
"Nggak bayangin apa-apa." Vivi berusaha menahan tawanya lalu memberikan segelas susu hangat pada Reynan. "Diminum, mumpung masih hangat."
"Awas kalau kamu mikir yang tidak-tidak. Ingat, pernikahan kita cuma status," kata Reynan sambil meneguk segelas susu itu hingga habis.
"Iya, aku mengerti. Aku kan cuma pelarian saja." Kemudian Vivi meraih tubuh Reynan dan membantunya berpindah ke kursi roda. "Tapi memang sampai nanti hanya status saja?"
"Ya, setelah beberapa bulan kalau kamu memang ingin pergi dari aku, kamu berhak meminta cerai." Kemudian Reynan menjalankan kursi rodanya masuk ke dalan kamar mandi tanpa memikirkan perasaan Vivi.
Vivi menatap dirinya di cermin lalu dia tersenyum kecil. "Masih ada banyak waktu untuk membuat Kak Rey jatuh cinta sama aku. Aku yakin, suatu saat nanti Kak Rey pasti tidak akan mau aku tinggalkan."
Kemudian Vivi berjalan mendekati pintu kamar mandi. Dia mendengarkan suara Reynan dari luar. Cukup dia pantau agar Reynan berusaha sendiri.
"Vivi, panggil Noval!" teriak Reynan dari dalam kamar mandi. "Vivi!"
Ada suara jatuh, seketika Vivi masuk ke dalam kamar mandi dan melihat Reynan jatuh dari kursi rodanya dengan celananya yang telah basah.
"Cepat panggilkan Noval!"
"Kak Rey mau apa? Sama aku saja."
Reynan hanya mengepalkan tangannya. Dia tidak bisa melakukan apa-apa sendiri. Dia juga tidak ingin Vivi merawatnya dan menjadi beban Vivi. Wajahnya sudah memerah menahan kekesalannya.
"Iya Kak, aku panggilkan Noval." Akhirnya Vivi keluar dari kamar mandi sambil menyusut air mata yang mengembun di ujung matanya.
"Kak Noval, tolong Kak Rey," kata Vivi setelah bertemu dengan Noval di dapur.
"Iya." Noval segera berjalan cepat dan masuk ke dalam kamar Reynan.
Sedangkan Vivi kini berdiri di depan tempat cuci piring. Kedua matanya terasa panas. Sekuat apapun dia berusaha tegar tapi saat melihat Reynan yang putus asa seperti itu, dia seperti tidak punya hati.
"Vivi kenapa?" tanya Rani sambil menepuk bahu Vivi.
"Tidak apa-apa, Ma." Vivi berusaha menyembunyikan kesedihannya. "Aku boleh bantu memasak?"
Rani meraih pipi Vivi dan menghapus setetes air mata yang tersisa. "Kenapa menangis? Rey tidak melakukan kamu dengan baik?"
Vivi menggelengkan kepalanya. "Bukan soal itu. Aku kasihan sama Kak Rey. Apa Kak Rey ada kemungkinan untuk sembuh?"
"Dokter juga belum bisa memastikan. Saat melakukan terapi, Rey juga tidak punya semangat."
"Aku akan berusaha membuat Kak Rey semangat lagi. Ya, meskipun sulit karena Kak Rey itu kayak kulkas." Rasa sedih yang sempat menghampiri kini telah menghilang. Begitulah Vivi, perasaannya bisa berubah dengan cepat. "Kak Rey itu meniru siapa sih?"
"Papanya. Papanya dulu juga kayak kulkas."
"Yah, pantas." Vivi kini membantu Rani memasak di dapur.
"Kamu bisa memasak?"
"Bisa sedikit."
"Raina masih molor jam segini. Anak gadis Mama itu mungkin berubah kalau sudah menikah."
Kemudian mereka berdua memasak sambil mengobrol dan sesekali tertawa kecil. "Beruntungnya Rey menikah sama kamu."
"Memang kalau Kak Rey menikah sama Kak Lena tidak beruntung, Ma?" Lagi-lagi pertanyaan polos muncul dari bibir tipis Vivi.
Rani tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Bukan begitu. Ya, buktinya Lena pergi meninggalkan Rey begitu saja. Padahal sebelumnya dia bilang sendiri kalau bisa menerima kondisi Rey. Rey sudah terlanjur berharap tapi semua semu."
Vivi hanya mengangguk pelan. Sebenarnya itu yang dia harapkan, tapi tidak dengan kondisi Reynan saat ini.
💞💞💞
Like dan komen ya...
bersyukur dpt suami yg bucin
slah htor