NovelToon NovelToon
Jadi Kedua? Hayu!

Jadi Kedua? Hayu!

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Poligami / CEO / Selingkuh / Cinta Paksa / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: El Nurcahyani

Sinopsis:

Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.

Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menikahi Uangmu

Elara tidak bisa mempercayai apa yang dia dengar. Di dalam hatinya, ada keraguan dan ketakutan yang mulai merayap. Akan tetapi bersamaan dengan itu, ada pula pikiran tentang kesempatan—sebuah jalan keluar dari kehidupan yang selama ini dia jalani. Jika dia menerima tawaran ini, dia bisa membahagiakan ibunya, memberikan kehidupan yang lebih baik untuk adik-adiknya. Namun, apakah ini benar-benar jalan yang harus dia ambil? Soalnya, pria di hadapannya ini terlihat seperti orang tajir.

 “Aku tidak tahu siapa kamu, Tuan, dan aku tidak mengerti kenapa kamu menawarkan ini padaku. Tapi pernikahan bukan hal yang bisa diputuskan begitu saja dalam satu malam,” ucap Elara, mencoba menjaga kewarasan di tengah kebingungan yang melanda.

 Arzayden menghela napas panjang. “Aku adalah Arzayden Levano, CEO dari Levano Corp. Aku tidak punya waktu untuk permainan panjang, dan aku tidak mencari hubungan yang didasarkan pada cinta. Yang aku tawarkan padamu adalah kesempatan untuk mengubah hidupmu dan mungkin, hidup keluargamu.”

 Kata-kata itu menyentuh titik paling rapuh di hati Elara. Arzayden tidak berbicara tentang cinta atau romansa. Dia berbicara tentang kesempatan—sesuatu yang Elara butuhkan lebih dari apa pun saat ini. Namun, hatinya masih dipenuhi keraguan.

 “Mengapa aku? Dari semua wanita yang ada di sini, mengapa harus aku?” tanya Elara dengan suara yang hampir berbisik.

 Arzayden menatapnya dalam-dalam. “Karena aku melihat sesuatu dalam dirimu yang berbeda. Kau misterius. Aku suka sesuatu yang misterius. Dan aku yakin, dalam keadaan terburuk sekalipun, kau tidak akan lari dari tanggung jawab. Itu yang kubutuhkan.”

 Elara terdiam. Tawaran itu menggema di kepalanya, memutar kembali seluruh kehidupannya selama ini—perjuangan ibunya, sakitnya Zeni, dan bisikan-bisikan tajam tetangga yang selalu memandang rendah mereka. Ini mungkin jalan keluar yang selama ini dia cari.

 Dengan napas yang bergetar, Elara akhirnya berkata, “Baiklah. Aku setuju.”

 "Eh tapi, Tuan masih single kan?" lanjut Elara.

"Jika aku sudah punya istri?" Zayden balik bertanya, sembari mengetes seberapa percaya diri gadis di hadapannya ini.

Terlihat Elara berpikir sejenak, "Tak masalah. Jujur aja, aku lebih membutuhkan uangmu daripada dirimu, Tuan. Aku tak akan menggangu kebersamaan Tuan dengan istri. Bagaimana?"

"Em ... Perjanjian yang bagus." Arzayden manggut-manggut, dia baru terpikirkan betapa mudahnya membuat perjanjian dengan seorang anak kecil. “Aku ingin kau datang ke kantorku besok,” kata Arzayden tanpa basa-basi, suaranya pelan namun penuh wibawa. Tatapannya menyelidik, seolah menelusuri tiap inci keberadaan Elara.

 Elara menelan ludah, menegakkan posturnya, mencoba meredam gejolak dalam hatinya. “Kantor, Tuan?” tanyanya, walau sebenarnya sudah mengerti maksudnya.

 “Ya, kapan pun kau siap. Tak perlu terburu-buru. Ini nomor ponselku.” Arzayden mengeluarkan kartu namanya, kemudian menyodorkannya pada Elara. Kartu itu sederhana, namun elegan, mencerminkan status pria yang berdiri di hadapannya.

 Tangan Elara gemetar sedikit saat menerima kartu itu. Nomor telepon di sana begitu nyata, seolah menjadi tiket menuju dunia yang tak pernah dia bayangkan akan dia masuki. Dunia pria seperti Arzayden Levano, penuh dengan kekayaan, kekuasaan, dan misteri.

 “Aku akan menunggu teleponmu,” tambah Arzayden sebelum beranjak pergi, meninggalkan Elara yang masih memegang kartu itu dengan tatapan kosong, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

 Ketika jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari, Elara akhirnya pulang. Ia diantar oleh sopir pribadi Arzayden yang sudah menunggu di luar klub. Sopir itu sengaja disediakan Arzayden, supaya meyakinkan Elara bahwa dia serius.

 Kendaraan mewah yang mengantarnya pulang terasa begitu asing bagi Elara, membuatnya merasa seperti orang luar di dalam lingkup kehidupan yang terlalu jauh dari kesehariannya. Sepanjang perjalanan, ia hanya bisa memandangi kota yang mulai sepi, pikirannya melayang antara tawaran Arzayden dan realitas yang sedang ia jalani.

 Setibanya di rumah, Elara bisa merasakan tatapan tajam dari beberapa pria paruh baya yang sedang meronda di pos jaga tak jauh dari rumahnya. Mereka tak bersuara, namun pandangan mereka cukup menyampaikan apa yang tengah mereka pikirkan. Wajah-wajah tua yang menghakimi, mempertanyakan kehidupan seorang perempuan muda yang pulang larut malam dengan mobil mewah. Elara hanya bisa berjalan cepat, tak ingin mengundang lebih banyak perhatian.

 “Perempuan macam apa itu,” gumam salah satu bapak dengan nada sinis.

 “Pulang malam, diantar mobil mewah pula. Apa yang dilakukannya?” kata yang lain, menambahkan spekulasi yang memuakkan.

 Elara tidak mengindahkan mereka, namun hatinya mencelos. Dia tahu, hidupnya—dan keluarganya—telah menjadi topik perbincangan di kalangan tetangga. Satu langkah salah saja, dan mereka akan semakin mengasihani atau bahkan mencemooh keluarganya.

 Ketika Elara tiba di depan pintu rumah, ia menyadari bahwa pintu masih belum dikunci. Itu hanya berarti satu hal: ibunya belum tidur, masih menunggu kepulangannya, seperti malam-malam sebelumnya.

 "Bu, aku sudah pulang," bisik Elara pelan saat memasuki rumah.

 Di ruang tamu yang sederhana, Bu Nira duduk di sofa tua dengan selimut tipis menutupi tubuhnya. Matanya sembap, menandakan bahwa ia telah terjaga sepanjang malam. Elara merasa hatinya teriris melihat sosok wanita tua itu, yang meskipun lelah dan tak berdaya, selalu menunggunya pulang dengan cemas.

 "Kenapa belum tidur, Bu? Aku kan sudah bilang, aku pasti pulang. Jangan terlalu mengkhawatirkan aku seperti ini," kata Elara dengan suara lembut, mencoba menghibur ibunya.

 Bu Nira tersenyum kecil, namun senyuman itu tak bisa menutupi kekhawatirannya.

  "Bagaimana bisa Ibu tidur jika anak perempuanku belum ada di rumah?" jawabnya dengan suara yang terdengar lebih tua dari usianya.

 Elara merasa bersalah, namun tak ada yang bisa ia lakukan. Kehidupan yang mereka jalani sudah cukup berat tanpa beban kekhawatiran ibunya setiap malam. Tapi Bu Nira selalu tak bisa tidur, selalu khawatir, meskipun Elara sudah berkali-kali meyakinkan bahwa ia baik-baik saja.

 **

 Keesokan paginya, ketika matahari baru saja terbit dan Elara tengah bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, ia tahu waktunya telah tiba untuk berbicara dengan ibunya. Dia tidak bisa menunda lagi—keputusan yang ia ambil semalam harus segera disampaikan.

 “Bu, aku mau bicara sebentar,” kata Elara saat ia duduk di meja makan sederhana mereka. Bu Nira yang sedang sibuk di dapur menghentikan pekerjaannya dan berbalik menatap Elara dengan penuh perhatian.

 “Ada apa, Ra? Kamu kelihatan serius sekali,” tanya Bu Nira sambil melangkah ke meja makan.

 Elara menggigit bibirnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Bu, aku... aku memutuskan untuk menikah.”

 Kata-kata itu menggantung di udara, begitu berat dan menggema di ruangan kecil mereka. Bu Nira terdiam, ekspresi terkejut menyelimuti wajahnya. Matanya membelalak, kemudian berubah menjadi sorot kemarahan yang tak tertahan.

 “Apa? Menikah? Dengan siapa? Kamu bicara apa, Ra?!” seru Bu Nira, suaranya meninggi, membuat Elara sedikit tersentak.

 Elara mencoba tetap tenang. “Aku akan menikah dengan seseorang yang bisa mengubah hidup kita, Bu. Aku tahu ini terdengar aneh, tapi... aku melakukannya untuk kita. Untuk keluarga ini.”

 Bu Nira menggelengkan kepala dengan keras, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

 “Mengubah hidup kita? Kamu pikir dengan menikah, hidup kita akan berubah begitu saja? Kamu tahu apa yang akan dikatakan tetangga-tetangga itu? Mereka sudah cukup banyak membicarakan kita, sekarang kamu mau memberi mereka lebih banyak alasan untuk mencemooh kita?”

 “Aku tidak peduli dengan mereka, Bu. Yang aku pedulikan hanya kita. Aku ingin kita bisa hidup dengan lebih baik. Aku ingin ibu berhenti bekerja keras. Aku ingin Zeni mendapatkan perawatan yang lebih baik,” ucap Elara, suaranya bergetar namun penuh tekad.

 Namun Bu Nira tidak tergerak. Wajahnya memerah karena amarah yang meluap. “Kamu pikir dengan menikahi seseorang, dia bisa mengangkat derajat kita begitu saja? Uang bukanlah segalanya, Elara! Apa kamu lupa bagaimana mereka memandang kita selama ini? Apa itu yang kamu sebut mengangkat harkat derajat kita?”

 Bersambung...

1
Nur Adam
lnju
Nur Adam
lnjut
Nur Adam
lnju
Senja Kelabu: Mampir dipunyaku juga, Kak. Genre roman komedi.

SUAMIKU GURU GALAK

mampir ya, Kak
El Nurcahyani -> IG/FB ✔️: thx udah mampir
total 2 replies
Anto D Cotto
.menarik
Anto D Cotto
lanjut, crazy up thor
🐜SixNine: Wah, akhirnya up novel baru, nih🥳
Anto D Cotto: ok, seep 👍👌
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!