VARIOUS LOVES
Hari ini mendung menggantung di langit, seolah menjadi pertanda buruk. Mira baru saja selesai menyelesaikan pekerjaannya di toko bunga milik seorang teman dekatnya. Saat ia sedang mengunci pintu, ponselnya bergetar di dalam tas. Ia membuka layar dan melihat nama rumah sakit muncul di layar.
"Selamat sore, dengan Kakak dari Nadira?" suara seorang wanita di seberang terdengar tenang, tapi tetap memberi rasa dingin yang merambat ke tulang belakang Mira.
"Ya, saya Mira. Ada apa dengan adik saya?" tanyanya, berusaha agar suaranya tidak pecah.
"Nona Nadira saat ini dalam kondisi kritis. Dia baru saja dilarikan ke ruang ICU. Kami mohon Anda datang segera."
Tanpa berpikir panjang, Mira segera memanggil taksi dan bergegas ke rumah sakit.
Di sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi bayangan Nadira, adiknya yang selalu ceria meskipun tubuhnya semakin lemah beberapa bulan terakhir.
Nadira sering menyembunyikan sakitnya, berusaha terlihat kuat di depan orang lain, terutama Mira.
Sesampainya di rumah sakit, Mira langsung berlari menuju ICU. Tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan ketika dokter yang merawat Nadira menghampirinya.
"Anda kakaknya, benar?" tanya dokter itu dengan raut wajah serius.
"Ya, saya Mira. Bagaimana kondisi Nadira, Dok?" Suaranya nyaris tersendat di tenggorokan.
Dokter menghela napas panjang. "Nadira menderita encephalitis autoimun. Ini penyakit yang sangat langka, dan kondisinya sudah cukup parah. Kami telah melakukan yang terbaik, tetapi... secara medis, kecil kemungkinan ia akan sembuh."
Mira merasa dunianya runtuh seketika. Kata-kata dokter seolah menjadi palu yang menghancurkan harapannya. Tetapi ia harus kuat. Untuk Nadira, ia harus tegar.
Ketika akhirnya diizinkan masuk ke kamar adiknya, Mira melangkah dengan hati-hati.
Di dalam ruangan, hanya terdengar suara alat bantu pernapasan yang memecah keheningan. Nadira terbaring lemah, wajahnya pucat dan tubuhnya dipenuhi selang medis. Mira menghampiri, menggenggam tangan adiknya dengan lembut.
“Dira... Kakak di sini,” bisiknya, suaranya gemetar. Mata Nadira perlahan terbuka, tetapi ia terlihat sangat lelah. Bibirnya bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi suara itu terlalu lemah untuk didengar.
Saat itu, pintu kamar terdorong pelan. Seorang pria tinggi dengan raut wajah tegas namun sedikit kusut masuk. Mira mengenalnya hanya dari cerita Nadira.
Revan, pria itu tampak ragu sejenak sebelum menghampiri ranjang Nadira.
“Mira?” Revan menyapa pelan, suara baritonnya terdengar berat.
Mira mengangguk singkat, memandang pria itu dengan sorot mata penuh pertanyaan. Ia belum sempat berkata apa-apa ketika Nadira membuka mata lebih lebar, seolah memaksakan diri untuk bangun.
“Revan...” suara Nadira lirih, hampir seperti desahan. Revan segera berdiri di sisi ranjang, menggenggam tangan Nadira yang lain.
“Aku di sini, Dira. Jangan memaksakan diri,” katanya lembut.
Nadira menatap keduanya dengan pandangan lemah namun penuh harap. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia berusaha berbicara. “Kalian... dengar aku baik-baik.”
“Dira, kamu harus istirahat. Jangan memaksakan diri,” Mira mencoba menenangkan, tapi Nadira menggeleng lemah.
“Tidak... ini penting.” Nadira mengambil napas panjang sebelum melanjutkan.
"Revan, kamu tahu aku tidak punya banyak waktu lagi. Aku tidak ingin kamu sendirian setelah aku pergi."
Revan menunduk, ekspresinya berubah gelap. Ia mencoba membantah, tetapi Nadira melanjutkan dengan sisa kekuatannya.
“Kak Mira... aku ingin kamu menggantikan aku. Menikah dengan Revan.”
Ruangan itu mendadak sunyi. Kalimat Nadira menggema dalam benak Mira, membuatnya seakan kehilangan keseimbangan.
“Apa yang kamu bicarakan, Dira?” Mira bersuara, dengan tak percaya dengan permintaan itu.
“Revan... dia butuh seseorang yang bisa menggantikan ku. Aku tahu ini sulit. Tapi tolong, Kak...” Mata Nadira basah oleh air mata.
“Ini permintaan terakhirku.”
Revan mendongak, menatap Nadira dengan ekspresi tidak percaya.
“Dira, kamu tidak perlu melakukan ini.
Aku percaya padamu bahwa kau akan sembuh, kita akan menjalani hidup seperti biasa."
Nadira tersenyum lemah mendengar kata-kata Revan. Tetapi Nadira tahu apa yang ia rasakan jauh berbeda dari kenyataan.
Dengan sisa kekuatan, ia menggenggam tangan Revan dan Mira erat, mencoba menyampaikan betapa pentingnya permintaannya.
"Aku minta kepada kalian, turuti permintaan terakhirku ini. Agar aku bisa merasa lebih tenang, saat aku pergi."
Ruangan kembali sunyi, hanya suara alat medis yang terdengar samar. Mira memandang adiknya, lalu menatap Revan dengan sorot mata penuh kebingungan. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa permintaan ini terlalu berat. Tapi melihat mata Nadira yang penuh harap, ia merasa semua kata-kata itu tertahan di tenggorokannya.
Revan menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya meskipun jelas ia pun merasa tertekan. Ia berlutut di samping ranjang Nadira, menggenggam tangannya lebih erat. “Dira... aku tahu kamu ingin yang terbaik untukku, untuk Mira. Tapi ini... bukan keputusan yang mudah. Aku hanya ingin kamu fokus pada kesembuhanmu.”
Nadira tersenyum tipis, tetapi air matanya mengalir. “Revan, aku tahu kamu orang yang kuat. Tapi aku juga tahu bagaimana rasanya kehilangan. Aku tidak ingin kamu menghadapi itu sendirian. Kak Mira adalah satu-satunya orang yang aku percaya.”
Mira merasa tubuhnya gemetar. “Dira, kenapa kamu meminta ini dariku? Aku bahkan tidak mengenal Revan. Aku... aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya.”
“Kak...” Nadira menatapnya dengan pandangan memohon. “Ini bukan tentang apa yang kamu bisa atau tidak. Ini tentang kepercayaanku pada kalian berdua. Aku tahu kalian bisa saling mendukung, bahkan saat aku tidak ada.”
Revan menunduk, matanya memerah. Ia tidak mengatakan apa pun, membiarkan keheningan menyelimuti mereka bertiga.
Mira akhirnya menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. “Baik, Dira. Jika ini yang benar-benar kamu inginkan, Kakak akan mencoba. Tapi jangan berharap Kakak bisa menjalaninya dengan mudah.”
Mata Nadira berbinar meski tubuhnya tampak semakin lemah. “Terima kasih, Kak. Terima kasih, Revan. Kalian telah membuatku merasa lebih tenang.”
Revan mengangguk pelan, meskipun wajahnya masih menyiratkan keraguan. “Aku akan melakukan apa pun yang bisa membuatmu bahagia, Dira. Tapi aku tetap berharap... bahwa kau akan bertahan lebih lama dari yang kau pikirkan.”
Nadira tersenyum, seolah kata-kata itu adalah harapan yang ingin ia percaya. “Aku mencintai kalian,” bisiknya lemah sebelum perlahan matanya kembali terpejam.
Mira menatap adiknya yang kini tertidur dengan wajah tenang, meski napasnya terdengar berat. Ia tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah malam ini. Dan bersama Revan, ia akan menghadapi keputusan yang telah mereka buat demi Nadira.
Mira dan Revan keluar dari ruangan ICU dengan langkah berat, agar Nadira bisa beristirahat dengan tenang.
Keduanya berhenti di dekat jendela koridor.
Mira duduk di kursi dan Revan memandang ke luar tanpa benar-benar melihat apa pun.
Mira akhirnya memecah kebisuan, suaranya pelan tapi tegas, "Aku tidak mengerti apa yang Nadira pikirkan. Permintaannya... terlalu berat."
Revan menghela napas panjang, menundukkan kepala. "Aku juga tidak tahu harus berkata apa. Ini bukan sesuatu yang pernah terlintas di pikiranku. Aku hanya ingin mendampinginya selama dia masih ada."
Revan menatap Mira, sorot matanya tajam namun penuh kejujuran. "Aku tidak akan memaksamu, Mira. Jika kamu merasa tidak sanggup, jangan paksakan. Nadira... mungkin hanya ingin memastikan kita tidak merasa sendirian setelah kepergiannya."
"Dia selalu begitu," ujar Mira lirih, tersenyum pahit.
"Selalu memikirkan orang lain, bahkan di saat dia sendiri kesakitan."
Mereka terdiam lagi, merenungi kata-kata masing-masing. Revan menyandarkan punggungnya ke dinding, pandangannya menerawang. "Aku tidak tahu banyak tentangmu, Mira. Tapi satu hal yang jelas, Nadira sangat mencintai dan percaya padamu. Itu sebabnya dia meminta hal ini."
Mira memeluk dirinya sendiri, mencoba menahan dingin yang tak berasal dari udara di sekitarnya. "Aku tidak bisa mengecewakannya, Revan. Tapi aku juga tidak yakin bisa menjalani ini."
Revan mengangguk pelan, menghormati keraguan yang dirasakan Mira. "Kita tidak perlu memutuskan semuanya sekarang. Fokus kita tetap pada Nadira. Kita lakukan yang terbaik untuknya selama dia masih bersama kita."
Mira memandang Revan, merasa sedikit lega dengan sikap bijaksananya. "Kamu benar. Kita pikirkan ini nanti."
Revan menatap Mira dengan lembut. "Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama. Demi Nadira."
Mira hanya mengangguk, tanpa menjawab, menatap kosong ke depan.
Revan memeriksa jam di pergelangan tangannya, lalu memandang Mira.
"Mira, aku harus pergi sekarang. Ada beberapa urusan mendesak yang belum selesai. Tadi aku meninggalkan semuanya begitu saja saat mendapat kabar tentang Nadira."
Mira mengangguk, meskipun masih ada sedikit keraguan di matanya. "Aku mengerti. Terima kasih sudah datang."
Revan tersenyum tipis. "Aku akan kembali nanti. Kalau ada kabar apa pun tentang Nadira, tolong hubungi aku segera."
"Ya, tentu. Hati-hati di jalan," jawab Mira.
Revan melangkah pergi dengan tergesa, meninggalkan Mira yang kini kembali termangu di koridor rumah sakit, sendirian dengan pikirannya.
Setelah beberapa saat, Mira menarik napas panjang, berusaha menguatkan dirinya, lalu masuk kembali ke dalam ruangan Nadira.
Ia duduk di kursi samping ranjang, memandang wajah pucat adiknya yang terbaring tak berdaya. Perlahan, ia menggenggam tangan Nadira yang dingin dan kurus.
"Kenapa kamu meminta hal yang begitu sulit untuk aku lakukan, Nad?" bisiknya, suara yang nyaris pecah karena emosi yang tertahan.
Mira memejamkan mata, seakan mencari kekuatan dari keheningan di ruangan itu.
Lelah, baik fisik maupun batin, akhirnya menguasainya. Tanpa sadar, ia menyandarkan kepala di tepi ranjang, dan dalam hitungan detik, ia tertidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments