Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33. Hilang dalam Kenangan
Delapan tahun telah berlalu, dan kini Ruri akhirnya pulang kembali ke Indonesia setelah meraih gelar doktoralnya di Amerika Serikat. Dengan penuh kebanggaan, ia melangkah keluar dari bandara, ditemani seorang manajer yang lebih muda dan tampan, yang dengan sabar mengawal setiap langkahnya.
Setelah perjalanan dari bandara, Ruri tiba di ruangan kantor barunya di kedinasan. Pemandangan yang langsung disambutnya adalah suasana kantor yang ramai dengan pegawai yang sibuk beraktivitas. Ruri merasakan semangat baru mengalir dalam dirinya, dan dengan senyum hangat, ia mulai menyapa pegawai satu per satu.
“Selamat pagi!” ucap Ruri, mencoba menjalin keakraban dengan setiap orang yang ditemuinya. Suaranya penuh semangat, dan tampak bahwa sikap ramahnya dihargai oleh para pegawai.
Sebagian besar pegawai tampak terkesan dengan sikapnya yang hangat dan terbuka. Mereka saling berbisik, mengagumi pemimpin baru mereka yang bersikap ramah dan approachable.
Namun, di sudut ruangan, ternyata muncul suatu sosok yang sudah tidak asing lagi di mata. Itu adalah Sandra. Rupanya, selama Ruri menjalani kehidupan mewah di Amerika Serikat, bagaikan membayar karmanya, hidup Sandra dipenuhi musibah dan kejatuhan. Kini, rupanya Sandra bekerja sebagai petugas cleaning service di tempat di mana Ruri akan menjadi atasan.
Sandra merasakan hatinya berdegup kencang. Ia bersembunyi di balik tumpukan alat pembersih, wajahnya ditutupi rasa malu yang mendalam. Sudah bertahun-tahun sejak ia terakhir melihat Ruri, dan kini, wanita yang dulu ia bully selama kuliah itu berdiri dengan anggun sebagai pemimpin baru mereka.
Dulu, saat mereka kuliah bersama, Sandra sering kali mempermalukan Ruri di depan teman-teman. Ia mengejek penampilan Ruri, membuat lelucon di belakangnya, dan merasa lebih superior dengan segala kesuksesannya. Kini, setelah melihat Ruri yang sukses, ia merasa seperti gembel, terperosok ke dalam bayang-bayang kesalahan masa lalu.
Sandra berusaha mati-matian untuk tidak terlihat oleh Ruri. Ia menundukkan kepala dan berharap Ruri tidak menyadarinya. Rasa bersalah dan penyesalan menyelimutinya. Setiap kali ia mencuri pandang, ia melihat Ruri yang bersinar, dikelilingi oleh pegawai lain yang menghormatinya, dan hatinya semakin hancur.
Ruri melanjutkan langkahnya tanpa menyadari keberadaan Sandra, sama sekali tidak mengenali sosok yang pernah bersamanya di masa lalu. Sandra menahan napas, berdoa agar Ruri tidak menoleh ke arahnya, berharap bisa tetap tersembunyi dari pandangan yang penuh kesuksesan itu.
___
Di tengah perjalanannya, ponsel Ruri berdering, dan di layar tertera nama yang sudah lama tidak ia lihat—Takeru. “Halo, Ruri! Dari kemarin kok nggak ada ucapan selamat, sih? Aku kan baru saja menang penghargaan aktor terbaik!” terdengar nada bangga dari suara Takeru.
Ruri tertawa, lalu dengan nada menggoda menjawab, “Oh, iya, selamat ya, Takeru! Aktor pendukung terbaik, ya?”
“Aktor pendukung terbaik? Kok, kamu mempertegas yang ‘pendukung’ sih! Sama aja kan, itu juga aktor terbaik!” Takeru protes sambil berusaha terdengar serius, walau di baliknya terselip nada canda.
“Baiklah, baiklah. Tahun depan pasti aktor utama deh!” Ruri kembali tertawa, mencoba menyemangati Takeru, meskipun ia tahu tantangannya cukup berat. Usia ideal untuk seorang aktor di Jepang sedikit berbeda dari di Indonesia, dan ia tahu tekanan waktu sering kali lebih keras untuk aktor di negara itu. Tapi Ruri tak ingin melemahkan semangatnya.
“Aku senantiasa mendukung sahabat terbaikku!” ujar Ruri tulus. Mendengar itu, Takeru terdiam, seolah ada yang ia ingin katakan.
Mendengar kata-kata sahabat dari mulut Ruri, Takeru sempat terdiam, senyumnya sedikit memudar. Rasa sakit yang samar mengusik hatinya. 'Tampaknya perjuanganku untuk memperoleh cintanya masihlah terjal', Takeru bergumam dalam hatinya. Hatinya terasa perih, namun dia segera menutupi perasaan itu dengan tawanya yang khas dan segera mengalihkan topik pembicaraan.
“Eh, Ruri… Ngomong-ngomong, kenapa kamu buru-buru balik ke Indonesia? Bukannya masih ada tiga bulan lagi sebelum kamu mulai tugas di kedinasan?” Takeru akhirnya bertanya dengan nada penasaran.
Ruri tersenyum dan menjawab, “Aku nggak sabar ketemu dengan orang tercinta yang sudah kutinggalkan selama delapan tahun ini.”
Takeru terdiam sejenak. Selama delapan tahun kuliah, Ruri memang jarang pulang, bahkan saat liburan. Meski telah mendapatkan beasiswa penuh, ia lebih memilih bekerja paruh waktu untuk tetap mandiri dan tidak sepenuhnya bergantung pada beasiswa. Mendengar kalimat “orang tercinta,” hati Takeru bergetar. Ia bertanya dalam hati, apakah Ruri memiliki seseorang di Indonesia yang dia cintai? Pikirannya terpecah, penasaran akan siapa yang dimaksud.
“Orang tercinta?” gumam Takeru dengan hati-hati. Ada rasa mendidih di otaknya sejenak. Jadi saingan terberatnya selama ini bukanlah sang manajer, melainkan ada pria misterius lain yang diam-diam mendekati Ruri tanpa sepengetahuannya. Namun Takeru berusaha berpikir positif, bisa saja orang tercinta yang dimaksud Ruri adalah orang tua atau seorang wanita, namun bagaimanapun dia berpikir, sulit untuk menemukan kenalan Ruri yang tepat dan Takeru tahu pasti bahwa tidak ada lagi keluarga Ruri yang tersisa di dunia ini. Sejenak kemudian, dia pun teringat dengan orang yang dekat pada Ruri selama kompetisi Pemuda Tangguh itu. Dia pun bersorak, “Apa orang yang kamu maksud… Akasha?”
Ruri tertawa kecil. “Ah, bukan, Takeru! Aku memang rindu pada Akasha, tapi bukan dia. Kok kamu pura-pura nggak tahu, sih? Itu, Carlos.”
Namun jawaban Takeru di luar dugaan. Dengan nada bingung, ia bertanya, “Carlos? Siapa itu Carlos?”
Ruri langsung tercengang. “Takeru, kamu bercanda, kan? Kok bisa-bisanya kamu pura-pura nggak tahu, sih?” Nadanya berubah kesal. Dia tahu betapa Takeru pasti paham siapa Carlos, orang yang selama ini terus ada dalam hatinya.
Takeru mengangkat bahu dengan santai, seolah-olah masih berusaha mengingat. "Hmm, tapi gimana ini… kayaknya kamu harus kasih petunjuk yang lebih jelas deh, Ruri. Aku benar-benar tidak ingat. "
Ruri perlahan merasakan kemarahan menguasainya. "Kamu ini benar-benar kebangetan, Takeru! Kok bisa-bisanya kamu bercanda tidak lucu begini?"
Tanpa berpikir panjang, Ruri mematikan telepon dengan kesal. Sesaat ia terdiam mencoba mengolah hatinya apakah sikapnya terlalu kasar pada Takeru, namun yang bisa dirasakan hatinya pada Takeru saat ini tidak lain hanyalah kemarahan.
___
Setelah delapan tahun menuntut ilmu di luar negeri, akhirnya Ruri bisa berkumpul lagi dengan teman-teman lamanya di Indonesia. Mereka mengadakan reuni kecil di sebuah kafe, menyambut kedatangan Ruri dan Antonio yang sama-sama akan memulai tugas kedinasan mereka. Ruri duduk di antara Antonio, Akasha, Saveina, dan Ian, berbagi cerita tentang perjalanan hidup masing-masing.
“Antonio, nggak apa-apa nih, buru-buru pulang? Katanya kamu masih mau menikmati liburan di Amerika,” tanya Akasha menggoda.
Antonio hanya tersenyum, melirik Ruri sekilas. “Bagaimana aku bisa begitu egois? Rekan kerjaku ini sudah penuh semangat buat bangun Indonesia. Masa aku leha-leha?”
Ruri tertawa kecil sambil menggeleng. Dalam hati, ia bergumam, Bukan soal semangat kerja… Aku hanya ingin bertemu Carlos secepat mungkin.
Mereka melanjutkan percakapan ringan, hingga Saveina mengungkit tentang teman lama mereka, Merissa. “Tahu nggak, aku masih nggak habis pikir kenapa dulu Merissa yang terpilih. Padahal akhirnya dia malah mengacaukan hidupnya sendiri setelah tabrak lari itu,” katanya sinis mengingat kembali kejadi sekitar tujuh tahun lalu bahkan sebelum antusiasme masyarakat memudar terhadap para pemenang kompetisi Pemuda Tangguh Season 1 itu. Merissa pada akhirnya dikeluarkan sebagai kandidat, menyisakan hanya dua orang, Ruri dan Antonio, yang akhirnya bisa bertahan sampai akhir.
Wajah Ruri tampak serius mendengar nama Merissa. “Lebih dari nasib Merissa, aku lebih kasihan pada korban kecelakaan itu. Anak itu… kehilangan masa depannya karena kebodohan orang lain.”
Suasana mendadak hening, mengenang tragedi yang sempat menjadi berita nasional beberapa tahun lalu. Ruri menunduk, menahan perasaan, sebelum akhirnya berkata pelan, “Maaf, aku malah bikin suasana jadi berat.”
Ian buru-buru menimpali, berusaha menghibur, “Hei, ngomong-ngomong soal pencapaian, selamat ya, Saveina! Kamu sekarang Kepala DPR Komisi VII. Keren banget.”
Saveina tersenyum bangga. “Iya, terima kasih! Selama aku di sana, aku nggak akan membiarkan ada industri baru yang merusak lingkungan. Karimun Jawa udah cukup jadi korban. Ngomong-ngomong, selamat juga ya, Ian, atas pendirian perusahaan barunya. ”
"Hehehe. Iya, makasih. " Jawab Ian turut bangga.
Obrolan pun bergulir ke berbagai topik, hingga mereka tertawa lagi membahas keunikan angkatan mereka sebagai angkatan pertama “Pemuda Tangguh.” Mereka mengingat bagaimana mereka, meski dari latar belakang berbeda, berhasil membawa prestasi. Namun, setelahnya, kompetisi tersebut sempat terpuruk. Angkatan kedua kompetisi itu penuh dengan anak pejabat yang malah menggelar pesta di Amerika sembari menggunakan narkoba.
“Dan parahnya, mereka bahkan nggak belajar dari kesalahan itu. Tahun berikutnya malah lebih buruk lagi, penuh manipulasi dan korupsi,” keluh Antonio, menggelengkan kepala.
Akasha, yang menjadi mentor sekaligus juri pada kompetisi tahun berikutnya lagi, hanya tersenyum tenang mendengar cerita mereka. “Untungnya, sejak itu kompetisi berjalan lancar, kan?” sahut Ruri, menatap Akasha dengan rasa bangga. “Ayo dong, kasih tahu rahasianya. Pasti ada trik khusus.”
Suasana kompetisi yang kacau selama dua tahun berturut-turut, baru membaik ketika Akasha turut terlibat sebagai mentor utama sekaligus juri utama di tahun selanjutnya yang terus bertahan hingga saat ini.
Akasha hanya mengangkat bahu. “Tidak ada yang spesial, hanya keberuntungan,” jawabnya sambil tertawa.
Namun di balik punggung Akasha, samar-samar tampak bayangan seekor makhluk mirip monyet yang menempel padanya. Makhluk itu menyeringai penuh kepuasan, seolah-olah mengisyaratkan bahwa kesuksesan tersebut ada kaitannya dengannya.
Usai pesta reuni, Ruri bersiap-siap pergi dengan sedikit tergesa-gesa. Akasha, yang memperhatikan gelagatnya, bertanya dengan alis terangkat. “Kok buru-buru banget, Ruri? Ada urusan mendadak?”
Ruri tersenyum singkat, tidak bisa menyembunyikan antusiasmenya. “Aku mau ketemu Carlos.”
Ekspresi bingung muncul di wajah Akasha. “Carlos?” Dia menggelengkan kepala sejenak, seolah mencoba mengingat sesuatu. “Siapa itu… Carlos?”
Seketika mata Ruri membelalak dalam keadaan terperanjat. Tidak hanya Takeru, pernyataan yang sama lagi-lagi kini terngiang.
___
Sang manajer dengan cepat mengatur setiran mobil, berusaha memenuhi keinginan Ruri yang tampak mendesak. Ketika mobil melaju, Ruri hanya bisa memandang keluar jendela, pandangannya kosong tapi penuh harap. Bagaimana bisa seseorang melupakan Carlos, pikirnya lagi, tak percaya dengan respons orang-orang di sekitarnya.
Delapan tahun memang bukan waktu yang singkat, tapi itu juga bukan waktu yang lama untuk melupakan kenangan dengan seseorang. Terlebih itu Carlos, dengan sifat unik dan fitur wajah yang sangat tampan. "Mana ada yang bisa melupakan wajah tampan itu? " Walaupun hal itu sekadar preferensi pribadi Ruri, namun tampak keyakinan di balik sorot matanya yang tajam. Awalnya Ruri berpikir bahwa Takeru hanya sedang menggodanya. Namun untuk berpikir bahwa Akasha juga mengatakan hal yang sama. Ruri semakin yakin bahwa ada sesuatu yang aneh yang sedang terjadi.
Perjalanan terasa lebih lama dari yang seharusnya, seolah jarak antara dirinya dan Carlos semakin menjauh. Sesekali, sang manajer melirik Ruri, tampak ingin menanyakan lebih lanjut soal Carlos, tapi ragu untuk mengganggu.
Sang manajer memandang Ruri dengan cermat, lalu dengan hati-hati ia bertanya, "Bu Ruri, siapa sebenarnya Carlos itu? Kenapa Anda terlihat begitu emosional?"
Ruri menghela napas panjang, mencoba meredakan getaran di dadanya. "Carlos… dia adalah orang yang paling berarti bagiku. Dia… dia adalah cinta sejatiku," jawab Ruri, suaranya bergetar, penuh kerinduan yang mendalam.
Tampak masih banyak yang membuat sang manajer itu penasaran, namun begitu mendapati kelabilan di balik ekspresi Ruri, sang manajer membatalkan niatnya dan hanya berfokus pada setiran mobilnya.
Akhirnya mereka tiba di depan warung Bu Zakiah, penanda yang Ruri ingat sebagai arah menuju rumah yang dulu di atas bukit kecil di belakangnya. Dengan jantung berdebar, Ruri buru-buru turun dari mobil, langsung berlari menuju bukit itu. Semangat dan rasa rindu yang tak tertahankan membuat langkahnya cepat, penuh harapan akan wajah yang selama ini terus menghiasi kenangan dan mimpinya.
Ruri bergegas menanjaki bukit di belakang warung Bu Zakiah dengan napas penuh semangat, berharap segera tiba di rumah yang menyimpan segala kenangannya bersama Carlos. Namun, sesampainya di puncak, hatinya serasa berhenti. Yang ada di depannya hanya semak-semak liar, seperti tak pernah ada jejak rumah di sana. Mata Ruri membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Tidak mungkin… Ini tidak mungkin,” bisiknya getir, mencoba menahan detak jantung yang berdegup tak karuan. Rumah itu—rumah yang menjadi saksi kebersamaannya dengan Carlos—tidak tampak di mana pun. Hanya rerumputan liar dan heningnya bukit kosong. Perlahan, lututnya terasa lemah, tak kuasa menahan tubuhnya yang seakan dilanda beban tak tertahankan.
Sang manajer, yang telah mengikuti dari belakang, tertegun melihat Ruri terduduk lemas di antara semak-semak. Dia berjongkok di sampingnya, tangannya menyentuh bahu Ruri dengan lembut. “Ruri, ada apa? Apa yang kamu cari di sini?”
Ruri menggigit bibir, matanya berembun, menatap tajam ke arah tanah, lalu mendongak perlahan, menatap bukit yang kosong. “Carlos… Di sini seharusnya rumah Carlos… Tempat kami pernah bersama…”
Sang manajer memandang dengan wajah tak mengerti, berusaha merangkai semua kata yang diucapkan Ruri. “Carlos… orang yang paling berharga bagimu?”
Ruri mengangguk, wajahnya dipenuhi kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan. “Iya, dia… dia harusnya di sini, menungguku. Tapi… kenapa rumahnya… kenapa tempat ini… jadi seperti ini…”
Manajernya menggenggam bahu Ruri, menatapnya penuh perhatian. “Ruri, mungkin ini hanya kesalahpahaman. Atau bisa jadi rumah itu sudah tidak ada sejak lama?”
Ruri menggeleng pelan, tak mampu menerima kenyataan di hadapannya. Tanpa sadar, air mata mengalir deras di pipinya. Sesuatu di dalam hatinya terasa kosong dan patah, seolah bagian dari dirinya hilang bersama bayangan Carlos.