Rania terjebak dalam buayan Candra, sempat mengira tulus akan bertanggung jawab dengan menikahinya, tapi ternyata Rania bukan satu-satunya milik pria itu. Hal yang membuatnya kecewa adalah karena ternyata Candra sebelumnya sudah menikah, dan statusnya kini adalah istri kedua. Terjebak dalam hubungan yang rumit itu membuat Rania harus tetap kuat demi bayi di kandungannya. Tetapi jika Rania tahu alasan sebenarnya Candra menikahinya, apakah perempuan itu masih tetap akan bertahan? Lalu rahasia apakah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon TK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32 Langsung Akrab
Di kamar Rania melihat-lihat lagi belanjaannya yang kebanyakan pakaian. Candra bisa mengetahui bagaimana selera fashionnya, yaitu yang terkesan feminim. Rania pun mencobanya satu-persatu, bibirnya pun dari tadi terus melengkungkan senyuman merasa senang. Baru kali ini belanja sebanyak ini.
"Tapi aku gak akan ke mana-mana, Mas Candra sampai beliin dress juga," gumamnya melihat ada dua dress cantik di sana. Walaupun begitu, Rania tetap akan memakainya karena sayang.
Rania merapihkan dahulu barang-barangnya itu di lemari, setelahnya Ia keluar kamar untuk sekedar minum. Rumah terasa sepi, entah kemana semua orang. Rania lalu pergi ke halaman belakang, Ia selalu suka bersantai di tempat sejuk dan indah itu.
"Apa aku boleh berenang?" tanyanya seorang diri, "Tapi Mas Candra waktu itu bilang aku jangan berenang sendiri."
Akhirnya Rania pun tidak jadi berenang, padahal siang itu sedang panas dan kalau berenang pasti akan segar. Nanti saja menunggu mbok Nina, tapi masalahnya pembantu di rumahnya itu entah kemana pergi. Rania hanya duduk di ayunan sambil bersenandung pelan. Lamunannya lalu terhenti mendengar suara lumayan keras dari dalam.
Rania mengeceknya dan mencari orang itu, suaranya terdengar di dapur. Ia pun ke sana dengan langkah pelan, merasa khawatir saja jika itu orang asing. Rania mengintip dari ambang pintu, melihat seorang pria muda asing yang sedang minum dengan rakusnya dari gelas. Saat si pria itu mengetahui keberadaan nya, membuat Rania tersentak sendiri.
"Hei tunggu," teriak pria itu.
Tadinya Rania akan pergi dari sana, tapi karena dipanggil membuatnya tidak jadi. Saat akhirnya mereka berhadapan, membuat Rania jadi bisa dengan jelas melihat wajahnya. Untuk beberapa saat keduanya saling diam memperhatikan masing-masing.
"Aku baru pertama kali melihat kamu, jadi apa nama kamu Rania?" tanya pria itu.
"I-iya, kamu siapa?"
"Wah akhirnya kita bertemu juga ya, aku sudah lama ingin bertemu kamu."
Sudah dari lama? Maksudnya?
Pria itu lalu mengulurkan tangan kanannya, "Perkenalkan namaku Leon, aku adik Livia."
Rania terperangah mendengar itu, Ia pun membalas jabatan tangannya, "Aku baru tahu kalau Kak Livia punya adik."
"Dia tidak cerita?"
"Tidak," geleng Rania.
Lagi pula untuk apa cerita tentang keluarga kepadanya? Hubungan di antara Rania dengan Livia saja kan tidak akur, alias perempuan itu yang selalu bersikap dingin. Jika Rania perhatikan lagi, wajah Leon memang sedikit mirip dengan Livia. Keluarga mereka sangat good looking.
"Aku sudah tahu kalau kamu istri kedua Kak Candra," ucap Leon.
Rania hanya mengangguk pelan merasa sedikit malu dengan Leon, itu berarti pria itu pun tahu bagaimana cerita dirinya bisa ada di posisi rumit ini. Semoga saja tahu bagaimana cerita aslinya, karena itu bisa membantu memperbaiki namanya.
"Apa kita bisa bicara? Aku penasaran sekali denganmu," tanya Leon berharap.
"I-iya boleh." Lagi pula tidak enak jika menolak, apalagi Leon masih bersangkutan dengan keluarga di sini. Mereka lalu pindah duduk di sofa ruang utama.
"Jadi Rania, kamu sudah berapa lama menjadi istri Kak Candra?"
"Em mau dua bulan."
"Masih baru ya, dan katanya kamu hamil?"
"Iya, sekarang usianya masih satu bulanan."
"Cepat juga ya."
Kata-kata nya cukup ambigu, kan yang memberi keturunan itu Tuhan. Rania hanya tersenyum walaupun merasa sedikit tidak nyaman. Padahal sikap Leon pun santai, tapi tetap saja Rania belum tenang.
"Aku merasa kamu masih muda, berapa usiamu?" tanya Leon lagi.
"Dua puluh tiga."
"Sungguh?"
"Iya, kenapa?"
"Kita seumuran, aku juga dua puluh tiga tahun."
Senyum Rania tanpa sadar semakin lebar, seperti merasa senang saja menemukan seseorang dengan umur yang sama. Mungkinkah mereka bisa menjadi teman?
"Sekarang aku sedang sidang skripsi, sebentar lagi wisuda," cerita Leon.
"Selamat ya, semoga lancar skirpsi nya."
"Aamiin, makasih. Kalau kamu kuliah juga?"
Rania menggeleng, "Enggak, aku sekolah cuma sampai SMA."
Apalagi tinggal di desa itu kan lumayan sulit, kalau mau kuliah pun harus keluar kota. Tetapi Rania tidak malu, Ia sudah sangat bersyukur bisa sekolah sampai SMA yang kalau di desa itu sudah sangat tinggi.
"Pantas saja aku merasa nyaman, jadi tidak apa kalau kita tidak terlalu formal?" tanya Leon.
"Iya tidak apa kok."
"Kamu sepertinya pemalu ya, dari tadi hanya bicara sedikit."
Melihat Rania yang lagi-lagi tersenyum, membuat Leon ikut tersenyum. Ia lalu meminum air putihnya dengan mata yang tidak lepas dari perempuan cantik yang duduk di depannya itu. Ya Rania sangat cantik dengan aura polosnya, membuatnya jadi semakin penasaran.
"Ekhem jadi kamu sudah berapa hari tinggal di sini?" tanya Leon lagi.
"Mungkin ada sepekan."
"Bagaimana tinggal di sini? Apa betah?"
Sebenarnya tidak terlalu, tapi Rania tidak mau terlalu menunjukannya, "Nyaman kok, rumahnya besar."
"Lalu bagaimana dengan Kak Livia? Apa dia baik padamu?"
"Ba-baik kok."
Leon malah tertawa kecil, "Kau gagap, berarti bohong. Ayo katakan saja yang sebenarnya, santai saja."
"Aku tidak bohong, Kak Livia memang baik."
"Jangan takut, lagi pula aku tidak akan mengadu pada Kak Livia. Tapi kau pasti agak terintimidasi dengan ekspresi dia yang selalu datar, kan?"
Rania mengangguk jujur.
"Dia memang begitu, orang bilang Kak Livia itu sombong karena jarang tersenyum. Tapi kalau sudah dekat dia orang yang cukup seru, walaupun kalau sedang bercanda orangnya garing." Leon pun kembali tertawa mengingat Kakak perempuannya itu.
Melihat sikap Leon yang menyenangkan begitu, membuat Rania semakin rileks dan nyaman. Tetapi Rania merasa aneh dengan sikap ramahnya, bukankah seharusnya tidak begini? Lalu bagaimana? Seperti Mamanya waktu itu, normalnya yang bersikap tidak terima karena Livia di duakan.
"Leon, apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Rania memberanikan diri.
"Boleh, tanyakan saja."
"Apa kamu tidak kesal padaku?"
"Kenapa kesal? Kita cukup nyambung dan seru saat mengobrol."
"Bukan begitu, tapi apa kamu tidak menganggap aku sebagai orang ketiga di pernikahan Kakak kamu?"
Leon terdiam beberapa saat, "Saat aku dengar Kak Candra akan menikah lagi, sebenarnya aku marah. Tapi anehnya saat bertemu kamu, rasa kesal itu hilang begitu saja."
"Bagaimana bisa?"
"Mungkin karena kamu cantik," celetuk Leon sambil menyeringai.
Rania berdehem pelan sambil menundukan kepala sedikit salah tingkah dipuji seperti itu, sudah dapat dipastikan jika sekarang pipinya pasti merah. Tetapi Rania berpikir alasan Leon tidak kuat, mana mungkin tidak kesal kepadanya. Ya walaupun memang ini semua bukan salah Rania sepenuhnya, tapi tetap saja Rania datang ke pernikahan Livia dengan Candra.
"Rania, bagaimana kalau mulai hari ini kita berteman?"
"Hah?"
"Aku merasa langsung nyaman, apalagi saat mengobrol denganmu. Mau berteman denganku?"
Melihat uluran tangan itu, Rania tidak langsung membalas karena merasa speechless saja. Tetapi tidak lama Ia menerima jabatan tangannya dan saling membalas senyuman. Sepertinya berteman dengan Leon akan sangat menyenangkan.