NovelToon NovelToon
Just Cat!

Just Cat!

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Roh Supernatural / Bad Boy / Slice of Life / Kekasih miserius
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Souma Kazuya

Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 2: Kenangan yang Terlupakan

Di bawah sinar rembulan yang temaram, sang kucing hitam duduk di atap rumah tua itu, mengawasi Ruri dari jendela kecil yang terbuka. Matanya yang bersinar tajam memantulkan kenangan-kenangan lama, memori yang Ruri sendiri sudah lupakan. Kucing itu bukanlah sembarang kucing. Dia adalah sosok yang pernah menjadi bagian dari masa lalu Ruri—saat mereka berdua masih kecil.

Dia tidak ingat aku lagi…

Kucing hitam itu mendesah pelan dalam hatinya, tatapannya tak pernah lepas dari Ruri yang terlelap di dalam rumah.

Dulu, kau menyelamatkanku, Ruri. Aku hanyalah seekor bayi kucing yang hampir mati ditindas burung gagak. Saat itu, aku sudah siap menyerah. Tubuhku terlalu kecil, terlalu lemah untuk melawan. Tapi kau muncul, tangan kecilmu mengangkatku dari tumpukan sampah, dan kau menyelamatkanku.

Kenangan akan hari itu masih segar di ingatan sang kucing. Ruri kecil, dengan pipi merah dan rambut kucir dua, berlari kencang menuju neneknya sambil memeluknya erat. "Nenek, aku menyelamatkan dia!" serunya, suaranya penuh kegembiraan dan kebanggaan.

Sejak hari itu, kita tak terpisahkan. Aku selalu ada di sisimu, mengikuti ke mana pun kau pergi. Kau memberikan nama padaku, memberiku makan, mengelus bulu hitamku setiap malam sebelum tidur. Kita hidup bahagia di rumah nenek.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Ibunya datang menjemput Ruri kembali ke Jakarta, meninggalkannya di rumah nenek bersama kenangan-kenangan yang perlahan memudar. Kucing itu ingat betul bagaimana ia menunggu di ambang pintu setiap hari, berharap Ruri kembali.

Kau tidak pernah kembali... pikirnya sedih, memandang langit malam yang terbentang luas. Aku menunggumu sampai hari terakhirku. Aku sakit, tubuhku semakin lemah, tapi aku tetap berharap kau datang. Namun, kau tak pernah muncul.

Air mata tak bisa mengalir dari mata seekor kucing, tapi hatinya hancur ketika Ruri tak lagi datang. Dan kini, bertahun-tahun kemudian, dia ada di sini—bukan sebagai kucing biasa lagi, tapi sesuatu yang lebih. Sesuatu yang kembali demi Ruri.

Sekarang kau bahkan tidak mengenaliku, Ruri. Tapi aku akan ada di sisimu lagi, untuk melindungimu, seperti dulu.

 ___

Esok harinya, Ruri kembali ke kampus, namun keadaan jauh dari membaik. Sebagai mahasiswa yang sebelumnya dikenal cerdas dan berbakat, rumor tentang pengkhianatan bangsa yang menyertainya begitu menyakitkan. Hari ini, gosip terus berhembus dari mulut ke mulut di kampus. Teman-teman yang dulu dekat kini menjauh. Setiap tatapan yang diarahkan padanya terasa seperti tudingan.

“Lihat, itu dia. Yang di foto itu, kan?” bisik seorang mahasiswi saat Ruri melintas di koridor.

“Kasihan ya, padahal pinter. Tapi kalau nggak cinta bangsa, ya buat apa?” komentar yang lain.

Ruri hanya menundukkan kepala, menghindari tatapan-tatapan penuh penghakiman itu. Dia mencoba untuk tetap tenang, berusaha bertahan di tengah badai sentimen yang tak beralasan. Namun, meski dirinya berusaha kuat, luka-luka itu tetap terasa, menambah beban yang kian berat.

Hari itu berjalan lambat, penuh dengan bisikan, tatapan aneh, dan teman-teman yang menjauh tanpa penjelasan. Ketika hari berakhir, Ruri pulang dengan perasaan yang semakin hancur. Setibanya di rumah reot yang kini jadi tempat tinggal sementaranya, dia tak lagi mampu menahan air matanya. Ia terjatuh di depan pintu rumah, tubuhnya terlipat seperti udang, menangis terisak-isak.

Angin malam berhembus dari celah pintu yang longgar, membuat tubuhnya menggigil. Kesendiriannya terasa begitu menyesakkan.

“Apa salahku...?” bisiknya dalam isak tangis, suaranya hampir tak terdengar.

Tiba-tiba, sesuatu yang hangat dan lembut menyentuh pipinya. Ruri membuka matanya yang basah dan mendapati kucing hitam yang kemarin dilihatnya sedang duduk di sampingnya. Kucing itu menjilati pipinya, seolah-olah berusaha menenangkan.

“Kau lagi...?” Ruri tersenyum kecil di tengah air matanya. Dia memeluk kucing itu erat, seolah kucing itu adalah satu-satunya yang tersisa untuknya. “Terima kasih, kamu datang lagi...”

Dengan lembut, kucing itu mengeong dan menatapnya, seolah mengerti kesedihannya. Ruri, yang terhibur oleh kehadirannya, membawa kucing itu ke tempat tidur. Mereka berdua naik ke ranjang yang sederhana, dan Ruri mengelus-elus bulu hitam kucing itu dengan penuh kasih.

“Kamu ini milik siapa, sih? Gemesin banget,” celoteh Ruri sambil tertawa kecil, merasa lebih ringan. “Tapi... kemarin kamu tiba-tiba hilang. Padahal aku sudah siapkan cemilan untukmu.”

Kucing itu hanya mengeong pelan, tetap diam di pelukan Ruri. Ruri terus berbicara pada kucing itu, meski tahu kucing tak bisa menjawab. Hanya kehangatan dan keberadaan kucing itu yang membuat Ruri merasa nyaman. Dia tak menyadari betapa spesial kucing itu baginya—setidaknya belum.

“Terima kasih, ya...” bisik Ruri sambil memejamkan mata, tubuhnya mulai terasa lelah. Dia tidak ingat kapan tepatnya dia tertidur, tapi satu hal yang pasti, dia tidak lagi merasa sendiri.

 ___

Pagi itu, Ruri terbangun dengan perasaan hangat dan nyaman, namun ada yang aneh. Dia mengerjap, mencoba membuka matanya sepenuhnya. Sesuatu terasa berbeda di pelukannya. Bukannya kucing hitam kecil yang ia bawa tidur semalam, melainkan… sesuatu yang lebih besar dan lebih… manusiawi.

Ketika kesadarannya mulai sepenuhnya kembali, jantung Ruri berdegup cepat. Ada seorang pria di pelukannya. Seorang pria tampan, dengan wajah yang begitu dekat hingga ia bisa merasakan napas hangatnya di wajah. Rambut hitamnya berantakan dengan cara yang menggoda, dan matanya yang tajam menatap Ruri dengan intensitas yang membuat perutnya terasa bergejolak.

"Siapa... siapa kamu?" bisik Ruri, suaranya nyaris tenggelam dalam kegugupannya.

Alih-alih menjawab, pria itu tersenyum tipis, sudut bibirnya terangkat dengan cara yang begitu menawan. Tanpa peringatan, dia mendekatkan wajahnya ke telinga Ruri. Napas hangatnya menyentuh kulit halus di leher dan telinga Ruri, membuat bulu kuduknya meremang. Ruri bisa merasakan tubuhnya menegang, jantungnya berdetak semakin cepat, seolah hendak meledak.

Lalu, suara itu terdengar—lembut, serak, dan begitu dekat. "Meoong…" desah pria itu dengan suara rendah dan penuh godaan, seolah setiap suku kata yang ia ucapkan adalah bisikan rahasia.

Suara itu, begitu seksi dan mendalam, bergema di telinga Ruri, membuat napasnya terhenti. Seperti gelombang panas yang tiba-tiba menyapu seluruh tubuhnya, membuatnya sulit berpikir jernih. Sensasi itu menusuknya dalam-dalam, meninggalkan kesan yang membakar. Pria itu menggeser sedikit kepalanya, mengendus lembut kulit di belakang telinga Ruri, seolah menciptakan getaran yang tak tertahankan.

Ruri membeku di tempatnya, pipinya memerah, tubuhnya gemetar. "Apa... apa yang kau lakukan?" suaranya lirih, hampir tidak terdengar, tenggelam dalam sensasi yang baru pertama kali ia rasakan.

Pria itu tidak menjawab dengan kata-kata. Sebaliknya, dia hanya tertawa kecil, suara tawa itu begitu lembut namun penuh dengan kemisteriusan yang menggoda. Lalu dia menggerakkan tubuhnya sedikit, mendekatkan diri lebih erat ke Ruri, seolah menikmati kebingungan dan kegugupan yang terpancar dari wajah gadis itu.

Untuk sesaat, dunia Ruri seolah berhenti. Detak jantungnya satu-satunya yang terasa nyata, berdentam keras dalam dadanya. Sesuatu yang tidak biasa, tetapi begitu intens, mengguncang dirinya, dan semua itu berasal dari seorang pria asing yang mengeong di telinganya—seorang pria yang seharusnya tidak ada di tempat tidur itu.

Ruri tahu dia harus bergerak, menjauh, atau setidaknya bertanya lebih lanjut, tetapi tubuhnya menolak untuk melawan sensasi itu. 

1
pdm
lanjutkan kak
Souma Kazuya: Terima kasih kk
total 1 replies
Binay Aja
Hai Ruri tetep semangat ya, yuk kakak singgah di karya ku perjalanan Cinta Sejati cinta beda agama
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!