Gadis cantik selesai mandi, pulang ke gubugnya di tepi sungai. Tubuh mulus putih ramping dan berdada padat, hanya berbalut kain jarik, membuat mata Rangga melotot lebar. Dari tempatnya berada, Rangga bergerak cepat.
Mendorong tubuh gadis itu ke dalam gubug lalu mengunci pintu.
"Tolong, jangan!"
Sret, sret, kain jarik terlepas, mulut gadis itu dibekap, lalu selesai! Mahkota terengut sudah dengan tetesan darah perawan.
Namun gadis itu adalah seorang petugas kesehatan, dengan cepat tangannya meraih alat suntik yang berisikan cairan obat, entah apa.
Cross! Ia tusuk alat vital milik pria bejad itu.
"Seumur hidup kau akan mandul dan loyo!" sumpahnya penuh dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syarifah Hanum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Di balik dinding dapur, tubuh Nadira bersandar, lalu tak lama kemudian tubuhnya merosot ke lantai.
Berbagai macam hal berkecamuk hebat di dalam benaknya, terutama rasa marah pada almarhum ayahnya.
"Ayah, lihatlah nasib anakmu sekarang! Andai dulu ayah tidak sepemalas itu, tentu nasibku tidak begini!
Tanah warisan kakek dan nenek yang sangat luas, hanya habis untuk makan!
Bahkan rumah pun tidak bisa kau bangun untuk anak dan istrimu!
Mengapa ayah tega, cuma membuatkan gubug sialan itu untukku? Lihatlah kini, aku hamil karena diperkosa!
Bodoh! Bodohnya aku, mengapa aku harus mengikuti pikiran ayah yang tidak masuk akal itu? Mau maunya aku tinggal di gubug itu.
Andai dulu aku mau tinggal bersama paman dan bibi, tentu nasibku tidak begini! Tapi apalah dayaku ayah? Aku hanya seorang anak remaja yang tidak berpikir sejauh itu.
Pikirku saat itu aku tidak ingin merepotkan siapa pun, tapi sekarang nasibku malah blangsak begini".
Nadira menangis tersedu sedu sambil membekam mulutnya agar tidak mengeluarkan suara.
Tak lama, karena tak bisa lagi menahan sesak di dadanya, Nadira berlari ke kamarnya, membenamkan wajahnya ke bantal dan terus menangisi nasibnya.
Dengan umurnya yang baru menginjak dua puluh dua tahun, tak sanggup rasanya ia menanggung beban berat seperti ini.
Sebatang kara di kampung orang. Awalnya ia kira Jakarta adalah kota individualis, tidak peduli antar sesama, makanya dia memilih tinggal di kota ini.
Makanya begitu ia mendapat tetangga sebaik bu Iyus dan Bella, yang awalnya mendukung dirinya, tanpa ragu Nadira meletakan hatinya pada kedua perempuan itu.
Tapi ternyata Nadira salah, bu Iyus tidak sebaik yang ia sangka.
"Aku harus peduli dengan diriku sendiri! Aku harus mandiri dan membatasi berinteraksi dengan seseorang agar aku tidak kecewa!", bisik Nadira dengan hati yang patah.
Teringat dengan niatnya semula, Nadira bangun, lalu ke kamar mandi dan membersihkan wajahnya. Mengulang kembali memoles wajahnya dengan bedak dan memberi tambahan warna bibirnya.
Sebelum benar benar keluar, Nadira sudah memesan ojek online, lewat aplikasi hijau di ponselnya.
Dengan membusungkan dada dan dagu ke atas, Nadira melangkah keluar rumah, ia kunci pintu dua kali, agar ia merasa aman meninggalkan rumahnya.
Sengaja Nadira bersikap seperti itu, ia hanya ingin membangun benteng tinggi untuk melindungi mentalnya dari orang orang yang ingin mengusik hidupnya.
" Mau kemana Nadira?", tanya Dikki super ramah. Di bibirnya yang menghitam karena nikotin, muncul selarik senyum.
"Mau jalan jalan bang!", jawab Nadira singkat tanpa senyum. Ia berdiri di depan rumahnya, menunggu ojek pesanannya tiba.
" Abang antar ya!"
Dikki mendekat, berdiri sejajar dengan tubuh Nadira.
"Sudah pesan ojek bang!", sahut Nadira malas. Ia menggeser tubuhnya karena Dikki terus merapat padanya.
" Dibatalkan sajalah, kan bisa!", kata Dikki memaksa.
"Nggak ah, ojeknya sudah dekat! Lagi pula aku ingin sendiri saja!"
"Biar diantar Dikki saja Nadira! Hitung hitung hemat ongkos".
Tiba tiba bu Iyus nongol dari dalam rumahnya dan ikut bergabung. Senyumnya begitu manis tercetak dari wajah cantiknya.
" Munafik!", bathin Nadira, namun ia membalas senyum bu Iyus sama manisnya.
Meniru sikap orang munafik, mungkin lebih baik, begitu pikir Nadira, lalu ia membangun sikap waspada.
Dari dulu sebenarnya sikap Nadira yang tidak mudah percaya dan tidak suka merepotkan orang lain sudah terbentuk.
Mungkin karena ia begitu benci dengan sikap ayahnya yang terlalu lembek dan suka sekali merepotkan banyak orang, dan Nadira benci itu, walau tidak mungkin membenci orangnya.
Walau bagaimana pun ayahnyalah yang membuat hadir di dunia ini.
Nadira juga suka bertanya tanya sendiri, bagaimana cara kakek dan neneknya mendidik putra mereka sehingga menjadi sosok ayah yang tidak berwibawa sama sekali di mata Nadira.
"Ayolah Nadira, cobalah membuka hati sedikit untuk Dikki!"
Mendengar saran bu Iyus jelas membuat Nadira tersinggung, namun tidak mungkin terang terangan Nadira menunjukkannya pada perempuan itu.
Hilang semua respek Nadira pada bu Iyus, karena sudah terlalu jauh mencampuri urusan hatinya.
"Maaf bu! Saya tidak bisa!"
Akhirnya Nadira bisa bernafas lega, ojek online pesanannya sudah tiba, tanpa basa basi lagi, Nadira langsung naik ke boncengan.
"Huh, sombong!"
Pelan memang suara bu Iyus, namun telinga Nadira masih bisa mendengarnya.
Dengan menggigit bibir dan menahan air matanya agar tidak jatuh, Nadira sibuk berdoa, mulutnya komat kamit memohon kekuatan pada Rabbnya.
"Bang kita ke mall saja ya, tidak usah di teruskan ke tujuan!", teriak Nadira di belakang telingan bang ojek.
Ia ingin meredakan sesak di dadanya, dengan sekedar berjalan jalan di pusat perbelanjaan itu. Tidak ada yang ingin dibelinya, hanya sekedar cuci mata dan makan saja.
" Eh, kak Nadira..!"
Seseorang mesejajari langkahku, ternyata Yeyen.
"Belanja kak?", tanya gadis itu ramah sambil melirik tanganku yang kosong, tidak menegang apapun.
Nadira tersenyum, ia merasa lucu saja Yeyen bertanya seperti itu pada hal tahu tanganku tidak membawa apa apa, basa basi yang garing, pikir Nadira.
" Pengen jalan jalan saja kok! Kamu sendiri ngapain di sini? Belanja?", tanya Nadira, pura pura peduli.
"Mama yang belanja, tapi Yeyen malas ngikuti mama, cuma lihat lihat melulu", sungut Yeyen tampak kesal wajahnya.
" Ya sudah ya Yen, kakak tinggal dulu, kakak mau makan!"
Tanpa berbasa basi untuk menawari Yeyen, Nadira mempercepat langkahnya, menuju restoran ayam goreng berlogo huruf M.
Setelah menerima pesanan, Nadira membuka ponselnya, mencari cari info rumah kontrakan.
Kali ini ia memilih yang berada di pinggir jalan besar, di dekat pabrik, perkantoran atau pun rumah sakit.
Namun setelah melihat harga kontrak pertahun, Nadira menggigit bibirnya, keluh.
Memang dia punya uang untuk membayar harga sewa tersebut, namun hatinya melarang, ia memerlukan banyak uang untuk persalinannya nanti.
Saking asyiknya Nadira memelototi ponselnya, tanpa sadar makanannya sudah habis, begitu juga dengan minuman bersoda satu cup besar, semuanya kandas.
Nadira baru sadar ketika ia bersendawa dengan suara cukup kuat, ia menutup mulutnya karena malu.
"Untung pengunjung masih sepi!", ucap Nadira lega.
" Mama itu kak Nadira!", pekik Yeyen dari balik dinding kaca.
Gadis manis itu menyeret ibunya masuk ke dalam restoran dan merengek untuk dibelikan ayam goreng juga.
"Ma, beli dong, sama kayak punya kak Nadira", ucap Yeyen merayu ibunya.
" Eh, tapi kan uangnya tidak cukup, tinggal untuk beli bensin motor, bagaimana ini?", keluh ibunya Yeyen sambil menatap Nadira.
Perempuan yang biasa dipanggil mbak Tika, itu berharap, tetangganya itu mau mentraktir mereka.
Tentu saja Nadira paham apa maksud mbak Tika, namun ia pura pura cuek, tidak ingin mengeluarkan uang buat mereka.
Belajar dari pengamalan dengan bu Iyus, Nadira membangun benteng yang tebal dan tinggi untuk melibatkan perasaannya bagi tetangganya
Tak ada hubungan yang tulus, kecuali ada keuntungan di dalamnya.
"Mbak Tika, Yeyen, saya sudah selesai makan! Saya duluan ya!"
Dengan bergegas ia keluar dari restoran cepat saji itu, tanpa memberi kesempatan sedikit pun pada mereka untuk mengeluarkan kata kata.
Tentu saja mbak Tika jengkel bukan main, ia sempat berharap setinggi langit, Nadira mentraktir mereka, makan sekenyangnya, tapi nyatanya perempuan itu kabur tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Nadira menyeringai puas, ia terbebas dari manusia yang ingin memanfaatkan dirinya.
"Tak ada orang yang tulus, kecuali ada fulus".
Dengan langkah ringan ia menaiki angkot yang akan membawanya ke tempat tujuannya.