"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ravien Invansia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Preman
Rei melangkah menyusuri gang sempit yang berakhir di rumah kecilnya, bangunan reyot dengan cat mengelupas, hampir tak punya daya tarik selain kesedihannya. Pintu kayu tua itu berderit saat didorong.
kreeek
Di dalam, seorang pria paruh baya duduk sendirian. Mata kosong, hanya menghadap ke arah ruang tamu yang kosong. Tak ada yang bisa disebut mewah di ruangan itu di sana hanya meja kecil dan kursi tua yang terlihat lelah seperti penghuninya.
"Ayah..." Rei memanggil lirih, masuk dengan langkah pelan.
Pria itu menoleh, wajahnya yang semula beku langsung berubah. Seperti anak kecil yang melihat mainan kesukaannya. Ia berdiri, bergegas menghampiri Rei dengan langkah ringan.
"Ayah bawa permen," katanya, suara bergetar dengan kebahagiaan yang entah datang dari mana.
Rei menggigit bibirnya, menahan diri agar tak tampak hancur di depan sang ayah. Rasa sakit di bibirnya tak berarti dibanding perih yang melanda hatinya saat ini.
"Karena mereka... Ayah seperti ini. Karena orang-orang itu, kita terjebak dalam kehancuran ini. Jika bukan karena paman yang jadi polisi, mungkin kita sudah hanyut di jalanan tanpa harapan," gumamnya nyaris tak terdengar.
Ia mengelus kepala ayahnya yang sudah duduk di lantai, dekat pintu seperti anak kecil. Hatinya remuk, namun dia tersenyum tipis, menahan emosi yang bergejolak.
"Ya Ayah, aku membawa permen," katanya, mengeluarkan permen dari sakunya dan memberikannya.
Pria itu tertawa girang, menepuk-nepuk tangannya pelan.
tepuk
tepuk
Rei berdiri di sana, tubuhnya terasa berat. Menatap ayahnya yang duduk dan menatapnya penuh harapan seperti anak kecil tak berdosa. Kenyataan ini begitu menyesakkan.
‘Ryan... sampai kapan kau akan melupakan jati dirimu?’ pikir Rei dalam hati, penuh getir. ‘Kau bersembunyi di balik kepolosan dan kebodohan yang bukan milikmu. Kau seperti orang gila yang lupa pada siapa sebenarnya dirimu, pada masa lalumu, dan semua beban yang seharusnya kau pikul.’
Angin sore masuk pelan dari jendela yang terbuka, menyentuh wajahnya yang dingin.
whoosh
Rei menutup pintu dengan tenang, perlahan, seakan mencoba menahan beban yang semakin menekan di pundaknya, meninggalkan ruang tamu yang hampa bersama ayahnya yang sudah hanyut dalam dunia kecilnya.
...----------------...
Ryan berjalan cepat menuju rumah Hana. Matahari sudah mulai condong ke barat, jam menunjukkan setengah empat sore. Sebenarnya, ada rasa kesal yang mengganjal di hatinya karena tidak bisa ke gym Om Dedi. Kemarin juga batal karena sibuk, dan sekarang hal yang sama terulang.
Dia menghela napas berat, mencoba mengusir rasa frustasi sambil terus melangkah, pikirannya berputar mencari-cari siapa yang sebenarnya harus dicurigai. Namun, di tengah perjalanan, langkahnya mendadak terhenti.
Di depan, sekelompok pria berpenampilan kasar menghadang jalannya. Wajah-wajah mereka menunjukkan niat yang jelas tak bersahabat, senyum dingin terukir di bibir masing-masing.
Ryan mengerutkan kening, tapi tetap tenang. "Ada apa, Pak?" tanyanya dengan nada datar, matanya menatap tajam.
Salah satu pria maju, senyum tipis di wajahnya. "Kami cuma disuruh seseorang buat sedikit 'bicara' sama kamu," ucapnya sambil menyeringai.
Tanpa basa-basi, dua dari mereka mendekat dan mulai melancarkan serangan. Tendangan dan pukulan menghantam tubuh Ryan tanpa peringatan.
duak
Tubuh Ryan terguncang. Rasa sakit menusuk dari setiap pukulan, tapi dia bertahan, mencoba tetap berdiri. Dia tahu dia tak punya waktu untuk main-main dengan mereka, apalagi dengan tujuannya yang mendesak.
Salah satu pria, yang tampaknya pemimpin kelompok, melangkah maju dengan santai. "Tenang aja, bocah," katanya dengan nada rendah, "Kami nggak akan bikin kau terluka terlalu parah."
Ryan menggertakkan giginya, mencoba menenangkan diri sambil menahan rasa sakit yang makin terasa di tubuhnya. Fokusnya tiba-tiba aktif. Tapi sebelum ia sempat bereaksi, dua sosok muncul dari balik bayangan, bergerak cepat dan tanpa suara.
buk
Dalam sekejap, dua dari preman yang memukuli Ryan terlempar mundur. Sosok Andre dan Senna berdiri di sana, napas mereka berat, tubuh terluka dengan beberapa balutan kain.
Ryan menatap mereka dengan bingung, tapi ini bukan saatnya bertanya. Luka-lukanya terasa perih, darah mengalir dari sudut bibir, tapi ia menyekanya dengan punggung tangan, menahan rasa sakit. "Terima kasih," ucapnya singkat.
Andre dan Senna hanya mengangguk singkat. Namun, tatapan mereka tertuju pada mata Ryan, yang kini memancarkan keanehan. Pupilnya tampak putih, aura yang tak biasa.
Mereka segera menarik napas dalam-dalam, menggeleng pelan.
‘Tidak, tidak mungkin pengguna fokus. Pengguna fokus tidak mungkin dipukuli semudah ini,’ pikir mereka dalam hati. ‘Dan juga tidak mungkin pengguna Fokus ditemukan di situasi serba acak seperti ini.’
Andre dan Senna segera mengaktifkan aura mereka. Tubuh mereka memancarkan tekanan yang menakutkan, membuat para preman yang tersisa mundur beberapa langkah.
"Mundur sekarang," kata Andre, suaranya penuh perintah.
Ryan tertegun, matanya menatap tajam. ‘Aura? Kukira mereka cuma orang biasa,’ pikirnya. Dia tahu betul, aura berada satu tingkat di bawah Fokus. Perbedaannya seperti langit dan bumi, meskipun hanya terpaut satu tingkat.
Melihat situasinya sudah mulai terkendali, Ryan mengangguk cepat. "Terima kasih atas bantuannya," katanya lagi dengan nada lebih tegas, lalu segera berbalik dan pergi. Tanpa membuang waktu, ia mengambil jalan memutar menuju rumah Hana.
Karena MC ada di semua bab, pakai POV bisa lebih mudah. Tapi nggak juga gpp.
Yang saya kurang suka kalau cerita multiplot tapi pakai POV 1 yang berganti-ganti.
Bahasa cerita menurut saya udah bagus, baik itu narasi ataupun dialog.
btw, banyak orang di kehidupan nyata terwakilkan Ryan. Biasanya itu pengalaman penulis lalu di dunia fiksi dia ganti dg tema fantasi misal dapat sistem atau masuk ke dunia game.