Amira Khairinisa, tiba-tiba harus menerima kenyataan dan harus menerima dirinya menjadi seorang istri dari pria yang bernama Fajar Rudianto, seorang ketos tampan,dingin dan juga berkharisma di sekolahnya.
Dia terpaksa menerima pernikahan itu karena sebuah perjodohan setelah dirinya sudah kehilangan seseorang yang sangat berharga di dunia ini, yaitu ibunya.
Ditambah dia harus menikah dan harus menjadi seorang istri di usianya yang masih muda dan juga masih berstatus sebagai seorang pelajar SMA, di SMA NEGERI INDEPENDEN BANDUNG SCHOOL.
Bagaimanakah nantinya kehidupan pernikahan mereka selanjutnya dan bagaimanapun keseruan kisah manis di antara mereka, mari baca keseluruhan di novel ini....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon satria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12.
Amira yang masih memiliki sisa waktu sebelum pulang, memilih menghabiskan waktunya itu untuk membaca buku yang belum sempat selesai dia baca sebelumnya.
Dia sedang membaca buku puisi, karya penyair wanita terkenal yang merupakan kesukaan almarhumah ibunya.
" Andai ibu masih ada disini, kita pasti akan baca puisi ini bersama-sama." batin Amira, berusaha keras menahan rindu kepada ibunya.
Selama sebulan ini, dia terus mencoba mengiklaskan kepergian ibunya, walaupun itu sangat sulit untuknya, tetapi dia akan terus mencoba hingga dia bisa ikhlas seutuhnya.
" Ibu, Amira rindu." batin Amira kembali, seiring dengan bait-bait puisi yang ia baca.
Dia ingat, dulu ibunya itu sering membacakan bait-bait puisi yang indah kepada dirinya.
Seiring waktu dan seiring ingatan momen kebersamaan dia bersama ibunya, Amira pun sudah tidak bisa membendung air matanya lagi, dia menjadi sangat merindukan ibunya itu yang kini hanya bisa dia kirim rasa rindunya itu dengan doa-doa yang terbaiknya saja.
Hingga tanpa dia sadari, air mata itu lolos dan jatuh membasahi seluruh halaman buku yang sedang dia baca.
Inilah salah satu alasan dia menjadikan perpustakaan sebagai tempat ternyaman nya, karena di tempat ini dia bisa mencurahkan seluruh isi hati dan juga pikirannya, tanpa seorang pun yang mengetahuinya.
Namun, semua itu sudah tidak berlaku lagi sekarang, karena kesedihan itu tidak lagi dia rasakan sendiri, tetapi sudah ada orang lain juga yang kini sudah mengetahuinya.
Tanpa dia sadari, sepasang mata dengan tatapan tajam sedang mengamatinya dari kejauhan.
Yah, pemilik mata tajam itu adalah suaminya sendiri, yang tidak lain adalah Muhammad Fajar Rudianto.
Setelah sebelumnya dia membiarkan Amira tenang menumpahkan semua segala air mata dan juga rindunya kepada mendiang ibunya, akhirnya dia memutuskan untuk menghampiri sosok wanita yang sedang dilanda rasa rindu itu.
Jendela perpustakaan yang sengaja dibuka, membuat angin malam menyentuh Amira seenaknya, membuat Fajar tidak rela.
Amira yang sedang tenggelam dalam lamunan nya itu, tiba-tiba langsung dikejutkan oleh sebuah jaket yang dipasangkan padanya.
" Fajar." lirih Amira, bersamaan dengan dirinya yang menoleh ke arah belakang.
Fajar langsung menarik kursi yang ada di dekat Amira, kemudian dia langsung duduk tepat disamping Amira, dengan sikut tangannya yang dia jadikan tumpuan di atas meja, dan jari-jari tangannya yang bertaut menjadi satu.
Dia hanya diam dan tidak berbicara,dia hanya fokus memandang bola mata indah Amira yang sudah terisi kembali oleh genangan air mata di pelupuk matanya teduhnya.
" Sejak kapan kamu disini?" tanya Amira.
Dia masih dikejutkan oleh kehadiran Fajar yang entah sejak kapan berada di perpustakaan dan ada disampingnya.
" Kenapa nangis?" tanya Fajar.
Dia masih menatap kedua bola mata Amira yang masih berkaca-kaca, sampai membasahi cadarnya.
Amira yang menyadari hal itu sebelumnya, langsung saja menghapus air matanya dengan cepat.
Dia sengaja menangis sendirian di sudut ruangan perpustakaan itu supaya tidak ada satu orang pun yang mengetahuinya.
Namun ternyata, seseorang sudah mengetahui nya, dan orang itu tidak lain adalah Fajar suaminya sendiri.
" Saya kira, perempuan kayak kamu gak suka menangis." ejek Fajar sambil tersenyum samar.
" Siapa yang nangis?, aku gak nangis."
Amira segera membuang pandangannya ke sembarang arah.
Dia tidak mau memperlihatkan air matanya di hadapan siapapun, termasuk Fajar.
" Masih bisa ngelak, walaupun mata kamu udah sembab kayak gitu?" ujar Fajar berbicara kepada Amira yang masih enggan menghadap padanya.
Amira tidak menanggapi nya, dia masih terus membelakangi Fajar.
Beberapa saat setelah dia menenangkan diri, dia langsung menarik dan menghembuskan nafasnya dengan pelan, sampai air matanya tidak mampu lagi menetes.
" Masih mau nangis disini atau mau pulang sekarang?" tanya Fajar kembali.
Dalam waktu yang cukup lama, Fajar membiarkan Amira membelakanginya untuk menenangkan diri.
Dia tau, Amira sangat butuh waktu sendiri untuk itu.
Namun, dirasa waktu sudah semakin malam, maka Fajar memutuskan untuk mengajak Amira untuk segera pulang.
" Sekarang jam berapa?" tanya Amira, yang kini kembali menghadap ke arah Fajar.
Hatinya sudah kembali tenang, sehingga air matanya sudah berhenti mengalir.
Namun, Meskipun begitu, matanya yang sembab tidak bisa dia sembunyikan, sehingga dia pasrah saja saat Fajar mengetahui dirinya menangis.
Selain itu, tepi cadarnya juga sudah basah karena aliran air matanya, namun untuk saja kain cadarnya itu tidak menerawang walaupun kain itu sudah basah.
" Kamu nangis sampe gak sadar waktu?" ucap Fajar malah berbalik bertanya kepada Amira.
Amira langsung melirik ke arah jam tangan yang ada di pergelangan tangan kirinya, dan benar yang dikatakan oleh Fajar itu, bahwa dia memang sudah tidak sadar akannya waktu.
Entah sudah berapa lama dia menangis di sudut perpustakaan itu, dia tidak bisa menghitung dan mengingatnya, dia merasa kalau dia baru sebentar berada disana.
" Seharusnya perpustakaan ini sudah tutup." ucap Amira sambil menatap Fajar dengan khawatir.
Itu berarti, mereka berdua sudah terjebak di dalam perpustakaan itu, namun, kenapa tidak ada pegawai lain yang menegurnya dan mengatakan bahwa perpustakaan sudah ditutup?.
Kenapa mereka malah membiarkan dirinya dan Fajar berada disana? apakah rekan-rekan kerjanya tidak melihat adanya Fajar dan dirinya, karena mereka berdua berada di sudut ruangan?, itulah yang ada di pikirannya saat ini.
Namun, beberapa detik kemudian, pertanyaan nya itu langsung terjawab.
" Saya pegang kuncinya." ucap Fajar, sambil menunjukan kunci perpustakaan itu kepada Amira.
" Alhamdulillah." balas Amira, bisa bernafas lega, karena malam ini mereka tidak terjebak di dalam perpustakaan.
Dia lupa bahwa pemilik perpustakaan itu memang milik suaminya, yang tentu saja ia sudah memiliki akses untuk masuk dan keluar kapan saja dari perpustakaan itu.
" Makanya jangan terlalu larut dalam kesedihan." ucap Fajar, memberikan nasihat.
" Maaf." lirih Amira yang langsung menunduk.
Dia mengakui kalau dirinya terlalu berlebihan dalam bersedih, namun tentu saja kesedihan nya itu adalah hal yang wajar, karena dia baru saja kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidupnya.
" Gak mau cerita?" tanya Fajar.
Awalnya dia tidak ingin ikut campur akan masalah yang di alami oleh Amira, namun, karena saat ini Amira adalah istrinya, maka dia berhak tau apa yang terjadi dan apa telah dirasakan oleh Istrinya itu.
Mereka sudah menikah, berarti mereka juga harus siap untuk berbagi masalah mereka, walaupun pernikahan itu terjadi karena sebuah perjodohan.
" Oke, kalau saya gak berhak tau, kamu gak perlu cerita." ucap Fajar kembali, karena Amira tidak kunjung bersuara.
Amira sempat diam beberapa saat, sampai akhirnya dia mulai berani mengatakan apa yang sedang dia pikirkan hingga membuatnya menangis seperti tadi.
" Aku rindu Ibu." lirih Amira yang masih menunduk.
" Harusnya kamu doa'in, bukanya malah nangis." ucap Fajar mencoba menenangkan dan mencoba menghibur Amira dengan caranya sendiri.
Amira pun kembali mengangkat wajahnya, menatap Fajar dengan tatapan sendu.
" Kalau soal itu sudah pasti aku doa'in, tapi aku gak bisa menahan air mataku sendiri." jawab Amira jujur.
Hal itu membuat Fajar tersenyum sekaligus merasa kasihan terhadap istrinya itu.
" Mau pulang sekarang?" tanya Fajar.
" Hm." jawab Amira yang langsung mengangguk.
Fajar lebih memilih mengajak Amira untuk pulang, karena dia tidak ingin sekretaris sekaligus istrinya itu terlalu larut dalam kesedihan.
" Ngapain?" tanya Fajar, menahan Amira yang hendak melepaskan jaket yang sudah dia pakaikan kepada Amira sebelumnya.
" Jaket kamu, aku kembalikan, kamu juga pasti kedinginan, kan?" jawab Amira.
Dia pun hendak kembali melepaskan jaket itu dari tubuhnya, tetapi lagi dan lagi Fajar kembali mencegahnya.
" Pake aja, kamu lebih perlu." ucap Fajar dengan wajah datarnya.
" Makasih, Fajar." ujar Amira yang langsung tersenyum tenang dibalik cadarnya, dan kembali mengenakan jaket yang sudah diberi oleh suaminya itu.
Mereka pun tidak lagi memperdebatkan perihal jaket itu, dan langsung memutuskan untuk segera pulang.
TO BE CONTINUE.